Fenomena Tren Dakwah Kekinian

1,329 kali dibaca

Dewasa ini, tren dakwah dan “gerakan hijrah” di Tanar Air banyak melibatkan publik figur atau selebritas. Dakwah publik figur atau para pesohor itu biasanya kita temui di acara televisi dan menghiasa beragam progam dalam layar kaca. Di sana pula, kini, dengan mudah dapat kita temui kajian-kajian keagamaan.

Maka, belakangan, banyak sosok artis kia temukan berdakwah dalam gebyar televisi atau keriuhan media sosia. Tentu, kita patut mendukung kebaikan “hijrah” yang coba dan telah mereka lakukan. Namun, adakalanya kita perlu meneliti apakah hijrah dalam pandangan mereka untuk memperbaiki kualitas iman atau malah mempersalahkan hal peribadahan orang lain?

Advertisements

Terlepas dari segala pro dan kontra yang ada, saya sebagai seorang alumni pesantren selalu meyakini bahwasannya dalam hal keilmuan, wabilkhusus syariat Islam, harus mempunya sumber referensi yang kembali dijelaskan oleh guru yang memang sahih.

Para artis yang mengenal “hijrahisasi” sepertinya kurang menyadari akan pentingnya sebuah khos keilmuan. Tapi, seperti kita tahu, para artis atau pesohor yang terlihat biasa-biasa saja dalam kajian-kajian keislaman itu akhirnya digelari sebagai uztaz/ustazah.

Padahal dalam tradisi pondok pesantren salaf, untuk mendapatkan gelar uztaz bukanlah perkara yang mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu lama untuk menjadi seorang ustaz/ustazah. Dan tidak hanya diperoleh lewat kajian agama dasar, baca buku terjemahan, baca Al-Qur’an terjemahan, dan baru mengaji kemarin sore. Sebelum menjadi sosok guru, para santri haruslah mengaji dengan kitab khas pesantren. seperti kitab-kitab bidang akidah, tasawuf, tajiwid, nahu-saraf, hingga balaghah dan mantiq.

Pada dasarnya, ilmu adalah sesuatu pengetahuan yang diberikan oleh Allah Swt kepada umat-Nya.  Pengetahuan inilah, yang dalam perspektif penulis, mengantarkan manusia pada hal keimanan dan akan berbuah beragam amal dalam kehidupan.

Walaupun demikian, mendapatkan ilmu sebagai media peribadatan dan penguatan akan keimanan harus dialalui dengan pengembaraan khasanah keilmuan yang mendalam disertai jangkauan waktu yang relatif lama. Tak hanya itu, seolah thulab haruslah mau dan mampu untuk ndereke setiap perintah dari masyayikh atau yang biasa dikenal dengan abah, bapak, dan kiai.

Ndereke adalah istilah mengabdi kepada sang kiai untuk memperoleh keberkahan dan keridaan atas segala ilmu yang telah didapat. Sudah menjadi hal yang umum kita ketahui, bahwa salah satu sebab keberhasilan seorang murid adalah menghormati guru, sebagaimana disebutkan dalam kitab Ta’limul Muta’alim

اِعْلَمْ، بِأَنَّ طَالِبَ العِلْم لاَيَنَالُ اْلعِلْمَ  وَلَا يَنْتَفِعُ بِهِ اِلَّا بِتَعْظِيْمِ اْلعِلْمِ وَاَهْلِهِ وَ تَعْظِيْمِ الاُسْتَاذِ وَتَوْقِيْرِهِ

“Ketahuilah bahwa penuntut ilmu tidak akan mendapat ilmu dan tidak mendapat kemanfaatan darinya  kecuali dengan mengagungkan ilmu dan ahlinya, dan mengagungkan guru dan menghormatinya Dan diantara mengagungkan ilmu adalah mengagungkan kitab, maka hendaknya bagi penuntut ilmu tidak mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci” (Syaikh Az-zarnuji Dalam kitabnya Ta’limul Muta’alim).

Kesimpulannya, mempelajari ilmu syariat Islam haruslah memiliki sanad dari guru yang jelas, bersambung sanadnya hingga Rasullullah SAW. Janganlah hanya bermodalkan dari media belaka seakan telah menguasai ilmu agama dan berhak untuk langsung mendakwahkannya kepada umat.

Dakwah Beragam Cara

Proses dakwah Islam dapat dilakukan dengan banyak cara yang bisa disesuaikan dengan setiap kemamupuan orang yang dimiliki oleh setiap orang. Bahkan, kiai dari penulis pernah berpesan yang bisa disimpulkan sebagai berikut Dakwah itu dilakukan dengan beragam cara. Bisa dengan menampilkan akhlak yang baik, membaca Al-Qur’an sebagai syiar Islam, dan beragam perilaku yang menunjukkan keramahan Islam.

Tetapi, dalam dakwah Islam dengan cara pemberian tausyiah tentang syariat agama harusnya menyadari dahulu wawasan keilmuannya. Di mana guru agama, yang disebut dengan ulama, ustaz, ataupun kiai yang baik, sebelum mengajarkan dan menafsirkan ayat Al-Qur’an ataupun hadis dan menghukumi sesuatu, haruslah menguasi berbagai macam bidang ilmu, di antaranya seperti nahu, saraf serta balaghah dan lain-lain, yang didukung dengan sifat adil, amanah, dan telah mengamalkan kandungan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari. (Maarifnujateng.org, 2021)

Nabi SAW bersabda, “Apabila sebuah urusan/pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat” (HR. Bukhari).

Islam merupakan agama yang mengatur segala hal untuk kebaikan umat manusia. Dalam seni dakwah dengan cara tausyiah sendiri Rasullullah SAW dan ulama Ahlu Sunnah Waljama’ah pun telah memberikan bagaimana cara memilih guru yang benar dan jelas sanadnya agar menghindari jurang-jurang kesesatan yang dikhawatirkan terjadi di tengah-tengah umat Islam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan