HIKAYAT SUATU MALAM

1,358 kali dibaca

HIKAYAT SUATU MALAM

Gelisah menghilangkan dingin setiap wajah. Antara pura-pura dan air mata yang meramaikan hati dengan cinta. Mencari belantara kota dalam lupa. Sebelum bulan meriwayatkan masa lalu pada gelap, adalah kasih sayang yang menghidupkan bayangan pagi. “Dan aku melihat wajah-wajah pulas semalaman.”

Advertisements

Akhirnya, di suatu malam ada kesedihan tiba-tiba. Menulis kenangan pada kartu pos. Dikirimkan pada keabadian di setiap perjalanan. Tetapi, keabadian hanyalah maya di sebuah ponsel. Hilang jika password salah, atau terbaca suka rela setiap tatapan—mengisahkan tentang kepergian.

Masa silam adalah penguasa waktu yang hakiki setelah menggantikan penglihatan yang luka. Ada kabar, purnama jatuh di suatu malam. Memberi salam pada tujuh kembang dalam satu senyuman. Perjalanan membunuh ketakutan di persinggahan. “Aku ingin berlindung dari air mata yang kehilangan.” Sedangkan bahagia adalah wajah kematian.

Kambingan, 21 Februari 2022

SENANDUNG GELOMBANG DI LAUT GILIRAJA

Pada jantung, diriwayatkan sebuah kepulangan dari kembara kota yang terlupakan namanya. Ada riak yang mendatangkan kata-kata, sambil lalu menyembunyikan rasa rindu pada untaian romantisme.

Pada sebuah kepergian, ada senandung gelombang yang rinai di dahaga. Saat kegelisahan menjadi batu, kata-kata menjadi langkah, alunan selamat tinggal menjadi doa dan air mata, sembari menggenggam dendam kelam dalam ingatan yang menggila.

Dada yang gelisah diterjang riuh kerinduan. Saat kata-kata telah menitipkan buih pada karang, pada pasir, pada angin. Sembari menunggu puing-puing masa lalu. “Aku mengembara untuk mencari jantung kota.”

Laut. Tempat air memeluk kata-kata. Melagukan tempias kesunyian di ujung gelombang. Menanggung seluruh doa yang mengembara hingga mengelabui seluruh nasib.

Karang membisu di suatu gelombang yang sunyi. Membaca bait-bait mantra, pelupa kenangan. Riak yang tak mati, bermuara pada kerinduan, lewat satu kota yang tercipta dari jejak-jejak kata. Saat kembali untuk mengembara ke jalan lain–di kesunyian.

Hatinya adalah arah pulang yang dibiarkan di seberang lautan. Saat alam berubah batas pada siang dan malam. Saat langit tersiksa dengan tangis kepergian, setelah dilenyapkan jarak yang larut dalam pandangan. “Aku adalah doa untuk jalan pulang yang dilupakan.”

Selaksa perempuan yang mati ditelanjangi waktu, kota telah membawa kata-kata bertelanjang di berbagai musim rindu. Padahal, arah pulang tak lagi tertutup kesunyian. Saat dini hari, ia melawan rupa keinginan dan tangisan waktu. “Kesunyian ini hanyalah topan yang menenggelamkan ayat-ayat kematian.”

Giliraja, lautnya bergelora dalam kata-kata yang kembali mengembara. Pamit dengan ombak di ujung air mata. Tempias pada keyakinan tanah kelahiran. Tanpa tanda tanya yang mesti dipermasalahkan. Kata terakhir, “aku pulang ke dalam gelombang Giliraja.”

Giliraja, 28 Mei 2022

MENGEJA DI SURAU ITU

Bismillah, alif menjadi tubuh bagi jiwa. Ba’ mempertemukan batin dengan tangisan, hingga melahirkan wassalam di ruang kepala–tempat merangkai kegaduhan pada masa lalu, hanya membiarkan doa bertamu.

“Siapa yang hendak pergi?” Pertanyaan itu untuk mengundang anak-anak mengaji iqro’, berzikir pada hakikat jiwa dan berdoa dengan harapan sunyi dalam genggaman tangan sepuh. Entah, hanya tersisa doa.

Oh, pengeja di surau itu, biarkan fatihahmu mengembara pada jantung, hati, dan jiwa pemilik suara serak di waktu subuh. Sambil lalu putarkan tasbih dengan kelembutan tahlil. Lalu bertakbirlah, sambut kemenangan!

“Atas nama hijaiyah, tangan sepuh itu terus kucium dengan doa.” Tiba-tiba malam redup dengan air mata.

Jate, 13 Juni 2022.

ilustrasi: renungan malam, karya nashar.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan