Guru dan Tantangan Pendidikan

903 kali dibaca

Pendidikan dengan segala kekurangan-kelebihannya masih menjadi harapan demi kehidupan yang lebih baik. Pendidikan menjadi media representatif bagi anak bangsa untuk memahami jati diri manusia, relasi manusia dengan alam, posisi alam di mata manusia dan, bagaimana memandang manusia seutuhnya hingga memiliki pemahaman secara komprehensif.

Namun, masih adanya pandangan demi pandangan sinis pada sektor pendidikan menjadi pekerjaan rumah bagi praktisi pendidikan, lebih-lebih mereka para orang terhormat –secara sosial dan struktural- untuk mampu mengambil poin penting dari semua fenomena yang berhubungan dengan aspek pendidikan. Mulai dari insfrastruktur sekolah, moralitas peserta didik yang akhir-akhir ini mengkhawatirkan, kualifikasi guru, kreativitas anak didik, muatan materi sekolah, dan penanaman pendidikan kewarganegaraan tidak bisa dipandang secara parsialistik.

Advertisements

Tak pelak, persoalan demi persoalan membutuhkan jalan keluar dengan hadirnya sebuah terobosan baru pada sektor pendidikan. Tak terkecuali reformasi pendidikan dengan model top down atau sebaliknya bottom up. Ilyasin dalam buku Manajemen Pendidikan Islam; Konstruksi Teoritis dan Praktis, menyatakan bahwa reformasi pendidikan melalui pelaksanaan desentralisasi pendidikan dalam rangka otonomi daerah yang telah berjalan telah sangat menentukan sosok dan kinerja dari sistem pendidikan, terutama sistem pendidikan nasional di masa depan.

Pendidikan sebagai jantung sekaligus tulang punggung masa depan bangsa dan negara bahkan keberhasilan suatu bangsa sangat ditentukan oleh keberhasilan dalam memperbaiki dan memperbarui sektor pendidikan. Di sisi lain, sistem pendidikan Islam sebagai kawah candradimuka pembentuk manusia sempurna sebagai fondasi awal dalam pembangunan masyarakat madani dan mewujudkan rahmat bagi seluruh umat manusia. Dengan demikian, pendidikan tersebut dilakukan manusia dalam rangka memperbaiki dan meningkatkan taraf hidupnya melalui proses pendidikan diharapkan manusia menjadi cerdas atau memiliki kemampuan yang biasa dikenal dengan istilah skill dalam menjalani kehidupannya.

Di sisi lain, peran aktif guru menjadi tantangan tersendiri khususnya ketika membicarakan kualifikasi guru di era virtual. Sadar atau tidak, urgensitas guru harus update demi kemajuan anak didik. Guru dengan segala keterbatasan strata pendidikannya “dipaksa” bersikap dinamis menghadapi perubahan maupun pergeseran zaman. Kualifikasi guru menjadi “momok” sekaligus pilihan demi kebaikan pendidikan, meskipun tidak semua ruh pendidikan terselesaikan melalui pentingnya penekananan kompetensi guru. Tetapi, kita tidak boleh pupus harapan demi keberlangsungan sistem pendidikan Indonesia lebih-lebih di lembaga pendidikan madrasah.

Oleh sebab itu, tidak berlebihan jika Raihani dalam buku Pendidikan Islam Dalam Masyarakat Multikultural mengurai konsep kompetensi dengan sangat jelas. Kompetensi secara sederhana diartikan sebagai the ability to do something well or effectively, kemampuan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan dengan baik.

Seorang guru yang kompeten berarti mampu melakukan pekerjaan keguruannya dengan baik-efektif. Sementara itu, kompetensi guru menjadi salah satu kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

Dari konsepsi tersebut maka muncul konsekuensi logis yang melatarbelakanginya. Di antaranya, pertama, seorang guru atau pendidik adalah seorang manusia sosial yang terikat dengan norma ataupun kaidah yang berlaku pada masyarakat di mana ia tinggal dan beraktivitas. Masyarakat ini tidak bisa diartikan masyarakat di luar sekolah semata.

Dalam konteks kompetensi sosial guru, masyarakat ini harus diartikan sebagai masyarakat sekolah atau community school di mana guru menjadi anggota inti yang melaksanakan aktivitas profesinya. Masyarakat sosial di luar sekolah dapat dimasukkan dalam pengertian ini. Akan tetapi, kompetensi tersebut akan kelihatan sangat timpang kalau dijadikan sebagai indikator kompetensi sosial pada semua guru.

Kedua, kompetensi sosial guru dilihat dari bagaimana komunikasi dan interaksi dengan berbagai segmentasi masyarakat baik di sekolah maupun di luar sekolah. Komunikasi adalah proses menyampaikan-menerima pesan kepada dan dari orang lain serta mendukung terciptanya jalinan sosial antarkeduanya.

Proses ini tidak hanya melihat physical skills atau keterampilan fisik. Melainkan juga keterampilan dan kecerdasan psikologis, kontekstual, dan sosial. Sementara itu, interaksi merupakan aktivitas yang lebih luas dengan berbagai pihak. Interaksi positif melahirkan satu energi positif antarpihak yang terlibat dalam rangka mewujudkan common platform. Dalam konteks sekolah, guru dituntut untuk kompeten dalam berkomunikasi dan berinteraksi agar terwujud kerja sama dan sinergi yang efektif dengan sesama stakeholders dalam mewujudkan visi misi bersama madrasah atau sekolah.

Ketiga, stakeholders yang terlibat interaksi dengan guru meliputi siswa dan siswi, sesama guru, staf adminitrasi sekolah, orangtua siswa, dan masyarakat luas. Dengan beragamnya pihak yang terlibat dalam komunikasi dan interaksi sosial ini, maka semakin besar tuntutan akan kompetensi sosial guru khususnya dalam memilih dan menggunakan metode, pendekatan, dan materi komunikasi.

Bahkan, dalam satu kelompok sosial saja, seperti siswa terdapat banyak perbedaan. Oleh karenanya, tidak salah kemudian kalau dikatakan bahwa setiap individu adalah unik dan karena keunikannya masing-masing itulah muncul perbedaan-perbedaan. Dan hal inilah yang harus difahami oleh seorang guru dalam upaya menjalin komunikasi dan interaksi yang baik dengan anak didik.

Poin-poin tersebut menjadi landasan filosofis bahwa betapa pentingnya kompetensi guru yang meliputi berbagai aspek yang berhubungan erat dengan pendidikan serta masa depan pendidikan. Kompetensi guru menjadi daya tawar merumuskan progresivitas pendidikan dari sisi substansi. Bagaimana idealnya seorang guru dalam mendidik dengan cara tradisional tanpa menghilangkan dinamika zaman yang terlampau jauh bergerak.

Seorang guru harus memahami betul pentingnya metodologi pengajaran dengan basis teknologi, internet, dan jaringan online yang tidak bisa dilepaskan peran dan fungsinya. Jika demikian, maka guru yang memegang kendali penuh peserta didik akan menumbuhkan generasi bangsa yang berkualitas serta berakhlakul karimah tanpa menegasikan peran aspek spiritual yang sudah dibangun sejak kecil. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan