Hikayat Talang

1,899 kali dibaca

Pada masing-masing ujung atap belakang dua rumah yang berdiri berdekatan itu menempel dua talang yang berguna mengalirkan air hujan ke sisi yang dikehendaki oleh masing-masing pemilik mereka. Pada awalnya, dua talang itu menjalani tugas tersebut dengan riang-gembira. Hingga suatu ketika, si talang yang berada di rumah sebelah kiri merasa iri, karena air yang selama ini melewatinya hanya dinikmati pepohonan di pekarangan sekitar situ hingga-hingga tampak hijau royo-royo dedaunan mereka; ia  menginginkan air untuk dirinya, cuma persoalannya, ia tidak tahu bagaimana caranya.

Sebetulnya, saat ia mengutarakan hal tersebut, talang yang berada di rumah sebelah kanan menasihatinya. Temannya berkata, bahwa mereka bukanlah bak yang dibuat untuk menampung air; mereka hanyalah talang yang, selain mengalihkan tampias air hujan, juga memudahkan pepohonan tersebut menikmati limpahan air yang merupakan rahmat Gusti Allah Ta’ala, Pencipta alam raya serta seluruh isinya.

Advertisements

Di samping itu, lanjut temannya, sebagai talang mereka pernah dijadikan perumpamaan untuk menggambarkan kebaikan manusia. Ceritanya, sembari membersihkan temannya tersebut, si pemilik rumah menyatakan, bahwa manusia ada baiknya meniru talang dalam hal mengalirkan apa yang melewatinya.

Manusia, demikan kata si pemilik rumah, lahir dalam kondisi tidak tahu apa-apa; tidak membawa apa-apa. Seiring pertumbuhannya, Gusti Allah Ta’ala memberinya berbagai karunia di antaranya: pengetahuan dan harta—lewat berbagai cara. Karena semua yang ada pada manusia adalah milik Gusti Allah Ta’ala, maka setelah manusia mengambil manfaat untuk dirinya, ia membagikannya kepada sesama makhluk ciptaan-Nya sebagaimana perintah-Nya yang diajarkan oleh Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam—utusan-Nya. Misal, setelah memiliki harta dan memanfaatkannya untuk kebutuhannya, maka ia membagi harta tersebut kepada sesama, baik lewat transaksi membeli atau menyedekahkannya; setelah memiliki ilmu dan memanfaatkan untuk dirinya dengan cara mengamalkannya, maka ia membagi ilmu tersebut kepada sesama dengan cara mengajarkannya.

Atas semua itu, demikian temannya menyimpulkan, sebagai talang seharusnya mereka mensyukuri kebermanfaatan dan keberadaan mereka. Akan tetapi, ia tidak peduli nasihat temannya.

Hingga suatu ketika, tampak beberapa ranting dan daun kering jatuh menimpanya. Atas apa yang ia dapati, ia berpikir apabila reranting dan dedaunaan kian banyak menumpuk di permukaannya, pasti bakal terpenuhi keinginannya. Kemudian, dari hari ke hari, harapannya kian menjadi-jadi: semakin banyak ranting dan daun kering juga debu menumpuk di sebagian permukaannya. Ini menjadikannya senang sekali, ditambah pemiliknya, tidak seperti pemilik rumah sebelah kanan, tidak pernah membersihkan apa lagi merawatnya.

Saat ia mengabarkan kesenangannya tersebut juga keinginannya yang, menurutnya, tidak lama lagi bakal terlaksana, lagi-lagi temannya itu menasihatinya. Di penghujung nasihat yang hampir sama dengan nasihat sebelumnya, temannya menambahkan: sebagai talang yang tidak pernah dibersihkan, seharusnya ia prihatin, karena itu dapat mengganggunya. Akan tetapi, lagi-lagi ia tidak peduli nasihat temannya.

Suatu hari, setelah membersihkan talang rumahnya, pemilik rumah sebelah kanan mendapati cukup banyak timbunan dedaunan dan ranting kering di talang rumah tetangganya. Ingin ia memberitahukannya supaya si tetangga mau membersihkannya. Namun, setelah berpikir sejenak, sebaiknya ia memberitahukannya kelak saat membersihkan talang rumahnya—sembari memberi teladan pada tetangganya.

Maka, pada suatu sore, saat mendapati tetangganya itu berada di belakang rumah, ia bergegas menyandarkan sebuah tangga bambu pada atap rumahnya, dan betul dugaannya, tetangganya itu bertanya, apa yang sedang ia kerjakan. Membersihkan talang, demikan ia memberitahukan. Namun, tetangganya itu masih enggan melakukan.

Hari demi hari berlalu, musim hujan mulai menyapa, talang itu senang tiada terkira. Mula-mula rasa irinya pada pepohonan itu rada terkurangi, karena, seperti dugaannya, tidak semua air yang mengalir di permukaannya bablas untuk mereka. Akan tetapi, dari hari ke hari, seiring intensitas hujan kian sering dan deras, ia mulai merasa berat menanggungnya, sehingga pada suatu petang, karena tidak kuat lagi menahan, ambrollah sebagian dirinya. Pada titik ini ia menyesal tidak menuruti nasihat temannya, juga menyesalkan kelakuan pemiliknya yang tidak pernah membersihkan apa lagi merawatnya.

Rupanya, penyesalan juga dirasakan oleh pemiliknya. Apa lagi bagian talang yang jebol dekat pintu, menyebabkan air menggenang di lantai sekitar situ hingga masuk ke ruang dalam rumahnya.

Menurutnya, musim hujan masih cukup lama. Maka, ia berniat menggantinya segera. Cuma persoalannya, ia sedang tidak ada uang untuk membeli talang baru juga membayar orang yang memasangnya. Sementara dalam waktu dekat, sepertinya ia belum mendapatkan uang, jika pun mendapatkannya bakal digunakan untuk kebutuhan lainnya. Maka, tidak ada cara selain meminjam uang pada tetangganya. Akan tetapi, untuk beberapa saat ia merasa sungkan begitu teringat beberapa bulan lalu ia mengabaikan nasihat tetangganya yang, setelah ia renungkan, disampaikan sembari memberi contoh padanya. Dan, boleh jadi talangnya rapuh karena ia enggan membersihkannya.

Kemudian, seusai mempertimbangkan bahwa tetangganya adalah orang yang baik—yang mungkin tidak mempersoalkan hal-hal seperti itu, ia bertamu ke rumahnya.

Sesampainya, ia menceritakan apa yang terjadi perihal talangnya, sementara tetangganya itu menyimak penuh perhatian. Lebih dari itu, seusai ia menyatakan bahwa maksud kedatangannya untuk meminjam sejumlah uang untuk mengganti talangnya, tetangganya itu segera mengambil dan memberikannya dengan senang. Karena, tetangganya itu sedang belajar pada sebuah talang yang selalu mengalirkan apa yang melewatinya; berbagi apa yang ia miliki yang tidak lain adalah karunia dari Gusti Allah Ta’ala yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Kesugihan, 19 Juli 2022.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan