Haidar Bagir dan Tarekat Alawiyah

1,412 kali dibaca

Dalam suatu kesempatan, Haidar Bagir, seorang aktivis keilmuan Islam kelahiran Solo, Jawa Tengah, ini menyampaikan pandangannya tentang prinsip damai dan cinta dalam Tarekat Alawiyah. Haidar Bagir memang dibesarkan di lingkungan yang memegang teguh nilai-nilai dasar dari Tarekat Alawiyah. Lumrah jika kemudian ia fokus dalam menekuni kajian Timur Tengah, khususnya dalam dunia tasawuf.

Pada kesempatan tersebut, Haidar Bagir mengawali penjelasan dengan melakukan pelurusan terhadap makna tarekat. Tarekat (thariqah) yang menurutnya bermakna “jalan-jalan kecil/ pintas” adalah bagian atau cabang dari syariah yang berarti “jalan besar”. Tidak seperti fungsi jalan tol, apabila seseorang ingin menuju suatu tempat terpencil (misal, sumber air kehidupan), maka seseorang harus melewati jalan yang lebih kecil untuk bisa menuju tempat tersebut, bukan jalan tol.

Advertisements

Banyak yang menyatakan bahwa mengikuti sebuah (jalan) tarekat adalah menjauhkan diri dari ketentuan syariat (Islam), namun Haidar Bagir tidak sejalan dengan pernyataan ini. Menurutnya, tarekat adalah tahap lanjut seseorang dalam menjalani pengalaman keagamaan yang lebih dalam, yang mana tentu harus melewati jalan ini.

Baginya, Tarekat Alawiyah adalah representasi dari ajaran serta ijtihad dari para ulama terdahulu. Dalam tarekat ini, pijakan para Alawiyyin (kelompok ‘Alawiyah) dalam menjalankan praktik tasawufnya adalah kepada Imam al-Ghazali serta Imam Abu Hasan as Syadziliy. Para Alawiyyin menganggap bahwa agama perlu dihidupkan dengan koridor syari yang tepat, sekaligus dengan hiasan tasawuf yang mendalam. Landasan ini tidak lain juga berdasar pada konsep “muamalah tasawuf” yang diperkenalkan Imam al-Ghazali dalam kitab fenomenalnya, Ihya Ulumuddin.

Tarekat Damai dan Cinta

Haidar Bagir, pada kesempatan tersebut, menerangkan bahwa Tarekat Alawiyah mempunyai prinsip-prinsip mendasar tentang damai dan cinta. Para Alawiyyin mendasari prinsip mereka pada penghindaran terhadap suatu konflik yang besar dalam rangka menjaga perdamaian.

Ini dilatarbelakangi oleh para pendahulu mereka, seperti Imam Ahmad bin Isa al Muhadjir, yang pernah hijrah dari Irak karena terjadi fitnah besar (chaos) ke Hadhramaut, Yaman. Bentuk penghindaran ini bukan berarti kekalahan atau suatu kelemahan. Namun sebaliknya, penghindaran di sini adalah untuk pencapaian suatu kemaslahatan yang lebih mendasar.

Usaha-usaha tersebut tidak lain adalah diambil dari perilaku dan teladan kepada Rasulullah SAW saat menghadapi suatu konflik. Rasulullah  pernah hijrah dari Mekkah menuju Madinah untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang buruk dalam dakwah Islam.

Tah hanya itu, Rasulullah  menjadikan peperangan menjadi jalan terakhir bagi sebuah konflik. Pada bukti historis yang ada, Rasulullah  “terpaksa” melakukan sebuah peperangan apabila memang sudah merasa terancam dan diagresi oleh pihak lawan, atau dalam perkara lain pembelaan terhadap tindak penindasan. Jadi, Haidar Bagir tidak membenarkan apabila saat ini muncul asumsi-asumsi bahwa pembuktian keimanan harus dengan jalan perang. Menurutnya itu salah kaprah.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, Wali Songo pun membawa dakwah dengan cinta dan damai. Ini terbukti dari warisan-warisan dakwah Wali Songo yang nir-peperangan, akan tetapi menggunakan pendekatan-pendekatan yang bisa diterima masyarakat saat itu. Diketahui pula bahwa sebagian besar tokoh Wali Songo adalah para Alawiyyin, yang mana pendahulu-pendahulu mereka adalah seorang ulama di berbagai negara, lalu berhijrah ke tanah Nusantara.

Pungkas Haidar Bagir dalam sesi tersebut, ia menekankan bahwa Tarekat Alawiyah mempunyai visi utama terhadap terciptanya keadaan cinta dan damai. Beliau menjelaskan bahwa usaha dalam mewujudkan visi tersebut di antaranya, yakni reformasi sosial yang peaceful. Reformasi ini diharapkan menjadi sebuah jalan sokongan yang ampuh terhadap upaya-upaya pendekatan religius yang mendalam.

Kemudian, tarekat ini juga senantiasa meneguhkan dan memelihara hubungan silaturrahim di tengah keluarga serta masyarakat. Tak hanya itu, para Alawiyyin memberikan concern yang amat besar terhadap keilmuan, utamanya ilmu agama yang bersanad. Terbukti, dari didirikannya berbagai dzawiyah serta rubath-rubath yang banyak mempunyai cabang di berbagai wilayah.

Wallahu A’lam bi as Showaab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan