Fakir Nasib atau Fakir Ikhtiar?

951 kali dibaca

Kemisikinan bagi mayoritas umat muslim di Indonesia merupakan bagian hidup yang sangat melekat dalam keseharian. Orang hidup miskin di Pulau Madura, misalnya, rata-rata didominasi oleh warga muslim pinggiran yang tidak punya akses. Selain karena kondisi, mereka miskin dipengaruhi oleh wacana yang dikembangkan oleh tokoh masyarakat bahwa orang-orang miskin akan masuk surga lebih awal daripada orang kaya.

“Dan tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi ini malaikan semuanya dijamin Allah rezekinya,,,”, (QS: Hud, 6).

Advertisements

Ayat ini seolah menyandra mereka untuk bergerak dinamis dalam meningkatkan kualitas finansial. Mereka meyakini bahwa setiap rezeki makhluk hidup dijamin oleh Allah, tetapi mereka kurang dapat membedakan kata rizq dan maal. Rizq merupakan pemberian Allah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia (lihat mu’jam al-’arab). Rezeki-Nya tidak bergantung pada life style manusia dan human willingness, tetapi sesuai iradah atau kehendak-Nya.

Perhatikan bagaimana hewan seperti burung, kucing, kambing menerima rezeki dari Allah. Mereka tidak memiliki gaya hidup dan hasrat untuk memilih makanan yang dikonsumsi, tetapi menerima apa adanya. Mereka memakan apa adanya, tanpa protes dan tidak mengeluh atau berusaha untuk mencari yang lebih baik. Selama masih hidup di muka bumi, Allah memberikan rezeki baginya, tetapi tidak diberikan harta (maal).

Harta hanya diberikan kepada manusia saja oleh Sang Pemberi Kehidupan. Sedangkan, rezeki diberikan kepada semua makhluk hidup, termasuk manusia. Rezeki bagi manusia berfungsi untuk memenuhi kebutuhan primer, sedangkan harta adalah segala kepemilikan walaupun belum tentu digunakan sesuai kebutuhan. Manusia tidak mewariskan rezeki kepada anak cucunya, tetapi mewariskan harta, karena rezeki berfungsi secara individual dan tidak dapat dipindahkan.

Jika manusia ingin memaksimalkan jaminan rezeki Allah sesuai ayat tersebut, maka mereka harus meniru gaya hewan dalam bertawakal dan kesederhanaan. Metode ini berhasil dipraktikkan secara sempurna oleh orang yang menyadari kehidupan akhirat lebih berarti dari dunia dan seisinya serta merindukan berjumpa Allah. Tanpa kesadaran itu, manusia sulit untuk melepas diri dari kenyamanan dunia.

Kelompok ini memilih hidup miskin atau fakir, karena merasa kenikmatan dunia tidak berarti dibandingkan dengan nikmatnya tawajuh (menghadap) Allah. Proses ini dapat diistilahkan tafqir al-nafsi atau faqir ikhtiar, usaha secara sadar untuk hidup miskin karena terdorong pengalaman spiritual untuk memilih jalan sufi. Orang-orang ini mulanya bergelimang harta, namun kemudian mewakafkan hartanya untuk agama dan kemanusiaan.

Mereka dapat membandingkan kenyaman dunia dan keistimewaan akhirat karena berpengalaman menjadi orang kaya atau penguasa, sekaligus menyelami secara serius spritualitas aplikatif, bukan sebatas teori doktrinal yang diindokrinasi melalui kegiatan pembelajaran parsial tanpa riyadhah (latihan) yang mendalam dengan bimbingan mursyid yang mempuni. Ada beberapa contoh tokoh muslim yang berhasil menjalani proses ini. Salah satunya adalah Khalifah Ustman.

Kita mengetahui bahwa Utsman termasuk golongan konglomerat pada zamannya. Kemudian dia menafkahkan sepertiga hartanya untuk agama Islam. Bahkan peninggalannya berupa sumur menjadi cikal bakal baitul maal di Madinah yang sampai detik ini masih ada dan terus dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Sosok ini menggambarkan proses transformasi ruhani dengan sempurna, meninggalkan kekayaan dunia demi kehidupan akhirat. Hartanya diinvestasikan untuk keberlanjutan dakwah Islam sebagai bentuk dedikasi tertinggi kepada Allah SWT.

Pertanyaan menggelitik sekarang, adakah di antara kita yang mampu melewati proses seperti yang dilakukan Utsman? Rasanya sulit dijumpai, kalau tidak mau dikatakan tidak ada. Umat Islam di dunia rata-rata berada dalam taraf fakir nasib, kondisi sulit finansial dan itu bukan pilihan yang disengaja malainkan karena desekan keadaan. Mayoritas kita tidak menghendaki hidup sengsara, sederhana, dan diliputi berbagai kekurangan.

Buktinya, orang-orang seperti kita ini bekerja mati-matian untuk mendapatkan rupiah bahkan hingga larut malam dan tidak kenal waktu. Ibadah wajib pun seperti salat lima waktu dilalaikan karena sibuk merawat tanaman di kebun atau berjualan di pasar dan lain sebagainya.

Jika kelompok ini merasa mampu mendahului Nabi Sulaiman masuk surga kerena kefakirannya, bukan karena rahmat Allah, rasanya tidak berlebihan jika mereka disebut orang-orang sombong. Mereka pantas dikatakan sombong kerena tidak tahu diri. Mereka lalai dengan salat dan ibadah lainnya. Mereka hanya sibuk mengejar dunia untuk sesuap nasi. Mereka bekerja di luar batas kewajaran, bahkan malam-malan berkebun atau berjualan di pasar. Kewajiban dirinya sebagai pemeluk agama Islam tidak dinomorsatukan, tetapi hanya dilaksanakan ketika sempat atau kesedihan menimpatnya.

Kita hendaknya menyadari bahwa orang fakir yang akan masuk surga terlebih dahulu sebelum orang kaya adalah orang-orang yang memilih hidup miskin dangan kesadaran penuh. Meraka adalah hartawan yang memilih hidup miskin agar fokus beribadah kepada Allah tanpa terganggu urusan dunia. Yang perlu digarisbawahi, mereka memilih miskin secara sadar dan atas pilihan sendiri, bukan karena desakan keadaan. Kemudian, mereka larut dalam aktivitas spritual secara totalitas dan tidak lagi menoleh pada hal yang berhubungan dengan keduniawian.

Bagi umat Islam, berada dalam garis kemiskinan atau kefakiran bukan pilihan (faqir nashibi). Seharusnya tidak terburu-buru mengaku dirinya tidak membutuhkan harta dan keduniaan lainnya. Mereka perlu bertanya pada dirinya apakah kondisi sehari-hari ini dilalui dengan penuh gembira atau malah sebaliknya. Bahagia itu terwujud karena pengalaman batin (spritual) yang didasari ilmu dan wawasan yang luas. Kelompok ini sering melakukan pembenaran (justification) akan kondisi sulitnya dengan fatwa dokrin keagamaan tentang keutamaan miskin. Tujuannya untuk menghibur diri, bukan karena menikmati hidup sederhana, berkontemplesi dan beribadah.

Pembenaran ini tidak cukup sabagai dasar untuk terus hidup di bawah garis kemiskinan. Suatu saat jika ada kesempatan untuk menjadi kaya, mereka tanpa pertimbangan akan memilih status kaya itu. Ini berbeda dengan orang yang “memiskin” diri, meskipun ada kesempatan kaya tetap tidak mau kerena itu bukan pilihan dan bukan tujuan hidupnya.

Kelompok masyarakat faqir nashibi ini harus menyadari pentingnya meningkatkan kualitas diri melalui pendidikan agar mendapatkan akses dan kesempatan untuk meraih kejayaan dunia. Mereka perlu merasakan pengalaman menjadi orang kaya, pejabat atau petinggi negara, sehingga hidupnya serba kecukupan. Jika dalam posisi ini mereka mampu berpaling dari tipuan kenyamaan duniawi dan memilih hidup miskin karena Allah, itu pertanda mereka termasuk gologan yang nanti masuk surga pertama kali. Aamin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan