Hari Santri 2021 (2): Tradisi Pesantren dan Kemaslahatan Umat

547 kali dibaca

Dalam berbagai literatur sejarah dikatakan bahwa pesantren bukan hanya lembaga pendidikan keberagamaan, melainkan juga sebagai ruang pembentukan manusia. Ahmad Dahri (2020) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada tiga pilar kurikulum pesantren yang sangat penting dalam membangun kerukunan umat, di antaranya adalah tasawuf, fikih, dan ilmu kalam. Ketiganya bermuara pada turunan-turunan dari filsafat. Faizin Ainun Najib (2019) menegaskan bahwa pendidikan di dalam pesantren tidak hanya bermuara pada teks al-Quran dan Hadis, tetapi juga kondisi sosial sebagai ruang kehidupan yang luas dan dinamis.

Mula-mula kita perlu memahami bagaimana pendidikan pesantren menjadi— bahkan bukan hanya sebagai alternatif,  melainkan sebagai— solusi kemaslahatan. Karena kehidupan yang majemuk memaksa setiap manusia untuk berkembang dan mampu menyesuaikan diri, tanpa harus meninggalkan citra diri sebagai manusia. Manusia sebagai mikrokosmos tentu memiliki keluasan ruang dan berpikir dalam merespons setiap kejadian yang ditemuinya.

Advertisements

Pesantren dengan ragam tradisi menawarkan sikap dan respons terhadap segala perubahan. Kita tahu, dari masa prapenjajahan, sampai akhirnya pesantren menjadi penyumbang atas berdaulatnya bangsa Nusantara dengan berpegang teguh pada kebinnekaan, hal yang menjadi landasan dan dasar bergeraknya adalah kemaslahatan.

Para kiai dan santri bergerak dengan pendekatan fiqhiyah untuk menentukan keputusan-keputusan yang tepat dan tidak merugikan siapa pun; di satu sisi tetap menjaga kesederhanaan dan sikap spiritualitasnya kepada Tuhan, dan tanpa melupakan akal budi sebagai bentuk fasilitas fitrah dari Tuhan.

Gerry van Klinken dalam Sita van Bemmelen dan Remco Raben (2011) menegaskan bahwa wilayah Nusantara yang saat itu belum memiliki wilayah politik adalah Kalimantan, namun Soekarno dan beberapa ilama serta tokoh adat Dayak melakukan sebuah diskusi agar – walaupun terciptanya provinsi tersendiri, namun tetap menjadi bagian dari wilayah Negara Republik Indonesia. Artinya menjaga keutuhan dan kesatuan bukan lagi menjadi persoalan agama, melainkan persoalan kemanusiaan. Hal ini juga menjadi satu alasan mengapa resolusi jihad di Surabaya pada 22 Oktober 1945 menjadi landasan perjuangan.

Dengan demikian, bukan tanpa alasan jika pesantren turut serta dalam pembentukan manusia dan menyumbangkan pemikiran-pemikiran yang tentu mengambil dari nilai-nilai Al-Quran dan Hadis dan pemikiran ulama Ahlussunah wa al Jamaah. Bagaimanapun bentuknya dan penyebutannya, pesantren turut serta dalam menjaga kerukunan umat beragama, berbangsa, dan bernegara.

Peringatan hari santri adalah salah satu bentuk penghormatan terhadap sumbangsih para pendahulu, dan menjadi upaya nguri-nguri spirit kemanusiaan yang lahir dari ruang pendidikan tradisional, yang disebut kebanyakan peneliti sebagai pesantren. Dengan demikian, pesantren adalah lembaga yang memiliki kreativitas pendidikan dan kepekaan sosial yang lekat dan syarat akan kemaslahatan umat.

Hal inilah yang oleh Gus Dur (2006) disebut, karena bangsa kita beraneka ragam dalam pandangan hidup, dengan sendirinya negara tidak dapat hanya melayani mereka yang berpandangan negara Islam saja. Interpretasi inilah yang kemudian menjadi landasan berpikir bahwa kemaslahatan umat beragama dan berbangsa menjadi satu dasar penting dalam menjalani kehidupan. Tidak berat sebelah dan tidak mengenyampingkan kepentingan sepihak. Oleh sebab itu, sangat naif jika pendidikan pesantren dinomorduakan, dan perjuangan dalam mempertahankan martabat bangsa dan negara dihilang-hilangkan. Apalagi dalam perebutan kekuasaan atau kontestasi politik yang justru memecah belah. Padahal perjuangan para kiai dan pendahulu bangsa ini adalah menjaga kebinnekaan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan