Hari Santri 2021 (1): Refleksi Jihad Kontemporer

960 kali dibaca

Santri Siaga Jiwa Raga”. Demikian para santri menyongsong tema Hari Santri Nasional 2021. Hari Santri merupakan kebanggaan dan menjadi momentum perayaan dengan beramai-ramai. Berharap tidak hanya slogan, tapi bisa diwujudkan secara nyata. Sejak ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada 22 Oktober 2015, status kesantrian merupakan kebanggaan tersendiri setelah perjuangan mengentaskan bangsa dari penjajahan. Santri diakui sebagai bagian dari mujtahid kemerdekaan.

Jihad santri untuk negeri ini jauh dimulai sebelum bangsa Indonesia merdeka. Riwayat sejarah mengungkap keberadaan santri dimulai dengan aksi reduksitas Wali Songo terhadap pendidikan agama Hindu secara kultural. Islamisasi oleh Wali Songo tidak lepas dari pengadaan pendidikan Islam bagi kaum pelajar waktu itu. Mereka tidak hanya mentransformasi ilmu dan teladan, melainkan juga menyediakan tempat (pesantren) menetap bagi para santrinya. Dari sinilah kemudian dikenal unsur trilogi santri, pesantren, dan kiai (I.J Brugmans: 1993).

Advertisements

Dibandingkan dengan pendidikan Eropa Kontinental, baik sebelum atau ketika adanya “politik etis” dari pemerintahan Hindia-Belanda, pendidikan santri jauh lebih kental dengan kesederhanaan. Tipikal pendidikan berbasis keislaman sudah dilakukan di tengah gempuran penjajah, urbanisasi keilmuan dari satu desa ke desa yang lain menjadi media satu-satunya yang harus ditempuh oleh para mujtahid waktu itu, serta bangunan gubuk yang “serba bisa” santri gunakan dalam aktivitas keseharian.

Tantangan Santri Milenial

Sebagai bangsa bekas jajahan kolonialisme dan imprealisme selama berabad-abad, kemerdekaan adalah suatu rahmat Tuhan yang memerlukan adanya tekad ikhtiyar dan pengorbanan, salah satunya dari santri.

Keberadaan santri memegang peranan fundamental dalam pencapaian sebuah kemerdekaan. Santri tetap dengan entitas nilai hubbul wathan minal iman (mencintai tanah air adalah sebagian dari iman), lakon pewaris kemerdekaan dan penerus cita luhur peradaban—adalah menjadi suatu keharusan bagi santri dituntut mampu beradaptasi dengan zaman dan beragam varian perubahan di dalamnya. Atas dasar persamaan nasib dalam ikatan produk tanah air, para kiai dan santrinya dari latar kebudayaan beragam merebut kemerdekaan sekaligus mempertahankannya.

Dalam rekam jejak sejarah, prinsip dan nilai kesantrian telah beraktualisasi secara apik dalam kehidupan bangsa. Banyak perubahan berorientasi secara progresif lahir dari semangat juang para santri. Namun prinsip kesantrian yang lahir dari kesadaran juang jihad akan terus diuji konsistensinya dalam sebuah percaturan dinamika sosio-kultural atau politik yang mengglobal (baca: Santri Zaman Now, Nasrullah Nurdin).

Dahulu pada zaman kolonial, konsistensi itu diuji dalam keteguhan mengacungkan bambu runcing. Beralih pada demokrasi yang akan dimutilasi pada oligarki-autokrasi, hingga pada pergerakan komunisme, serikatisasi khilafah dan gerakan separatisme Aceh dalam ruang kebangsaan, menuntut kemampuan santri berestorasi pada blokade ideologi agamis-pancasilais-demokratis.

Tugas penting dari santri adalah berpegang teguh terhadap eksistensinya sendiri. Tidak hanya berhenti dalam posisi itu, santri juga harus mereaktualisasi pola semangat perjuangan dengan relevansinya dengan zaman. Ada banyak sekali pengintaian dengan bayang-bayang ideologis seperti radikal-liberal, politk identitas, atau segregasi hierarki kekuasaan yang mengakibatkan pemberontakan di Papua menjadi ancaman bagi kemurnian paham kebangsaan. Sebagai bentuk implementasi prinsip kesantrian terhadap kompleksitas permasalahan saat ini, rekonstruksi pola perjuangan kontemporer menjadi jalan solutifnya.

Ijtihad Kontemporer

Sejauh dedikasi bangsa bagi berwujud dan berlangsungnya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bangsa saat ini tetap eksis dan relevan dalam merespons berbagai persoalan zaman secara terus menerus. Santri memiliki nilai historitas jihad kebangsaan yang merupakan implikasi dari keberadaannya sebagai penerus cita-cita luhur peradaban. Berbagai persoalan yang masuk dalam ruang lingkup kebangsaan merupakan bagian dari orientasi jihad bersama.

Koreksi yang saya hadirkan dalam tulisan ini adalah “jihad kontemporer”. Secara eksplisit, Prof. Quraish Shihab memantik jihad sebagai usaha yang dilakukan seseorang sampai pada titik melelahkan. Kontekstualnya, bangsa—termasuk santri—memiliki nilai orientasi jihad kebangsaan.

Eksistensi santri sangat erat korelasinya dengan persoalan yang menyangkut masa depan bangsa itu sendiri. Jihad harus tetap eksis berdasarkan relevansinya dengan zaman (Ar-Risalah Muhammad Abduh). Karena nilai luhur peradaban yang menjadi dasar kebangsaan bersifat universal dan multifungsional melampaui zaman. Hanya saja santri perlu mengkaji secara terus-menerus substansinya sebagai landasan pemecahan dari berbagai persoalan.

Karena jihad erat relasinya dengan persoalan zaman, maka metode jihad melalui dakwah fikrah pada masa Muhammad bin Abdul Wahhab, metode jihad dalam bentuk harakah yang dilakukan KH Hasyim Asy’ari, atau jihad dengan angkat bambu runcing pada masa penjajahan sudah saatnya direaktualisasi dalam bentuk jihad kontemporer dengan menunggangi tantangan globalisasi.

Tercatat ada 1,4 juta santri di seluruh Indonesia. Dengan populasi yang cukup besar, santri perlu diarahkan untuk memahami konsep jihad kontemporer. Merespons paham baru yang dibawa oleh siber teknologi dengan mengapresiasi berbagai bentuk kebudayaan lokal untuk menemukan nilai historitas perjuangan. Kemudian santri akan mengambil peran sebagai mujtahid kontemporer untuk keutuhan bangsa dari berbagai ancaman.

Akhirnya, implikasi dari laju zaman tetap keniscayaan dari hakikat perubahan. Semuanya berubah, tidak ada yang statis, santri harus mampu merespons berbagai dampak yang dibawanya. Bangsa memiliki sanad peradaban yang jelas sebagai filterasi dari pada hal tersebut. Kesadaran jihad kebangsaan yang harus kontekstual dengan persoalan zaman perlu dipupuk mulai saat ini. Santri semua memiliki beban moral dan sosial kemasyarakatan. Karena definisi mati yang sebenarnya adalah hidup tanpa beban moral.

 

Multi-Page

Tinggalkan Balasan