Gus Yaqut dan Regulasinya

848 kali dibaca

Niat baik Kementrian Agama (Kemenag) untuk mengintensifkan ihwal moderasi beragama di Indonesia bernasib tidak mujur. Meski sebelumnya sempat mendapat apresiasi dan sanjungan dari beberapa pihak dan organsisasi publik, ekspresi kekecewaan tak terhindarkan tatkala landasan filosofis peraturan No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara Masjid dan Musala terus digali kemunculannya.

Beberapa pihak menilai ungkapan Gus Yaqut cenderung negatif dan desktruktif. Media dengan narasumber mereka masing-masing telah ramai menjastis Gus Yaqut bersalah karena tarikan narasi konklutif yang muncul dari pernyataan itu adalah “menyamakan azan dengan suara anjing”. Bahkan, terdapat pihak yang telah membawa ungkapan itu ke meja hijau dengan delik sosial yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Advertisements

Suatu aturan yang orientasinya dimaksudkan untuk merekatkan ulang persatuan, setelah bangsa dicekoki dengan beragam isu krusial, menjadi polemik keagamaan menggantikan isu yang baru saja berlalu. Secara implisit, Kemenag dengan peraturannya itu ingin menciptakan harmoni sosial di tengah corak kehidupan bangsa yang beragam.

Kemenag tidak ingin Islam sebagai agama dominan di Indonesia dengan alat syiar berupa toa (pengeras suara) dalam realitasnya dapat mengganggu keharmonisan hidup berdampingan. Sehingga muncul empati dan toleransi antarumat beragama di mana pengeras suara bisa digunakan secara bijak tanpa berlebihan.

Harmoni Kota dan Desa

SE No 05 tahun 2022, suatu aturan yang mungkin relevan dengan lingkungan perkotaan yang plural tapi kurang pas dengan karakter kultur perdesaan. Sentralitas kota sebagai pusat pemerintahan, ekonomi dan pendidikan telah mengakibatkan urban besar-besaran yang tidak mungkin memungkiri nominasi keberagaman. Sehingga kehadiran peraturan Kemenag adalah langkah reflektif dalam mengeksplor kondisi heterogen itu. Di desa sebaliknya, harmoni sosial tercipta secara alamiah tanpa benturan keyakinan karena impact kondisi kultur keagamaan masyarakat desa yang homogen dan kental dengan kearifan lokal.

Pada faktanya, toa adalah denyut keagamaan masyarakat desa. Ritus keagamaan dengan penegeras suara menunjukkan geliat Islam tetap eksistensif berafiliasi dengan kehidupan sosial di desa. Karena tidak jarang agama teralienasi dari kehidupan penganutnya karena dinafikkan dari kepentingan dan percaturan duniawi umatnya sendiri. Toa menunjukkan aktivitas keagamaan masyarakat tetap hidup, bagaimana shalawatan, sorogan (pengajian), yasinan, tadarusan (baca Al-Quran secara bergiliran) terus bergema saling sahut antara masjid yang satu dan lainnya menciptakan nada harmoni bagi pendengarnya.

Bahkan di kala matahari berarak ke peraduannya, toa menjadi instrumen peringatan bagi anak-anak yang masih asyik dengan permainannya. Toa dengan gema shalawat tarkhim yang terus bersahutan mengarak anak kecil secara perlahan berangkat ke masjid atau musala. Selepas salat jamaah, tadarusan dan gerakan batin thariqah tertentu kembali menghiasi pengeras suara dengan lantunan puja dan dzikir. Pengeras suara menjadi hal yang urgen dan tidak terpisahkan dalam geliat keagamaan masyarakat desa. Sekat dan partisi pembatasan pengeras suara tentu menjadi asing dalam kehidupan desa.

Fanatisme Religius

Tamsil keberagamaan yang tampak religus padahal mengandung tendensi fanatisme religus tampak dari respons berlebihan beberapa pihak atas ungkapan Gus Yaqut dengan delik keagamaan “menyamakan azan dengan suara anjing”. Padahal ketika landasan filosofis dari aturan Kemenag terus diminta oleh media, tarikan komparatif yang dihadirkan oleh Gus Yaqut adalah “regulasi dan suara anjing”.

Bahkan terdapat ungkapan seorang pemuka adat dalam tayangan video yang beredar mengharamkan tanah lokal daerahnya diinjaki Menag Yaqut. Baginya, seolah mewakili masyarakat beragama di daerahnya, Islam di sana dianut begitu murni sehingga karena sematan negatif yang muncul, Menag Yaqut hanya akan mereduksi kesucian agama di sana.

Upaya menjawab hal ini, teori semiotik pragmatis oleh filsuf Charles Sanders Peirce bisa dihadirkan, di mana terdapat tangkapan makna fenomologis atas suatu pernyataan (represantamen) menghasilkan suatu interpretasi semu melalui proses kognitif dan analisis objek yang kurang tepat (interpretan).

Pernyataan Gus Yaqut menjadi hal yang paradoks karena proses kongnitif yang dijalani tidak bisa dipertanggungjawabkan. Jadi terdapat semacam plesetan konklutif di mana suatu analogis (penisbatan) menjadi hal bertentangan secara sepintas karena proses dialektika pengetahuan yang tidak tepat. Seorang filsuf Jerman Friedrich Hegel mengilustrasikan itu dengan proses dialektik pengetahuan yang fatal akibat konsep menolak (antitesis) yang diajukan ambigu sehingga pengetahuan yang didapat menjadi semu (sintesis).

Selanjutnya, adalah masalah hedonisme virtual yang mengeksplor pemberitaan cenderung mendramatisasi objek secara berlebihan. Seorang intelektual muslim, Ulil Abshar Abdallah dalam cuitan komentarnya mengungkapkan itu dengan satire, “Bukan membandingkan adzan dan dan suara anjing. Yang dibandingkan adalah regulasi, pengaturan. Apa masalahnya membandingkan antara aturan soal adzan dan suara anjing? Sekali lagi, yang dibandingkan adalah aturannya. Tetapi media ingin “click”, lalu di-twist,”

Hedonisme virtual adalah jalan mulus dengan memanfaatkan jejaring dunia maya dalam menyusupkan kehendak personal. Radikalisme dan paham senada juga sejauh ini cukup berhasil karena bisa menggunakan peluang dalam mengeksplor ihwal virtual. Menghadapi hal itu, menurut Gus Mus keshalehan umat tidak hanya berkutat dengan masalah ilahiyah dan hubungannya secara kemanusiaan, melainkan juga bermoral dengan saleh virtual.

Inilah fanatisme religius yang memampang dalih sosio-keagamaan sebagai justifikasi kebenaran terhadap kehendak personal. Islam adalah agama hanif dan rahmatan lil alamien yang mengayomi seluruh umat manusia dalam ragam variannya. Kehadiran Kemenag dan regulasinya itu adalah bentuk representatif dari hal itu. Hal yang elementer dari peraturan Kemenag adalah meniadakan “gangguan” syiar Islam melalui pengeras suara agar harmoni sosial tetap terbina. Selain itu, tidak didapati maksud diskriminatif terhadap kelompok dan adat manapun. Ikhtiar ini menjadi bagian dari merawat persatuan bangsa dengan keberagamannya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan