EKSTASE

2,282 kali dibaca

Kau merasa terasing, terbanting. Kau merasa sendiri. Harus sendiri. Tapi ke mana harus pergi? Pergi yang membuat diri benar-benar bisa lari ke dalam resepsi sunyi? Terasing ke dalam bising hening? Dan sesuatu kemudian terjadi. Sebuah hari yang tak terperi.

Begitulah, setiap kali rasa itu marak, menabrak, mendobrak, sampai ke relung jiwa, tandas ke ulu hati. Hingga rasa itu meringkus diri. Hingga kau menjadi sesuatu yang khayali. Di luar dimensi. Dan kau tak pernah mengerti: semua hanya terasa seperti magi. Kemudian kau menjadi seringan awan. Melayap bersayap harap. Sampai ke sudut-sudut lindap. Sampai waktu tak lagi menderap.

Advertisements

Kau ingin berbagi tentang hari yang tak terperi, seperti rindu tak tentu tuju. Maka kau terus meniti, inci demi inci, ke mana angin membawamu pergi. Maka kau terus melintas, batas demi batas, ke mana rindu akan tetas. Maka kau terus menapak, babak demi babak, ke mana sumbu menyulut ledak.

Inilah babak ketika kau bak bermandi arak. Pada mulanya kau melihat jejak berarak dalam lamat gerak. Kau termangu lama menunggu di pinggir waktu. Seperti bayang-bayang di antara alunan gelombang: mengambang. Kau pernah bimbang. Gamang untuk menimbang.

Tapi ini sebuah siang, Sayang. Dan matamu yang kadang layu itu menjadi nyalang. Kian jalang. Garang menantang.

Memang ada sesuatu yang berlalu di luar waktu. Ia bagai capung, seperti mengapung di antara kerumun mendung. Seperti lebah linglung oleh dengung mengepung gunung. Dan kau mulai waswas, rindumu bakal tetas pada batas yang rantas.

Inilah babak ketika kau bak bermandi arak. Rasa itu telah mendaki puncak sunyi, dan kau tergiring ke pucuk hening. Dan jejak itu terbanting, berguling-guling, menjadi puing ketika kau berpusing dalam pusaran hening.

Selalu dan selalu, bila rasa itu datang mengetuk, kau mengguguk. Mendakwa sebagai kutuk.

Bila ia datang mengetuk, peluk. Peluk dengan suluk. Jangan mengutuk jadi reruntuk.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan