Hari Santri 2021 (2): Tradisi Pesantren dan Kemaslahatan Umat

528 kali dibaca

Dalam berbagai literatur sejarah dikatakan bahwa pesantren bukan hanya lembaga pendidikan keberagamaan, melainkan juga sebagai ruang pembentukan manusia. Ahmad Dahri (2020) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada tiga pilar kurikulum pesantren yang sangat penting dalam membangun kerukunan umat, di antaranya adalah tasawuf, fikih, dan ilmu kalam. Ketiganya bermuara pada turunan-turunan dari filsafat. Faizin Ainun Najib (2019) menegaskan bahwa pendidikan di dalam pesantren tidak hanya bermuara pada teks al-Quran dan Hadis, tetapi juga kondisi sosial sebagai ruang kehidupan yang luas dan dinamis.

Mula-mula kita perlu memahami bagaimana pendidikan pesantren menjadi— bahkan bukan hanya sebagai alternatif,  melainkan sebagai— solusi kemaslahatan. Karena kehidupan yang majemuk memaksa setiap manusia untuk berkembang dan mampu menyesuaikan diri, tanpa harus meninggalkan citra diri sebagai manusia. Manusia sebagai mikrokosmos tentu memiliki keluasan ruang dan berpikir dalam merespons setiap kejadian yang ditemuinya.

Advertisements

Pesantren dengan ragam tradisi menawarkan sikap dan respons terhadap segala perubahan. Kita tahu, dari masa prapenjajahan, sampai akhirnya pesantren menjadi penyumbang atas berdaulatnya bangsa Nusantara dengan berpegang teguh pada kebinnekaan, hal yang menjadi landasan dan dasar bergeraknya adalah kemaslahatan.

Para kiai dan santri bergerak dengan pendekatan fiqhiyah untuk menentukan keputusan-keputusan yang tepat dan tidak merugikan siapa pun; di satu sisi tetap menjaga kesederhanaan dan sikap spiritualitasnya kepada Tuhan, dan tanpa melupakan akal budi sebagai bentuk fasilitas fitrah dari Tuhan.

Gerry van Klinken dalam Sita van Bemmelen dan Remco Raben (2011) menegaskan bahwa wilayah Nusantara yang saat itu belum memiliki wilayah politik adalah Kalimantan, namun Soekarno dan beberapa ilama serta tokoh adat Dayak melakukan sebuah diskusi agar – walaupun terciptanya provinsi tersendiri, namun tetap menjadi bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia. Artinya menjaga keutuhan dan kesatuan bukan lagi menjadi persoalan agama, melainkan persoalan kemanusiaan. Hal ini juga menjadi satu alasan mengapa resolusi jihad di Surabaya pada 22 Oktober 1945 menjadi landasan perjuangan.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan