Demikianlah Hidup…

325 kali dibaca

Keluarga dari pihak Bapak tidak ada yang mengidap lupus. Begitu halnya dari keluarga Ibu tidak ada yang memberikan genetik penyakit autoimun apa pun. Dan saya? Saya didiagnosis salah satu penyakit autoimun kronis, yakni lupus nefritis kelas III bersamaan dengan masa subur karier kepengarangan saya yang tengah bersinar.

Menulis menjadi rutinitas menyenangkan di tengah kesibukan mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Meski nekat kuliah jurusan Manajemen, nyatanya diri ini lebih tertarik dengan Sastra daripada bisnis dan keuangan. Tahun 2021 menjadi babak pembuka kerja kreatif saya dengan mengirim cerpen ke surat kabar, hingga pada tahun berikutnya memberanikan diri mengikuti berbagai perlombaan. Barangkali benar, lewat tulisan kita dapat menemukan teman yang selalu menerima tanpa menghakimi, karena tulisan adalah keluarga yang selalu menerima.

Advertisements

Perubahan dalam kehidupan saya dimulai pada bulan Juli 2022, di mana tubuh kian hari makin membengkak. Bersikap abai adalah jurus pamungkas dalam menghadapi pertanyaan dari keluarga maupun kerabat, “wah, makin gemuk, ya?” dan saya tidak mau ambil pusing dengan mengiyakan saja. Namun, demikian itu tidak berlaku bagi naluri seorang bapak yang terus mengkhawatirkan kondisi saya. Karena kukuh ingin membuktikan bahwa saya baik-baik saja, saya mengabulkan permintaan Bapak untuk periksa ke dokter praktik terdekat. Dokter langsung melihat adanya ketidakberesan dalam tubuh saya, sebab tekanan darah cukup tinggi berada di angka 150/90 untuk perempuan yang baru menginjak usia 21 tahun.

Puncaknya, karena bengkak pada tubuh tidak kunjung menunjukkan tanda-tanda membaik, Ibu memberikan air kelapa untuk saya minum. Entah apa dasarnya, saat itu saya cukuplah menjadi anak yang patuh dan tidak banyak membantah sebab tak ingin berdebat, akhirnya menurut saja. Akan tetapi, keesokan harinya wajah membengkak dua kali lipat dari biasanya. Tanpa pikir panjang, Ibu membawa saya ke puskesmas terdekat untuk cek laboratorium—sebagaimana saran dokter praktik sebelumnya. Hasil berupa protein urine positif 3, darah dalam urine positif 2, dan bilirubin positif 1 mengantarkan saya mendapat rujukan ke rumah sakit umum daerah (RSUD).

Satu bulan menjalani perawatan di RSUD, pelbagai obat-obatan diberikan untuk meredakan gejala, namun nyatanya bengkak masih berdiang di tubuh saya. Di sinilah krisis kepercayaan diri saya mulai goyah. Terlebih ketika berjumpa dengan orang lain, mengikuti Zoom Meeting kuliah yang mengharuskan untuk menyalakan kamera, atau ketika dibesuk kawan-kawan kampus.

“Mengapa saya berbeda?” Pertanyaan itu terus mengakar dalam benak saya. Usia dua puluh satu tahun adalah usia produktif seseorang yang seharusnya dimanfaatkan untuk berkarya sebaik-baiknya. Saya tidak tergiur nikah muda sebagaimana teman-teman seusia yang sudah memiliki momongan. Selain saya belum siap menghadapi ruwetnya kehidupan pascamenikah, saya berprinsip bahwa usia muda tidak datang dua kali. Maka saya ingin usia muda saya produktif. Namun, kenyataannya tidaklah demikian.

Beberapa bulan saya memutuskan vakum menulis. Dari yang semula tiap minggu setidaknya ada satu-dua karya yang dimuat, akhirnya berbulan-bulan senyap dari kabar pemuatan tulisan di surat kabar. Tidak ada gairah mengolah kata-kata lagi, sebab saya mulai membenci keadaan diri.

Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam masterpiece-nya, Al-Hikam, menyatakan: bisa jadi Allah memberimu suatu anugerah kemudian menghalangimu darinya; dan boleh jadi Allah menghalangimu dari suatu anugerah kemudian Dia memberimu anugerah yang lain.

Perjalanan ini tidak berhenti sampai di RSUD semata. Yogyakarta, kota yang saya impikan menjadi tempat mengejar cita dan cinta, namun di kota ini pula menjadi tempat saya memperjuangkan kesembuhan. Serangkaian pemeriksaan dilakukan untuk menegakkan diagnosis yang semula syndrome nefrotic (ginjal bocor) untuk dipastikan ada tidaknya penyakit penyerta. Hasilnya, biopsi ginjal menunjukkan tanda-tanda infeksi autoimun yang berdiang dalam tubuh saya—lupus nefritis.

Pada manusia normal, sistem kekebalan tubuh membuat antibodi yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan virus, kuman, bakteri maupun benda asing lainnya. Akan tetapi, pada penyakit autoimun seperti lupus, sistem kekebalan kehilangan kemampuan membedakan antara benda asing dengan sel maupun jaringan tubuhnya.

Kian hari tubuh kian melemah, merasakan nyeri sendi luar biasa, kelelahan berlebih, hingga tidak sadarkan diri selama hampir empat jam disertai kejang. Stres menjadi musuh utama penyakit ini. Apabila dilihat kondisi diri yang menunjukkan tanda pemburukan, mustahil rasanya bisa terbebas dari stres. Ditambah pula perkuliahan sering kali terbengkalai karena kondisi yang tidak memungkinkan. Krisis kepercayaan diri setelah ini bukan lagi tentang wajah dan penampilan. Pertanyaan yang semula “mengapa saya berbeda” berganti menjadi “apakah saya bisa sembuh?”

Sejenak saya rehat dari aktivitas perkuliahan. Pun, saya seolah-olah kehilangan energi untuk kembali menulis. Hidup terasa hampa. Mimpi yang saya rencanakan sedemikian rupa, kalah dengan rencana Tuhan. Biar pun banyak pihak yang memberikan dukungan, tetapi jikalau tiada keyakinan dalam diri, manalah mungkin kata ‘sembuh’ benar-benar terwujud.

Hingga, suatu ketika saya tidak sengaja mendengar keluh kesah orangtua yang membicarakan perihal biaya pengobatan. Semula, kami mengandalkan uang hasil lomba menulis cerpen yang rencananya akan saya gunakan untuk keperluan kuliah nanti. Akan tetapi, lama-kelamaan uang itu menipis jua untuk biaya pengobatan semata. Manalah mungkin sampai hati mendengar orangtua—terkhusus Ibu—yang mengutarakan rencana hendak berutang untuk biaya pengobatan anaknya. Apalagi dengan kondisi Bapak yang mengalami lumpuh selama 20 tahun—hampir setara dengan usia saya—mengharuskan Ibu untuk berjuang mencari nafkah seorang diri.

Di sinilah titik balik saya. Saya tak ingin menjadi anak egois, yang menuruti ego pribadi tanpa memikirkan penderitaan orang lain. Di sini pula, hendak tak hendak saya harus kembali ke dunia kepengarangan. Hanya itu yang bisa saya lakukan, sebab dapat dilakukan tanpa harus membahayakan kesehatan.

Bagaimana peran BPJS? Kenyataannya, tidak semua obat dikover BPJS dan mengharuskan kami menebus sendiri beberapa jenis obat. Belum lagi biaya sewa transportasi dari Pacitan ke Yogyakarta yang membutuhkan dana tidak sedikit.

Meski berat, pelan-pelan saya kembali menulis. Produktivitas melambat. Satu minggu baru selesai satu karya, begitu pun seterusnya. Tak berhenti sampai di sana, Allah kembali memberi suatu musibah berupa rusaknya laptop satu-satunya yang selama ini digunakan untuk kuliah sekaligus menelurkan karya-karya. Hendak tak hendak saya merelakan sisa tabungan untuk membeli laptop baru kelas low end. Uang di rekening benar-benar terkuras. Bahkan, hendak melakukan pembayaran kampus yang tidak terkover KIP Kuliah, saya harus mengirimkan cerpen-cerpen lama saya yang belum berkesempatan dimuat, ke media massa lain. Namun, selepas masa sulit, Allah memberikan jalan kemudahan. Cerpen-cerpen itu berhasil dimuat dalam waktu dekat dan apresiasi pemuatannya dapat terkumpul sebelum tiba hari terakhir pembayaran kuliah tersebut.

Saya tetap optimis mencari tambahan biaya dengan jalan lain. Qadarullah, walaupun menulis dengan tertatih-tatih, beberapa perlombaan berbuah manis. Mulai dari Bulan Bahasa UMY 2022, Bulan Bahasa UGM 2022, Harmoni Lestari Panji UM 2022, Pesta Daring UNJ 2022, OPCN Formadiksi UM 2022, dan beberapa lomba cipta cerpen lainnya berhasil saya menangkan.

Semangat mulai bertumbuh. Pelan-pelan mulai percaya, bahwa saya tidak seburuk yang saya pikirkan. Saya tetap bisa berprestasi dan masih bisa berjuang di tengah rasa sakit yang mendera. Tidak munafik, tujuan saya mengikuti perlombaan adalah mengincar hadiah yang kemudian bisa untuk menebus obat-obatan yang tidak dikover BPJS. Namun, terlepas dari tujuan komersial tersebut, saya mendapat benefit lain yang tak ternilai harganya berupa ketenangan batin.

Makin sering saya menulis, pelbagai pikiran yang semula membelenggu diri, perlahan menguap seiring banyak karya yang tercipta. Saya merasakan pikiran alam bawah sadar yang muncul ke permukaan menjelma suatu karya beragam tema. Dengan menulis, sampah hati berupa pikiran negatif makin menciut, dalam benak kemudian muncul pertanyaan, “setelah ini apa lagi?”

Allah Maha Baik. Barangkali benar janji-Nya, bersama kesulitan itu ada kemudahan. Saya mengalami kendala biaya, Allah tunjukkan jalan berupa perlombaan. Saya merasa terpuruk, Allah datangkan orang-orang yang tiada lelah memberikan dukungan moril maupun materiil—terkhusus rekan kuliah hingga lingkungan masyarakat sekitar. Ketika saya mengalami stres akibat gejala lupus yang sedang aktif dan terus-menerus menyerang banyak organ, Allah siapkan cara terbaik untuk mengendalikannya.

Lalu, apakah saya masih menulis? Ya, saya masih menulis. Hingga detik ini pun saya masih menulis untuk berbagi kehidupan yang pernah mengalami hantaman luar biasa, namun bisa bangkit dari keterpurukan itu. Bahkan, di saat saya terbaring di rumah sakit pun saya tetap menyempatkan diri menulis. 

Ketika orang sehat memiliki seribu permintaan, orang sakit hanya memiliki satu permintaan, yakni kesembuhan. Saya yakin, Allah pasti mendengar doa hamba-Nya. Terlebih dinding rumah sakit menjadi saksi banyaknya doa tulus yang dipanjatkan, tempat manusia lebih dekat dengan pencipta-Nya, daripada rumah ibadah manapun. Biar lupus konon tidak dapat disembuhkan, saya tetap optimis untuk mencapai kata ‘remisi’. Remisi merupakan keadaan di mana lupus dapat terkendali dan tidak menunjukkan berbagai gejala. Meski begitu, kewaspadaan akan kekambuhan di masa depan tak bisa disepelekan.

“… boleh jadi kamu membenci sesuatu tetapi ia baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu tetapi ia buruk bagimu, dan Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui” (Q.S Al Baqarah: 216).

Demikianlah hidup. Tidak semua akan sampai pada titik yang diharapkan. Tetapi, tidak juga membiarkan diri hanyut dalam pilunya keadaan. Beberapa ada yang mencapai tujuan, ada pula yang cukup dilepas dengan ikhlas. Hal tersebut bukan karena tidak layak untuk didapatkan, melainkan karena ada sesuatu yang lebih baik untuk kita upayakan. Setiap kita adalah pemimpin bagi dirinya. Hidup terlalu singkat jika dihabiskan untuk meratap, tanpa mau berusaha menjadi versi terbaik dalam diri kita sendiri.

Catatan ini ditulis dalam rangka memperingati World Lupus Day 10 Mei 2023.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan