Dari Webinar Islam Nusantara Unisia

1,008 kali dibaca

Islam Nusantara memiliki page rank yang lebih besar dari kata Islam sendiri di dalam mesin perambah Google. Ini menunjukkan banyaknya pencarian orang terhadap istilah tersebut. Artinya, istilah Islam Nusantara telah menjadi satu tema pembahasan yang sangat menarik bagi banyak orang.

Demikian disampaikan Mahmud Syaltout, pengajar di Sekolah Diplomasi Paramadina dalam Webinar Seri Perdebatan Akademik 2 yang diselenggarakan Subdit Penelitin, Publikasi Ilmiah dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jendral Pendidikan Islam Kemenag RI.

Advertisements

Webinar ini hasil kerja sama dengan Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNISIA)Jakarta. Webinar yang dilaksanakan pada Rabu (17/7) ini merupakan rangkaian dari Simposium Internasional yang bertemakan Kosmopolitanisme Islam Nusantara: Jaringan Intelektual dan Spiritual di Jalur Rempah”. Simposium Internasional ini akan digelar pada 30-31 Agustus 20021, juga atas kerja sama Fakultas Islam Nusantara (FIN) UNUSIA dengan Ditjen Kebudayaan Kemendikbud.

Menurut Ngatawi AL-Zastrouw, Ketua Panitia Simposium, Seri Perdebatan Akandemik secara online ini akan laksanakan secara berkala sampai berlangsungnya even Simposium Internasional, yang disebut Road to Symosium Internasional.

Serial Debat Akademik kali ini mengambil tema “Islam Nusantara: Perspektif Ilmu Sosial Kritis dan Post-Kolonial.” Selain Mahmud Syaltout, pemabicara lain yang hadir dalam kegiatan ini adalah Main Mudzakir (Peneliti LIPI), Masdar Hilmy (Guru besar dari UIN Sunan Ampel Surabaya), dan Tengku Kemal Pasya (dosen Universitas Malikus Saleh, Lokh Sumawe, Aceh).

“Meskipun IN menjadi wacana yang menarik diperbincangkan, namun IN juga memiliki banyak PR, karena data yang menunjukkan wacana ini kebanyakan hanya diakses oleh negara-negara lower middle income, negara yang menengah dan cenderung miskin,” demikian penjelasan Syatuth lebih lanajut.

Sementara itu, Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Amin Mudzakir menyampaikan bahwa Islam Nusantara umumnya lebih menggunakan paradigma kultural, sehingga tidak lebih luas, dan terbatas pada soal-soal yang lebih sempit. Karenanya, Islam Nusantara perlu mengkaji ruang-ruang yang belum terbuka, termasuk ruang-ruang politis. Menurut Amin, selama ini Islam Nusantara secara tidak sadar hanya berbicara sektarianisme dan radikalisme tanpa melihat konteks yang lebih luas.

Berbeda dengan keduanya, Tengku Kemal Fasya memandang istilah itu dari sudut pandang antropologis. Ia melihat bahwa istilah Islam Nusantara mengandung unsur-unsur tradisi lokal yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan, kerajaan Islam di Sumatera, Samudera Pasai, tidak berupaya melakukan mimikri terhadap kerajaan yang berkembang di dunia Timur Tengah.

“Kalau dikaji secara diakronis, Islam Nusantara adalah fakta-fakta historis antropologis,” katanya.

Islam Nusantara juga mengakomodasi dimensi sinkretik. Jika ada orang yang mengatakan bahwa Islam Nusantara adalah nonsense, maka tradisi-tradisi lokal juga harusnya dianggap nonsense. Sebab, menurutnya, hal tersebut merupakan bagian dari istilah tersebut.

Ia mencontohkan, dayah yang memang pada asalnya dari zawiyah, tetapi memiliki nilai keunikan tersendiri.

Lebih dari itu, Fasya melihat bahwa kehadiran istilah Islam Nusantara merupakan upaya untuk melakukan perlawanan terhadap wacana orientalisme dalam arti mengonstruksi Timur. Istilah itu juga menolak dari Eropa karena melihat dunia Islam sebagai the other worlds, sebuah model untuk keluar dari pekerjaan Barat yang terus-menerus menilai dunia Islam itu secara politis dan tidak sesuai dengan cara pandang Barat.

Lain halnya dengan Masdar Hilmy. Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya ini melihat bahwa ada benang merah yang sama bahwa Islam Nusantara itu diartikulasikan oleh para penganjur progresivisme Islam yang mendapatkan perlawanan dan juga penentangan baik dari dalam maupun dari luar.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan