Guru Syaekhoni

1,342 kali dibaca

Saya ingin mengenang seorang guru yang memiliki nama cukup pendek namun meninggalkan kenangan begitu panjang dalam ingatan saya: Syaekhoni.

Hingga hari ini, setelah puluhan tahun berlalu, saya masih bisa mengingat dengan takzim semua nama-nama, bahkan raut wajah dan gestur tubuh, guru-guru saya di madrasah ibtidaiyah. Namun, Pak Syaekhoni ini memang istimewa. Ia memiliki keistimewaan yang tak dimiliki guru-guru lain: mendongeng. Ya, itulah caranya mengajar di kelas: mendongeng.

Advertisements

Orangnya berperawakan kecil dan rambutnya dibiarkan agak panjang, lalu disisir kelimis setelah diurapi entah minyak apa. Sesekali berpeci hitam. Dari rumahnya yang berjarak sekitar empat kilometer, ia berangkat ke sekolah dengan mengonthel, mengayuh sepeda jengki —zaman itu tak ada guru yang naik sepeda motor, apalagi bermobil.

Tak perlu lagi dijelaskan bagaimana kesederhanaan penampilan guru-guru madrasah, apalagi di zaman dulu. Tapi caranya mengajar, ketika hari ini saya mengenangnya, sungguh tak bisa dibilang sederhana. Sebab, mendongeng itu ternyata bukan perkara gampang, dan tak semua orang atau semua guru bisa melakukannya. Saya sudah pernah melihat banyak pendongeng, tapi Pak Syaekhoni ini bagi saya masih yang terbaik.

Salah satu mata pelajaran yang diampunya adalah Tarikh, Sejarah Islam. Tidak seperti guru yang mengajar sejarah pada umumnya, yang menerangkan peristiwa-peristiwa historis secara kronologis berdasarkan buku teks, yang sangat kronikal dan begitu membosankan. Pak Syaekhoni datang ke ruang-ruang kelas kami menawarkan kesegaran. Setiap babakan dalam tarikh dihadirkan melalui dongeng. Disampaikan dengan cara mendongeng.

Bukan sekadar mendongeng. Belakangan saya menyadari, ia bukan pendongeng yang biasa. Sebab, ruang kelas tempat kami belajar seakan mampu ia sulap menjadi panggung teater, dan di sana ia sekaligus bisa berperan sebagai sutradara, narator, dan aktor-aktor sejarah dengan segala dialog dan acting-nya. Bukan, bukan sekadar mendongeng dengan cara bermolonog, misalnya. Sebab, di atas panggung tetater itu ia mampu memerankan segala peran.

Ia, misalnya, melalui narasinya, mampu menghadirkan suasana-suasana tiap babak dalam sejarah Islam secara intim. Hingga, seakan, kami murid-muridnya sedang berada di padang pasir, entah di Mekkah atau Madinah atau Jazirah Arab, menyaksikan peperangan demi peperangan yang terjadi antara orang-orang beriman dan kaum kafir.

Ia, misalnya, mampu menggambarkan sosok Umar ibn Khattab atau kemudian Khalid ibn Walid, dan kemudian memerankan diri sebagai Umar ibn Khattab atau Khalid ibn Walid dengan sama baiknya. Termasuk, bagaimana gaya tokoh-tokoh itu mengendarai unta atau menghela kuda atau menyabetkan pedang atau memerintah pasukan. Semua properti panggung teater itu seakan hadir sepenuhnya mememuhi imajinasi kami.

Biasanya, ketika Pak Syaekhoni sedang mendongeng di satu kelas, tak lama kemudian akan berubah menjadi pertunjukan teater yang terbuka untuk umum. Pelajaran di kelas-kelas lain akan segera diakhiri, dan murid-murid dari kelas lain itu akan segera berlarian, meriung atau merubung kelas di mana Pak Syaekhoni sedang mengajar, sedang mendongeng. Bahkan, sesekali, guru-guru kelas lain juga terlihat di antara murid-murid yang sedang khusyuk menikmati dongeng Pak Syaekhoni. Seringkali, ketika Pak Syaekhoni sudah mengakhiri dongengnya, kami tak segera beranjak dari ruang kelas karena dongeng-dongengnya masih memenuhi imajinasi kami.

Saya tak tahu dari mana Pak Syaekhoni, yang lulusan sekolah guru itu, belajar mendongeng. Saya juga tak tahu apakah ketika itu mendongeng merupakan salah satu dari metode pengajaran yang diatur dalam kurikulum. Yang saya rasakan, guru-guru saya ketika itu memiliki keleluasaan penuh soal cara bagaimana memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak didik. Salah satu yang teringat, sesekali tak ada pelajaran di ruang kelas. Murid-murid oleh para guru diajak ke sawah, entah untuk berburu tikus-tikus sawah, menanam padi, menyiangi rumput liar, atau memanen padi dari sawah yang memang milik sekolah. Jauh kemudian, model pendidikan seperti ini menjadi barang mewah.

Mungkin, mengajar dengan cara mendongeng yang dilakukan Pak Syaekhoni ketika itu merupakan sebuah improvisasi. Sebab, guru-guru lain tak melakukan hal yang sama. Tapi, darinya akhirnya saya tumbuh menjadi seseorang yang mencintai sejarah. Setidaknya, meskipun tak pernah belajar di jurusan sejarah, saya begitu menikmati membaca buku-buku sejarah, sejarah siapa saja, sejarah apa saja, sejarah yang membuka cakrawala.

Memang itulah tugas guru yang sebenarnya: membuka cakrawala anak-anak didiknya. Tanpa guru, dunia akan gulita.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan