Feminisme sebagai Kritik atas Ilmu

297 kali dibaca

Feminisme yang pada mulanya merupakan sebuah gerakan pembebasan. Lambat laun berkembang menjadi teori yang dipenuhi dengan konsep-konsep yang kaya dan penuh dengan dinamika kritik-mengkritik.

Hal tersebut diwakili oleh feminisme epistemologi yang merupakan salah satu cabang dari feminisme yang bergerak pada ranah teori, namun tidak dapat diartikan hanya sebagai imajinasi-imajinasi feminis yang memenuhi buku dan berisi konsep-konsep yang njilmet. Ia juga dapat digunakan sebagai gerakan aktivisme.

Advertisements

Dalam paradigma sosiologi pengetahuan, terdapat premis yang cukup berperan penting, yakni “ilmu merupakan hasil konstruksi sosial” (Barber, 1962). Hal ini menandakan bahwa ilmu tidak lagi otonom, namun sarat dengan kepentingan eksternal. Dalam paradigma yang lain, ilmu tidak hanya dianggap bebas nilai dan objektif, namun juga netral gender. Artinya, di sini ilmu bersih dari kepentingan di belakangnnya, universal, dan setara.

Kecurigaan para feminis muncul karena praktik-praktik ilmiah didominasi oleh laki-laki. Menurut Easlea, fakta bahwa praktik ilmiah yang didominasi laki-laki menimbulkan persoalan yang cukup serius perihal representasi dan absennya perempuan dalam praktik-praktik ilmiah (Easlea, 1986). Kecurigaan ini berlanjut pada persoalan adanya diskiriminasi terhadap perempuan dalam praktik dan institusi ilmu pengetahuan.

Selain pada ranah praktik, feminis juga mencurigai kecenderungan serupa pada struktur ilmu pengetahuan. Premis dasar yang diangkat oleh para feminis ialah “tujuan-tujuan, prinsip, dan prosedur keilmuan tidak diciptakan untuk perempuan (Keller, 1987).

Intelektual feminsime di sini melakukan otopsi secara mendalam terhadap struktur ilmu pengetahuan modern yang kini diagung-agungkan. Selain melakukan otopsi terhadap ilmu pengetahuan modern mereka juga melangkah lebih jauh untuk merumuskan metodologi feminis.

Bagi intelektual feminis, opisi biner yang sangat dihormanti dalam kontruksi ilmu pengetahuan modern dipenuhi dengan problem fundamental. Pasalnya, dengan corak seperti ini akan menimbulkan keberpihakan salah satu yang berimplikasi pada meninggikan salah satu dan merendahkan salah satu lainnya.

Secara lebih jauh, Genevieve Lloyd mengatakan bahwa maskulinitas ilmu berakar kuat pada mazhab Rasionalisme dalam filsafat. Ia menuding bahwa rasio selalu digenderkan laki-laki. Implikasi yang cukup serius pun tidak dapat dihindarkan mengingat Rasionalisme menjadi landasan terhadap ilmu-ilmu baru seperti ilmu alam dan ilmu sosial. Tidak hanya itu, namun juga berimplikasi dengan apa yang disebut dengan “kebenaran”. Sangat miris ketika ilmu yang begitu dihormati akan tetapi menemui ketidaksetaraan di dalamnya.

Dalam paradigma sosiologi pengetahuan yang dalam konteks ini diwakili oleh premis dasarnya yang telah dipaparkan di atas, dapat diketahui bahwa ilmu merupakan representasi sosial. Yang mana ilmu merupakan cermin dari masyarakat. Jika hal tersebut diamini secara berkelanjutan maka yang terjadi ialah keabadian maskunisme ilmu.

Hal tersebut nyata adanya, dalam pemikiran Rousseau tentang kontrak sosial yang begitu mengemuka dan masih laku dalam pasar akademik yang mengantarkan ketidakadilan bagi perempuan. Inti dari konsepsi kontrak sosial yang dikemukakan Rousseau bahwa individu melimpahkan haknya kepada komunitas yang dinaunginya (Rousseau, 2010).

Dalam pernyataan resminya, Rousseau mengatakan “… the family is only connected to society throught its head..”. “… when emile become your husband, he become your head…”. Lalu, “..when you become the head of family, you will become a citizen of your country”. Melalui pernyataan tersebut maskulinitas sangaltah terlihat kentara. Hanya laki-laki yang menjadi warga negara, hanya laki-laki yang dapat melakukan kontrak dengan komunitas di luar kotanya. Kedudukan perempuan dan anak-anak dalam bermasyarakat hanya diwakili melalui laki-laki.

Lebih lanjut, Durkheim pun mengatakan hal serupa. Baginya, perempuan memiliki fungsi estetis yang hanya dapat mengerjakan pekerjaan domestik, sedangkan laki-laki memainkan fungsi-fungsi instrumen. Dan parahnya, ia juga menganggap perempuan terhambat dalam kapasitas intelektualnya, sedangkan laki-laki memiliki intelektual yang lebih besar dan pesat (Hidayat, 2020).

Pada ilmu-ilmu lain juga demikian. Weinrich Haste mengungkap bahwa kalangan akademisi juga mengasosiasikan ilmu dengan sifat maskulin, sedangkan seni bersifat feminin. Lebih lanjut ia juga mengungkap terjadinya klasifikasi gender pada keilmuan tertentu. Misalnya, biologi dan psikologi lebih bersifat feminine sementara ilmu politik, ekonomi, matematika, sosiologi sangat kental dengan maskulin (Haste, 1986).

Menjadi bahaya ketika teori yang memiliki nada serupa (genderisasi ilmu) meluas ke seluruh bidang pengetahuan dan melanggengkannya dalam kegiatan belajar-mengajar secara formal maupun non-formal. Seyogyanya, arah gerak intelektual feminsime terus digalakkan dan produksi kritik-kritik terhadap ilmu harus dikaji secara masif dan disebarkan secara komprehensif.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan