“Hal Anta Kholas Ta’kul?”

47 views

With language the world in your hands.

Dengan bahasa, dunia ada di tanganmu. Kita tahu bahwa semakin banyak bahasa yang dipelajari, semakin banyak pula orang-orang hebat yang bisa kita temui, tempat-tempat indah yang bisa kita jelajahi.

Advertisements

Maksudnya, semakin mahir kita dalam berbahasa asing, maka semakin besar pula kesempatan kita untuk berkomunikasi dengan orang asing serta mengunjungi berbagai negara yang bahasanya kita kuasai, terutama bahasa Inggris yang merupakan bahasa internasional.

Selain memperdalam ilmu agama, sebagai santri, kita harus selalu peka terhadap perkembangan dunia luar. Untuk itu diperlukan penguasaan bahasa asing sebagai sarana berkomunikasi.

Bahasa Inggris, secara khusus memiliki peranan yang sangat penting sebagai bahasa internasional yang digunakan oleh orang-orang di berbagai belahan dunia. Juga tak kalah penting adalah bahasa Arab yang merupakan bahasa Al-Qur’an. Bahkan terdapat ungkapan al-arabiyah hiya lughotul jannah, yang berarti bahasa Arab adalah bahasa surga. Oleh karna itu, banyak pondok pesantren yang mewajibkan santri menggunakan bahasa Inggris dan Arab dalam berkomunikasi sehari-hari.

Asbun Berbahasa Asing

Tidak sedikit yang beranggapan bahwa santri yang belajar di pondok pesantren bisa berbicara dengan lancar menggunakan bahasa asing. Faktanya, sebagian besar santri memang mampu berkomunikasi menggunakan bahasa asing dengan kaidah yang benar. Namun, tak sedikit santri ketika berbicara dalam asing terbilang asbun alias asal bunyi.

Kelompok yang terakhir ini berbicara tanpa memperhatikan aturan tata bahasa. Atau, ketika berbicara dalam bahasa asing, struktur bahasanya campur aduk. Tak jarang, mereka juga keliru dalam penggunaan kosa kata tanpa memahami konteks penggunaannya.

Berdasarkan pengalaman pribadi saya sebagai alumnus Pondok Pesantren Darul Arifin Jambi, pondok pesantren ini juga menerapkan sistem berbahasa asing sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Sistem berbahasa asing ini membuat santri bisa berekspresi, mengungkapkan, serta berlatih kemampuan dalan berbahasa asing.

Namun, perlu juga digarisbawahi bahwa santri yang bisa memakai bahasa asing dengan kaidah yang benar belum terbilang banyak. Sebagian besar dari mereka cenderung menggunakan bahasa asing yang “di-indonesiakan.”

Sebagai contoh, pertanyaan dalam bahasa Indonesia “Apakah kamu sudah makan?” diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi “Are you finish eat?” dan jika disalin ke dalam bahasa Arab menjadi “Hal anti/anta kholash ta’kul?”

Hal seperti ini juga sering terjadi di beberapa pesantren lainnya. Berdasarkan hasil wawancara yang saya lakukan dengan beberapa narasumber dari alumni Pondok Pesantren Gontor, La Tansa, dan Daar el-Qolam, mereka juga menggunakan bahasa asing sebagai sarana utama komunikasi sehari-hari. Mereka juga mengakui bahwa meskipun banyak santri yang dapat berbicara dengan lancar menggunakan bahasa Inggris dan Arab, namun sering terdapat kesalahan dalam gramatika atau tata bahasa.

Ini menandakan masih banyak santri yang terjebak di “zona nyaman,” tidak mau susah-susah memperbaiki tata bahasa mereka agar menjadi lebih baik. Mereka membiarkan diri terbiasa berbicara dalam bahasa asing dengan tata bahasa yang salah, bahkan setelah lulus dari pondok pesantren.

Keluar Zona Nyaman

Agar tak asbun dalam berbahasa asing, santri harus mempelajari tata dan kaidah bahasa yang benar dan berusaha menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Memperbanyak kosa kata atau mempelajari beberapa ungkapan sederhana penting untuk meningkatkan kemampuan berbahasa. Misalnya, ungkapan yang memiliki makna berbeda dari arti harfiah kata-kata penyusunnya, yang biasa disebut dalam bahasa Inggris sebagai idioms atau ‘ushlub dalam bahasa Arab.

Penguasaan idioms atau ‘ushlub sebab ada juga beberapa ungkapan yang tidak sesuai dengan dengan maknanya. Sebagai contoh, “La takun qoodiman” jika diterjemahkan satu per satu dari kosa katanya menjadi “jangan menjadi lama.” padahal arti sebenarnya adalah “jangan lama-lama.”

Sama halnya dengan bahasa Inggris, contohnya “Don’t take too long” jika diartikan satu per satu berarti “jangan mengambil terlalu lama.” Kalimat ini bisa juga benar bila konteks/kondisinya sedang mengambil sesuatu. Namun kalimat ini banyak diartikan orang dalam konteks sedang menunggu, yaitu “jangan lama-lama.” Begitulah kira-kira artinya.

Selain hambatan menggunakan kaidah bahasa yang benar, santri juga sering lupa dengan kosa kata yang telah dihafal sebelumnya. Untuk itu, Pondok Pesantren Darul Arifin Jambi menyiapkan kutaib atau biasa disebut dengan “kuteb” yang berarti buku kecil. Kuteb ini diberikan kepada santri untuk mencatat kosa kata yang telah diberikan pada saat ilqo’ (pembagian kosa kata) di pagi hari.

Tidak hanya itu, para santri juga diajarkan cara menggunakan kosa kata tersebut sesuai kaidah bahasa yang benar. Juga diberi satu idioms atau ushlub setiap harinya, mengadakan weekly conversation, serta santri awards yang biasa disebut “queen of language” untuk meningkatkan semangat santri dalam berbahasa asing.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan