Guru Sepanjang Waktu

367 kali dibaca

Tahun lalu saya mengenang Guru Syaikhoni sebagai guru pendongeng tiada tanding. Hari ini, yang membayang dalam kenangan adalah Pak Dul. Saya mengenangnya sebagai guru sepanjang waktu, guru segala ilmu.

Namanya Abdul Hadi. Orang-orang sejagat kampung saya, entah bocah-bocah, entah anak-anak, entah orang dewasa, atau kakek nenek mengenalnya sebagai Pak Dul. Panggilan penghormatan itu tentu diberikan karena posisinya sebagai guru.

Advertisements

Entah sejak kapan dan sampai kapan ia menjadi guru, saya tak ingat persis. Ketika saya baru masuk kelas 1 madrasah ibtidaiyah itu, Pak Dul sudah ada di sana. Bertahun-tahun kemudian, ketika saya sudah menjelajah ke berbagai penjuru negeri, Pak Dul masih di sana.

Itulah kenapa saya mengenangnya sebagai guru sepanjang waktu. Bukan semata-mata karena ia guru paling lama di madrasah ibtidaiyah itu, tapi di sepanjang waktu dalam hidunya ia memang selalu mendidik murid-muridnya, tak hanya di ruang-ruang kelas, tapi juga di berbagai ruang lain.

Perawakannya lebih ramping dan lebih tinggi dibandingkan dengan guru-guru yang lain. Sesungguhnya ia memiliki sorot mata yang tajam penuh selidik. Namun, entah kenapa, ia nyaris tak pernah tak mengulum senyum di hadapan kami, para muridnya. Itulah yang membuat kami merasa Pak Dul adalah bapak kami, bukan sekadar guru kami. Kami adalah anak-anaknya, yang sedang dibukakan jendela untuk mengintip dunia.

Di madsrasah ibtidaiyah itu, Pak Dul adalah guru “sapu jagat”. Saat saya sekolah di situ, ia sudah menjadi kepala sekolah sekaligus guru pengganti. Tak banyak orang yang mau menjadi guru saat itu. Sebab, menjadi guru adalah sepenuhnya jalan pengabdian. Jangan pernah bermimpi tentang gaji. Karena itu, hampir saban hari ada kelas kosong. Di kelas-kelas kosong itulah Pak Dul selalu ada sebagai guru pengganti, pada mata pelajaran apa saja: Matematika, Bahasa Arab, Bahasa Indonesia, Akidah-Akhlak, Tarikh, dan lain sebagainya.

Tak hanya di ruang-ruang kelas madrasah ibtidaiyah itu. Tak hanya pada jam-jam mata pelajaran berlaku. Sepanjang waktu, rumah Pak Dul selalu terbuka buat kami, murid-muridnya, untuk belajar kapan saja. Seringkali, di sore atau malam hari, saya bersama beberapa teman ke rumah Pak Dul. Di sana kami bisa belajar materi-materi pelajaran yang susah kami pahami selama di ruang kelas. Anak sekarang menyebutnya les privat dan berbayar. Tapi tidak di zaman itu. Kami mengenangnya dengan istilah “belajar bersama di rumah Pak Dul”.

Tak ada rumah bertingkat saat itu. Tapi entah mendapat ide dari mana, Pak Dul mengubah ruang antara atap rumah dengan plafonnya menjadi sebuah mezzanine. Ruang panggung. Di sanalah kami belajar entah sore atau malam hari. Dan di sanalah Pak Dul, dengan raut muka yang bungah berseri, dan senyum yang selalu terkulum, dengan telaten mengajari kami tentang ilmu apa saja. Rumah Pak Dul sudah menjadi seperti rumah kami sendiri. Seringkali kami belajar sampai terlelap, tahu-tahu hari sudah pagi.

Di lain waktu, Pak Dul mengajak kami ke sawah. Belakangan saya tahu, madrasah ibtidaiyah kami memiliki sebidang sawah. Sawah wakaf dari orang berpunya di desa kami. Di sawah itulah, kami diajak menanam padi, menyiangi rumput, meng-gropyok tikus, dan memanen padi. Tentu saja, di saat-saat seperti itu sekolah diliburkan. Sebagai kanak-kanak, saya selalu senang sekolah diliburkan, dan bermain-main di sawah. Belakangan saya tahu, kegiatan di sawah itu bagian dari pembelajaran, dan hasil dari sawah itu digunakan untuk membiayai kegiatan sekolah.

Bertahun-tahun kemudian, setelah saya menjelajah penjuru negeri, saban Lebaran rumah Pak Dul tak pernah alpa saya kunjungi. Dari sana saya tahu, hampir semua guru-guru di madrasah ibtidaiyah itu, kini, adalah murid-muridnya. Pak Dul adalah gurunya para guru. Para pembuka jendela dunia.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan