Haji dengan Catatan

777 kali dibaca

Haji adalah satu-satunya peribadatan dalam rukun Islam yang ditetapkan dengan catatan. Hanya diwajibkan sekali dalam seumur hidup, dan itu pun dengan catatan: berkemampuan. Ini berbeda dengan empat rukun Islam lainnya, seperti bersyahadat, mendirikan salat, berpuasa, dan mengeluarkan (ingat: bukan membayar!) zakat.

Kenapa kewajiban berhaji ini ditetapkan dengan catatan harus berkemampuan? Yang terbayang pertama sebagai illat adalah tempat. Sebab, berhaji harus dilaksanakan di Tanah Suci Mekkah yang berpusat di Ka’bah. Tidak boleh di tempat lain.

Advertisements

Islam sebagai agama mondial, tentu saja lebih banyak penganutnya yang bermukim jauh, sangat jauh, dari Ka’bah. Karena itu, bagi yang bermukim jauh dari Mekkah, yang tinggal di negara-negara lain atau benua-benua yang berbeda, bukan selalu menjadi perkara mudah untuk bisa datang ke Tanah Suci. Itulah kenapa kewajiban ibadah haji ditetapkana dengan catatan: jika mampu! Dan yang diwajibkan pun hanya sekali dalam seumur hidup.

Tersedia beragam tafsiran perihal “kemampuan” untuk pergi haji ini. Yang pertama dan utama tentu dari sisi finansial. Seseorang yang dari segi kekayaan dianggap memiliki ongkos yang mencukupi untuk berangkat ke Tanah Suci, maka hukumnya wajib untuk berhaji.

Tapi tafsiran perihal “kemampuan” itu tidak tunggal. Sebab, ada tafsiran yang mengaitkan “kemampuan” atau “jika mampu” itu, misalnya, dengan kondisi kesehatan dan situasi sosial politik selama seluruh tahapan haji berlangsung. Mewabahnya suatu penyakit, seperti pandemi Covid-19 saat ini, misalnya, jelas bisa ditafsirkan sebagai penghalang bagi seseorang untuk berangkat haji. Atau, jika jalur lalu lintas keberangkatan haji sedang dilanda perang, juga dapat ditafsirkan sebagai penghalang bagi seseorang untuk berangkat haji.

Jika seseorang, meskipun bekalnya melimpah, namun keselamaatan jiwanya bisa terancam selama mengikuti proses haji, berdasarkan tafsiran-tafsiran tersebut, maka ia bisa digolongkan sebagai orang tidak berkemampuan untuk berhaji. Saat itu kewajibannya gugur —dan bisa mencobanya kembali tahun berikutnya.

Begitulah konstruksi hukum berhaji terbentuk dengan catatan: jika mampu atau berkemampuan. Maka menjadi sulit dimengerti jika orang ramai kemudian “menyinyiri” kebijakan suatu negara yang membatalkan keberangkatan ibadah haji demi keselamatan bersama. Bukan cuma keselamatan masyarakat muslim suatu negara, tapi bahkan keselamatan masyarakat muslim dunia. Bahkan, kenyinyiran itu terasa sudah melampaui batas dengan menuduh pihak-pihak lain sebagai pembenci Islam.

Padahal, dalam sejarah haji, banyak dikisahkan orang-orang dari tempat-tempat tertentu gagal berangkat ke Tanah Suci karena berbagai persoalan, termasuk persoalan-persoalan yang mengancam jiwa dan keselamatan.

Karena itu, sesungguhnya banyak hikmah sufi yang bisa kita jadikan cermin, agar bisa melihat dengan pandangan yang jernih tentang hakikat berhaji. Salah satunya kisah Abu Bakar Al-Kattani, ulama terkemuka abad ke-4, yang gagal berhaji.

Saat masih remaja, ulama kelahiran Baghdad ini meminta izin kepada ibunya untuk pergi haji. Ibunya ditinggal seorang diri di rumah. Saat itu, ia harus berjalan menyusuri padang pasir untuk bisa sampai ke Tanah Suci. Di tengah jalan, ia kaget saat bertemu dengan mayat yang tergeletak di padang pasir namun bibirnya tersenyum.

Didera penasaran, Abu Bakar bertanya, “Mengapa engkau tersenyum, padahal sudah mati?”

“Karena kasih Allah,” mayat itu menjawab.

Abu Bakar kemudian melanjutkan perjalanannya. Namun, jawaban mayat itu selalu terngiang-ngiang di sepanjang perjalanan. Di tengah perjalanan itu, tiba-tiba ia tersadar perbekalannya telah habis, sedangkan perjalanan masih panjang. Maka, ia putar balik. Kembali pulang untuk menambah perbekalan.

Sesampai di rumah, sang ibu sedang menunggunya di balik pintu, dengan roba berbinar dan senyum menawan. Abu Bakar pun heran dengan sikap ibunya. Lalu bertanya, “Ibu, bukankah ibu telah mengizinkan aku pergi?”

“Ya. Tetapi tanpa engkau aku tak sanggup melihat rumah ini. Sejak engkau pergi, aku duduk di tempat ini terus-menerus.”

Jawaban itu menyadarkan Abu Bakar Al-Kattani untuk tidak mengulangi perbuatannya, meninggalkan ibunya seorang diri. Sejak itu ia berjanji, sebelum ibunya meninggal ia tidak mau mengarungi padang pasir lagi untuk berangkat haji.

Kelak, Abu Bakar Al-Kattani mendapat julukan “Pelita Masjidil Haram” karena menetap di kota Makkah hingga wafatnya. Selama tinggal di Tanah Suci, setiap malam waktunya diisi dengan salat malam dan membaca Al-Quran sampai khatam.

Tapi kisah ulama masyhur ini bukan satu-satunya hikmah sufi untuk melihat hakikat haji dengan pandangan jernih. Dulu, di daerah Syam, hiduplah seorang tukang sepatu. Meskipun miskin, ia memiliki niat yang kuat untuk berhaji.

Saban hari, selama bertahun-tahun, ia pun menabung. Saat musim haji tiba dan tabungannya sudah cukup, ia bersiap berangkat ke Tanah Suci. Namun, istrinya yang sedang hamil memanggilnya. Si istri mencium bau daging panggang yang membuat lidahnya ngiler. Ia menyuruh suaminya ke rumah tetangga yang sedang memanggang daging. Si istri ingin merasakan nikmatnya.

Tukang sepatu itu memenuhi permintaan istrinya yang sedang hamil. Ia ketuk pintu rumah yang menjadi sumber aroma daging panggang itu. Dari balik pintu, keluar sosok perempuan tua. Saat tukang sepatu itu meminta barang sedikit daging panggang yang diingini istrinya yang lagi ngidam, perempuan tua itu bingung.

Ia akhirnya membuka diri: setelah suaminya meninggal beberapa waktu lalu, kini tak ada lagi yang bisa dimakan. Sedang anaknya terus merengek kelaparan. Perempuan tua itu akhirnya berusaha. Ia menyusuri jalan mencoba mengais makanan. Di sebuah pinggir jalan, ia menemukan bangkai kambing yang dibuang oleh seseorang. Bangkai kambing itulah yang ia gotong pulang, kemudian ia panggang.

Tukang sepatu itu langsung berlari pulang sambil menampari wajahnya sendiri. Menyalahkan diri sendiri. Sampai di rumah, ia mengambil uang tabungannya, lalu dibagi dengan janda beranak yang sedang kelaparan itu. Ia lebih memilih memberi makan tetangganya yang kepalaran daripada berangkat haji.

Di seberang yang jauh, seorang sufi, al-Imam Abdullah bin Mubarak, sedang bermimpi. Dalam mimpinya, ia mendengar percakapan dua orang yang menyebut-nyebut bahwa Allah menerima haji semua orang menjadi haji mabrur lantaran saat bersamaan ada tukang sepatu yang gagal naik haji. Sang sufi kemudian pergi ke Syam dan menemui tukang sepatu itu.

Kepada tukang sepatu itu, Abdullah bin Mubarak pun berkata, “Berbahagialah engkau, Allah tidak hanya mencatatmu sebagai seorang haji saja, tapi karenamu Allah menerima ibadah haji semua orang di tahun ini.”

Para sufi memang lebih jernih dalam memandang hakikat suatu hal, seperti juga yang dapat dilihat dalam nukilan syair sufis Hamzah Fansuri ini:

Hamzah Fansuri di dalam Mekkah
Mencari Tuhan di Baitul Ka’bah
Dari Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya dijumpa di dalam rumah.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan