Haruskah Santri Menjadi Penulis?

734 kali dibaca

Kehidupan santri seharusnya tidak asing lagi dengan dunia literasi. Sebab, saban santri berkutat kitab-kitab karya ulama terdahulu kita yang sudah tidak diragukan lagi intensitasnya. Seperti halnya kitab Safinah, Jurumiyyah, Alfiyah, dan lain sebaginya. Tentu, itu tidak akan terlahir tanpa adanya kecintaan para ulama terdahulu terhadap literasi dan kepiawayannya dalam dunia kepenulisan.

Namun, sayangnya, tidak banyak dari kalangan santri yang sadar akan hal itu. Sebagian santri belum terbiasa dengan literasi. Jangankan menulis, membaca saja masih bisa dihitung dengan jari. Kita yang suka membaca dan menulis seringkali terpatahkan oleh lingkungan karena tidak adanya atmosfir budaya membaca dan menulis di pondok pesantren. Bahkan ada sebagian pondok pesantren yang tidak memperbolehkan santrinya untuk membaca buku-buku di luar pelajaran pesantren. Katakalah selain kitab kuning, seperti novel, cerpen, dan semacamnya yang tidak berkaitan dengan dunia pesantren.

Advertisements

Bagi saya, hal itu cukup menggelisahkan. Padahal kita tahu bahwa pesan pertama Allah yang diabadikan dalam Al- Qur’an adah iqra, bacalah. Apa yang harus kita baca? Al-Qur’an? Sudah pasti, karena ia adalah tour guide kita dalam menjalani kehidupan. Terlepas dari itu, Allah berpesan dengan menyatakan “bacalah!” dan diikuti “dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan” tanpa menyertakan objeknya. Bentuk perintah yang seperti itu dalam Al-Qur’an  berarti tidak adanya batasan. Maka ini menyatakan bahwa tidak ada batasan dalam membaca, yang dituntut hanyalah “bismi rabbikalladzi kholaq”-nya.

Ini menjadi bukti bahwa Al-Qur’an turun membawa spirit literasi. Maka dari itu tidak ada alasan bagi santri khususnya, pelajar, dan masyarakat muslim pada umumnya untuk menjauhkan diri dari literasi. Tidak bisa dibayangkan kalaulah para ulama kita dulu tidak mengabadikan ilmunya melalui kitab-kitab atau buku-buku, ke mana kita harus mempelajari Islam yang utuh, Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Kenapa Santri Harus Menulis?

Sedikit cerita, ketika saya masih menikmati masa muda, tentu dengan kebiasaan anak muda seperti biasa yang bisa dibilang “negatif”, saya banyak menuangkan pikiran dan perasaan saya melalui chat Whatsapp yang mana saya membutuhkan orang khusus untuk mendengarkan celotehan saya.

Seiring berjalannya waktu, saya merasa bahwa sebenarnya saya mempunyai keahlian dalam merangkai kata. Berapa ribu kata yang sudah kita mubazir hanya untuk sekadar bercerita dengan lawan jenis atau hanya untuk memberitahu orang lain tentang kedaaan kita dalam sebuah story di medsos.

Tidak salah memang, tapi kalaulah kita tuangkan perasaan dan pikiran kita dalam bentuk tulisan atau buku dan hasilnya bisa diambil manfaat oleh orang lain. Hal itu saya kira lebih asik dan bermanfaaat. Saya ingat pak kiai saya pernah mengatakan, “Menulis berarti menyampaikan pesan-pesan yang Tuhan titipkan kepada kita.”

Dengan demikian, literasi itu sesuatu yang ilahiah. Karena itu, sudah semestinya kaum santri semakin dekat dan intens dengan dunia literasi, terutama menulis atau menjadi penulis. Sebab, dengan begitu, karya-karya santri akan abadi dan bisa memotivasi atau mendorong orang lain untuk membawa kebaikan atau perubahan ke arah yang lebih baik sesuai dengan pesan-pesan Tuhan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan