Dua Sisi

1,531 kali dibaca

Ruangan luas dengan meja besar di tengah itu terasa menegangkan. Pendingin ruangan tak membuat peluh di dahi menjadi surut.

“Ah, sialan! Kenapa aku kalah lagi?”

Advertisements

Suasana malam yang gerah itu semakin menyebalkan.

“Ha-ha-ha, kau memang penjudi amatiran Satrio! Uangmu tiga juta dua ratus aku ambil.”

“Terserah kau, bodoh! Ambil saja.”

Pemuda yang kalah judi itu adalah Satrio, putra dari seseorang yang cukup terpandang di desanya. Dia punya dua kepribadian sekaligus, tapi orang-orang di desanya hanya mengenal sifat baiknya. Mereka tidak tahu-menahu soal sifat buruk Satrio; bahwa dia adalah pemabuk dan penjudi. Bahkan orang tuanya saja tak tahu soal itu.

Soal merahasiakan borok memang keahliannya. Biarlah dia buruk di matanya sendiri, tapi jangan di mata orang lain, begitu dia pernah bilang. Dan kekalahan-demi kekalahannya dalam berjudi beberapa hari ini membuatnya merasa jengkel.

“Ah, kenapa aku selalu kalah?”

“Sabar Satrio, namanya juga permainan judi, pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Nah, daripada mengeluh terus seperti itu, mending kamu minum bersamaku,” Bima menggodanya. Pemuda berbadang bongsor itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari tasnya.

“Tumben sekali kamu nraktir, biasanya aku terus, Bim. Tapi bukan alkohol murahan, kan?” tanya Satrio.

“Tentu saja bukan, buat apa kita minum alkohol murahan? Hari ini pelangganku cukup banyak, jadi hari ini aku bawa whiskey. Kau pasti suka!”

“Ha-ha-ha… kau memang sialan, mentang-mentang banyak uang, berlagak sekali kamu!” Satrio berseru.

Di situ juga sudah ada Dimas. Dia adalah kurir narkoba (tapi ini rahasia). Entah dia menggunakan ilmu apa agar bisa lolos dari pemeriksaan saat dia melancarkan aksinya. Seperti Bima, Dimas ternyata juga membawa rezeki.

“Hei Satrio, kau mau sesuatu yang lebih spesial?” tanya Dimas.

“Apa?” Satrio bertanya balik. Lalu Dimas mengeluarkan sesuatu dari kantung kemejanya; sesuatu itu adalah serbuk putih yang diwadahi dengan plastik klip.

“Ha-ha-ha… kenapa banyak sekali setan malam ini? Hmm, sekali-sekali aku ingin mencobanya,” tukas Satrio.

Kehidupan Satrio bertambah buruk lagi. Setelah kecanduan judi dan miras, kini ia menjadi pengguna narkoba. Dia masih berumur 20 tahun, dan seperti apa masa depannya nanti? Lingkaran teman-temannya ini selalu merantainya untuk tetap bersama.

Itulah kehidupan Satrio, pagi sampai sore bekerja, malamnya minum dan berjudi. Sebenarnya jauh di lubuk hatinya ia merasa begitu terpuruk telah larut dalam pergaulan yang hitam, tapi teramat sulit baginya untuk keluar dari pergaulannya itu. Dunia kegelapan telah menjadi candu baginya.

Suatu saat terbersitlah keinginan untuk pulang kampung. Tepat pada hari minggu ia pulang untuk menjenguk orang tuanya. Jaraknya tak terlalu jauh, hanya sekitar 35 kilometer dari kota. Tiba tiba gawai dalam saku bajunya bergetar tatkala ia masih berkemas pulang.

“Kriiingggg…”

“Kriiingggg… .”

“Iya halo…” Satrio jawab telepon itu.

“Ndang mrene Satrio, Bapak dan Ibumu sudah menunggu,” ucap orang di ujung telepon.

Hingga beberapa menit kemudian suara itu tida dijawab oleh Satrio.

“Ada apa Pakde?”

“Yang penting kamu pulang.”

“Nggih Pakde, segera berangkat, ” Satrio menjawab setelah pakdenya itu tak kunjung mau menjawab secara jelas alasan dia diminta segera pulang. Dan, saat itu juga firasatnya tak enak, “Apa yang terjadi?” dengusnya.

Pemuda itu beres-beres dengan sangat buru-buru. Dan tidak berapa lama kemudian Satrio telah sampai di rumah.

“Kenapa ramai orang?” bisik Satrio. Dia berlari menyibak keramaian.

“Pak!! Bukk!!” pemuda itu berlari langsung masuk ke dalam tanpa mencopot alas kaki. Di situ dia melihat ibunya yang sedang menangis tergugu.

“Buk, wonten nopo niki?? Sinten tiang kang sampun dikafani niki??”

“Bapak, Nak. Bapakmu meninggal.. ,” ibunya menjawab dengan suara terisak.

“Mboten Buk!! Bapak dereng seda!” Satrio membantah, menatap tak percaya kepada ibunya.

“Bapakmu sudah meninggal Mas!!” ucap seorang remaja yang merupakan salah satu familinya.

“Berani sekali kau bicara seperti itu!!!” Satrio berteriak sambil memburai tangis.

Beberapa orang tampak menolong Satrio yang tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Musibah yang datang tanpa ia sangka-sangka itu telah mengguncang jiwanya. Satu jam berlalu, Satrio mulai sadarkan diri.

“Le, bapak akan dimakamkan setelah Maghrib. Cepat siap-siap,” bisik pakdenya memberitahu.

Satrio mengusap air mata yang tak mau kunjung kering. Pukul enam sore, setelah Maghrib jenazah ayah Satrio diberangkatkan ke makam. Satrio ikut memikul keranda. Sepanjang perjalanan ke makam dia tak kuasa menahan tangis.

Lailahaillallah, Lailahaillallah, Lailahaillallah,,, .”

Suara itu semakin membuat hati Satrio teriris. Sampai di makam desa, dia menurunkan jasad bapaknya. Ia juga mengumandangkan azan, suaranya bergetar penuh haru.

Malamnya Satrio tak bisa tidur. Ia hanya duduk termenung di pojok kamar dengan mata yang masih sembab karena menangis. Tiba tiba pakdenya masuk ke kamar.

“Loh, kok belum tidur? Sudah jam dua belas lho.”

Satrio tak merespons pertanyaan itu.

“Pakde tahu, hatimu pasti hancur gara- gara kepergian bapakmu. Namanya juga ajal, ora ono seng weruh, kita sebagai manusia hanya bisa menambah bekal sebelum ajal itu datang. Bekal itu adalah salat lima waktu, serta jangan berbuat maksiat,” pakdenya menambahi.

Satrio tetap terdiam sambil menghela napas panjang.

“Wes, saiki sampeyan wudhu terus sholat. Atimu pasti adem,” perintah Pakde.

Satrio memejamkam mata lalu menghela napas panjang.

“Wes Le, lakonono perintahe Pakde,” pakde kembali bersuara.

Satrio menuruti perintah pakdenya. Ia segera ambil wudhu lalu salat malam. Satrio berdoa sebanyak- banyaknya kepada Allah, terutama untuk bapak dan bertaubat atas kebiasaan jeleknya dulu itu.

“Ya Allah, bapak sudah Engkau jemput. Sampai mati pun bapak belum tahu akan rahasia-rahasia keburukanku, tapi Engkau tahu segalanya. Apakah ini balasan dari perbuatan burukku itu? Tetapi mengapa harus bapak yang menjadi korban?” Satrio berkeluh kesah dalam munajatnya.

“Aku sadar, bahwa ini saatnya aku kembali ke jalan yang benar. Ya Allah, jangan Engkau biarkan hamba-Mu ini terus larut dalam kegelapan. Maka tuntunlah hamba Ya Allah.”
Satrio menghela napas.

“Ya Allah, ampunilah dosa bapak, terimalah bapak di sisi engkau Ya Allah, jauhkanlah bapak dari siksa kubur. Aamiin.”

Hari-hari terus berlalu. Luka kesedihan itu perlahan-lahan mengering. Hari-hari pun kembali seperti biasa, dan kebiasaan buruk itu kadang kala masih kambuh lagi.

Satrio tengah bersantai di ruang tamu, tiba-tiba ada suara ketukan pintu terdengar di rumah Satrio, ada seseorang yang datang.

“Assalamualaikum.”

Satrio tak menyahut.

“Assalamualaikum Satrio,” seseorang itu mengulang salam sambil mengetuk pintu lagi. Kali ini Satrio membukakan pintu.

“Waalaikumsalam. Ya ampun!! Akbar!! Lama tak jumpa, mari masuk,” dia mengajak masuk tamu yang ternyata sahabat lamanya saat SMP itu. Mereka lantas duduk di kursi ruangan yang cukup luas itu.

“Lama tak jumpa, sepertinya sekarang kamu menjadi dokter beneran, Bar?” Satrio memulai perbincangan.

“Belum jadi dokter beneran Yo, mungkin setahun atau dua tahun lagi. Aku masih belum selesai kuliah sekarang. Doakan saja,” Akbar menjawab jujur.

“Kukira kau dulu hanya bergurau saat bilang ingin jadi dokter, Bar,” Satrio bergurau.

“Aku tidak ingin menggadaikan masa depanku dengan berfoya-foya. Masa depan terlalu berharga untuk diganti dengan kesenangan sesaat, Yo.”

“Sebenarnya kau kuliah jurusan kedokteran apa dakwah sih Bar? Bagus banget kultum-nya,” celetuk Satrio.

“Ha-ha-ha, ada-ada saja kamu,” sahut Akbar. “Ngomong-omong, aku ikut berduka banget atas wafatnya ayahmu, Satrio. Maaf kemarin nggak bisa takziyah, lagi sibuk-sibuknya kuliah.”

“Makasih, Bar. Tidak apa-apa, doakan saja bapakku tenang di alam sana.”

Akbar mengiyakan sambil menganggukkan kepala. Satrio kemudian beringsut ke belakang. Tanpa bertanya, dia sudah membuatkan Akbar teh tawar.

“Ha-ha-ha. Ternyata kau masih ingat, minuman kesukaanku, Yo.”

“Tentu saja aku ingat Bar, kau selalu minum ini. Sebenarnya aku mau ambilkan bir tadi, tapi kemudian aku ingat kau adalah calon dokter yang tak mungkin mau meminumnya.”

“Kau masih suka minum bir memangnya Yo?” tanya Akbar.

Satrio mengangguk kemudian menunduk hingga lama.

“Aku tahu Satrio, kau tahu bahwa itu kebiasaan yang jelek. Mungkin kamu sudah ada niat untuk berubah. Apakah kau belum bisa untuk meninggalkan kebiasaan jelek itu?”

“Aku memang sudah ada niat Bar, tapi susah untuk melakukannya.”

“Kalau berkenan, aku mau membantumu keluar dari kebiasaan itu.”

“Tapi ini susah sekali Bar, sangat susah,” Satrio mengeluh.

“Sebenarnya aku hanya bisa membantumu dengan memberikan edukasi soal ini, tapi temanku yang seorang psikolog bisa ikut membantumu lebih. Dia juga seorang keturunan kyai yang bisa merehabilitasi pecandu sepertimu ini. Jadi bagaimana?” tanya Akbar.

“Dengan senang hati, kawan. Akan kucium kakimu jika mampu menyembuhkan aku.”

“Kuterima tantanganmu, Satriyo, kau akan mencium kakiku suatu saat nanti.”

Mereka lantas tergelak dalam tawa.

Waktu pun terus berlalu, hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Tidak sampai hitungan tahun Satrio telah dapat merasakan perubahan dalam dirinya. Kini dia sudah rajin salat dan telah dinyatakan sembuh dari candunya.

Suatu sore ia sedang mengaji Al-Qur’an di ruang tamu. Bersamaan dengan dengan itu datanglah seorang tamu yang tidak lain adalah Akbar, temannya.

“Aku turut berbahagia mendengar perubahan dalam dirimu, kawan,” ucap Akbar sembari melebarkan senyum bahagia.

“Terima kasih bantuannya, Bar. Aku sudah merasa lebih baik sekarang.”

“Alhamdulillah. Hmm, apa kau masih ingat pada janjimu itu?” tanya Akbar lagi.

“Janji apa?” Satrio memang benar-benar lupa janji apa yang dimaksud Akbar.

“Kau akan mencium kakiku jika berhasil sembuh,” Akbar menyeringai.

“Apa-apaan, kan yang menyembuhkan bukan kamu. Kalau harus mencium kaki, ya bukan kakimu-lah, kakinya Gus Ipul!” Satrio meninggikan volume suaranya.

“Setidaknya kau ciumlah tanganku, aku sudah membantumu ha-ha-ha!”

“Gila hormat kau ternyata, Bar!”

Tiba-tiba Akbar menunduk dan mukanya berubah nelangsa.

“Aku hanya iri padamu, Yo. Belum setahun kau rehab sudah sembuh, aku hampir dua tahun masih belum bisa juga melupakan pil setan itu.”

Ruangan itu seketika senyap.

“Jadi, selama ini kau….”

Multi-Page

Tinggalkan Balasan