Fragmen Rindu

1,464 kali dibaca

Akhir-akhir ini hujan kerap turun tanpa mengenal waktu, seperti rinduku pada ayah yang tak pernah menemukan temu. Sedang sore ini, di teras rumah, aku duduk sendiri memandang hujan yang berlarian dari langit. Meski dingin kucoba tetap bertahan dari gigil.

Kudekap jaket erat-erat di tubuhku, mencoba  berlindung dari dingin yang kejam. Sesekali aku melihat hujan yang deras. Saat aku memaku pandang pada butiran suci itu, menerobos, tanpa mengindahkan petir yang menyambar-nyambar. Dalam kegetiran yang mencekam, aku melihat lelaki berdiri mematung dalam kerumuna air hujan di seberang jalan. Aku bingung, antara menolongnya dan memanggil ibu. Tapi siapa lelaki itu? Apa dia preman? Orang gila? Atau seseorang yang ingin numpang berteduh?

Advertisements

Tatapan lelaki itu tajam mengarah padaku, membuatku sungkan untuk melihatnya walau beberapa detik. Di tempat duduk, aku bingung dengan tatapan lelaki itu. Mengapa ia menatapku dengan seperti itu? Apa ia kenal aku? Atau lelaki itu sengaja mencariku? Tapi, sekali lagi, siapa lelaki itu? Seumur-umur aku belum pernah melihatnya.

“Devi, kau tidak mau masuk, di luar dingin,” panggil ibu dari ruang tamu. Pendengaranku sumbang, sebab pantulan hujan pada genting-genting membuat bising suasana, dan aku menoleh meski suaranya tidak begitu jelas.

“Iya, tapi Bu, Devi betah di sini, malah Devi ingin main hujan-hujanan,” seketika pikiranku berlari pada masa kanak-kanakku.

Dalam hati, ingin sekali aku mendatangi lelaki itu, tapi rasa takut dan tidak pamit kepada ibu aku jadi urung, sebab tatapan lelaki itu masih tajam mengarah padaku. Au kikuk untuk melakukan apa, tapi yang tak bisa aku tinggalkan melihai rinai hujan.

***

Setelah sekian lama tidak bersama keluargaku, aku dirundung rindu. Rindu istriku yang selalu membuatkan kopi saat hujan mengguyur bumi. Rindu anak perempuanku yang selalu minta diawasi saat bermain hujan, meski sudah dengan teman sebayanya. Dan rindu jagoanku yang berumur dua tahun semasih aku berkumpul dengan keluargaku, bila hujan turun ia akan merengek dan minta ditimang ibunya. Semua kenangan bersama keluargaku lekat diam dalam angan.

Sekarang, aku hanya bisa melihat mereka tanpa bisa ada di sisisnya, tak bisa bernostalgia meski aku ada didekat mereka, lebih miris mereka tidak akan bisa melihatku dengan mata telanjang. Sungguh aku sangat menyayangkan hal ini terjadi, tapi karena ini sudah tertera dalam buku-Nya, apalah daya yang bisa aku lakukan.

Aku telah pergi jauh, jauh dan takkan pernah kembali. Kenangan-kenangan itu menjadi obat saat aku ingin berkumpul dengan mereka. Aku sedikit bersyukur meski tidak ada didekat mereka, sebab setiap kali kulihat, mereka selalu tanpa bahagia nan ceria.

Dalam keadaan tubuh yang gigil tak kurasa ini, aku melihat mereka dari kejauhan. Jelas sekali aku mendengar suara anak perempuanku. Meski bising daun yang terkena tetesan air membuat sumbang, hal itu tidak berpengaruh padaku. Sebab aku hanya kumpulan asap ciptaan-Nya.

“Aku rindu kalian,”ucapku parau dalam guyuran hujan.

***

Aku masih menunggu hujan reda, sambil terus membayangkan senyum Zahra dan Datin yang mengelilingi. Jam sudah pukul lima sore, namun lelaki itu tetap berdiri dalam hujan dan memandangku dengan tatapan nanar. Aku merasa canggung dan cepat-cepat aku memanggil ibu.

“Ibu, itu siapa?” panggilku sambil menunjuk lelaki yang berdiri dalam hujan itu.

Ibu melangkah pelan ke arahku, penasaran dengan lelaki yang aku maksud. Ketika melihat air yang berjatuhan, pandangan ibu seolah melamun, sebab retina matanya menerawang kelangit-langit rumah. Apa ibu meramu kenangan di saat hujan. Tebakku melihat mimik ibu dan tatapannya yang fokus pada hujan.

“Lelaki siapa, Nak?”Tanya ibu saat ada didekatku.

“Lelaki yang memakai baju putih itu, Bu.”

Ibu langsung melempar pandang, menatap lamat-lamat lelaki yang berdiri jauh di seberang jalan. Tiba-tiba ibu terhenyak, mata ibu membening dengan disusul embun-embun tetes. Mengapa mata ibu membening? Tanyaku setelah selesai melihat mata ibu.

Aku memanggil-manggil ibu dengan pelan, namun tak ada respons. Ibu tetap memandang kaku lelaki itu dengan tatapan tajam pula. Mungkin ada sesuatu yang ibu kenal dari lelaki itu. Entah untuk yang kesekian kali aku bertanya. Karena merasa diacuhkan aku menyentuh tangan ibu, barulah ibu merespons panggilanku, dan satu butir air mengalir di pipi ibu, pelan melewati garis-garis senyum yang keriput.

“Siapa lelaki itu, Bu?”

Dingin mendekap lekat, membuat tubuhku menggigil. Tapi aku tak menghiraukannya, sebab tanya penyebab ibu  menatap lamat lelaki di seberang jalan itu bergantungan dalam kepala. Diam menjadi sumbu penasaran paling dangkal dalam pikiran.

“Itu ayahmu yang telah lama pergi, Nak,” jawab ibu dengan raut wajah kesedihan.

Seketika hening, hanya dentuman air hujan yang berpantulan di genting-genting mencipta tebing rindu yang tak mampu diterobos waktu dan membentuk muara akibat tangis yang pelan berjatuhan.

Perpustakaan Lubangsa, 2021-2022 M.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan