Di Bawah Barokah Tongkat Kiai

2,307 kali dibaca

Kiai saya ini tergolong sanget keras. Keras dalam hal mendisiplinkan santrinya untuk salat dan dzikir malam.

Kebetulan, salah satu pondok yang saya pernah mondok pada akhir 1980-an adalah pesantren yang punya kekhususan mengamalkan tarekat Syekh Abdul Qodir Jaelani. Tiap hari, terutama di tengah malam, seluruh santri wajib mengikuti salat malam, dilanjutkan dengan dzikir sesuai dengan ajaran dan tuntunan Syekh Abdul Qodir Jaelani. Biasanya, waktunya dimulai pukul 02.30 hingga menjelang subuh.

Advertisements

Untuk mendisiplinkan santrinya, ada tiga kata kunci yang selalu didengungkan Pak Kiai: mujahadah, riyadhoh, dan istiqomah. Mujahadah diartikan sebagai berperang melawan kemalasan dan kelembekan diri; riyadhoh adalah berlatih dengan keras dan disiplin tinggi agar bisa mengamalkan seluruh amalan dengan sempurna; dan istiqomah adalah melakoninya dengan konsisten, terus menerus tanpa terputus.

Tapi, ya, namanya santri… kadang-kadang datang malasnya. Kadang-kadang ogah berpisah dari kenikmatan duniawinya: tidur nyenyak adalah barang mewah.

Qum, qum, qumullail…,” begitulah kebiasaan Pak Kiai membangunkan santrinya di tengah keheningan malam. Tapi, jika para santri tak bisa dibangunkan dengan suara lembutnya, maka akan dilakukan dengan gedoran pintu. Pintu-pintu bilik santri akan digedor-gedor, satu demi satu. Jika sudah begitu, para santri akan bergegas berlarian, berebut mengambil air wudlu. Eh, ada juga santri yang langsung bergegas ke musala, pura-pura sudah berwudlu.

Pernah suatu malam, entah kenapa para santri begitu sulit dibangunkan dari tidurnya, hingga Pak Kiai berteriak-teriak dengan keras. “Usir setan-setan yang sedang memeluk kalian! Usir mereka! Usir mereka!”

Saat itu, Pak Kiai tidak menggedor pintu kamar santri dengan tangannya. Mula-mula dengan batu. Brak-brak-brak. Batu-batu beterbangan ke pintu-pintu kamar santri. Mungkin di halaman pondok sudah tidak ada stok batu, akhirnya panci-panci pun beterbangan dari arah dapur. Glontangan suara panci beterbangan itulah yang akhirnya membangunkan para santri. Malam itu begitu heboh.

Sebilah Tongkat

Entah sejak kapan, ada sebilah tongkat yang selalu tersedia di pengimaman. Terbuat dari bilah bambu selebar  sekitar  tiga sentimeter, panjang tongkat itu hampir 1,5 meter. Usai mengimami salat malam, Pak Kiai akan membalik badan, menghadap barisan santri untuk memimpin dzikir. Di separo waktu dzikir, biasanya Pak Kiai mulai memegang tongkat itu. Jika ada santri yang terdiam membatu, membisu, tidak mengeluarkan suara dzikir, dipastikan ia sedang tertidur. Maka, buk… santri yang tertidur dan dalam jangkauan tongkat akan merasakan pukulan Pak Kiai.

“Sedang berdzikir menghadap Tuhan pun kalian masih enak-enak dikeloni setan!” kata Pak Kiai sambil mengayunkan tongkatnya. Buk!

Begitulah cara Pak Kiai mendisiplinkan santrinya dalam berdzikir. Tongkat itu kadang mengayun di punggung, di pundak, atau di paha para santri yang masih saja terkantuk-kantuk dalam dzikir. Anehnya, tak ada santri yang merasa sakit, atau sakit hati, sehabis kena pukulan tongkat Pak Kiai.

“Heh, kamu dapat barokah ya,” begitu biasanya para santri meledek santri lainnya yang terkena pukulan tongkat sehabis dzikir.

Yang ditanya biasanya hanya tersenyum, atau tersenyum malu, atau menjawab pendek, “Insyaallah.”

Saya tak ingat seperti apa rasanya terlecut tongkat Pak Kiai. Tapi, hingga kini saya masih sering mengenangnya dengan rasa takjub dan haru. Entah barokah atau bukan, lecutan tongkat itu terasa mendorong kesadaran tetap terjaga. Mungkin jika tak pernah mengenal tongkat itu, tak akan sekuat ini memikul beban hidup.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan