Dari “Sadaring Mana Fakta Mana Fiksi”

775 kali dibaca

Tulisan ini bertolak dari diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Satupena pada Minggu (15/8/2021). Satupena adalah organisasi para penulis Indonesia. Diskusi ini disebut “Sadaring” yang merupakan perpaduan dari frasa sarasehan daring.

Pada edisi Sadaring Satupena #01 kemarin, tema yang diangkat adalah “Mana Fakta Mana Fiksi, Dulu dan Kini,” dengan menghadirkan tiga nara sumber, masing-masing Salman Aristo (penulis naskah film, produser, sutradara), Hikmat Darmawan (kritikus/kurator film, komikus, dan literatur), serta Deasy Tirayoh (cerpenis, penyair, penulis naskah film).

Advertisements

Tema ini diangkat lantaran fakta dan fiksi adalah dua pokok persoalan literasi yang seringkali dikaburkan oleh berbagai kapentingan, lebih-lebih pada hari-hari ini. Fakta yang difiksikan dapat menjadi sebuah tindakan untuk lebih menemukan makna (benang merah) di dalamnya.

Namun, di arus informasi yang begitu deras, bisa sangat mungkin sebuah fakta menjadi fiktif (bukan fiksi) karena dibangun atas dasar keinginan untuk memfiktifkan fakta. Oleh sebab itu, kita sebagai pembaca harus cerdas dan mempu menyaring informasi sebagai sebuah nilai kebermaknaan.

Dalam Sadaring ini, Hikmat Darmawan membahasakan sebagai, “Kegagalan saat ini adalah menyebarkan opini sebagai fakta atau fiksi (baca: fiktif) dianggap fakta. Kita sering mencampuradukkan keduanya. Kita kehilangan kompas dalam memilah hal ini.”

Di sinilah pentingnya menjadi pembaca yang cerdas. Tidak dibodohi oleh sebuah fakta yang difiktifkan atau fiksi yang disusupi oleh aroma dusta. Tabayyun, adalah salah satu nalar ilmiah untuk terhindar dari racun mematikan sebuah berita.

Pembaca Cerdas

Hikmat Darmawan berasumsi bahwa tidak sedikit pembaca, bahkan yang sudah dianggap terpelajar dan berpengalaman sekalipun, tidak dapat membedakan mana fakta dan mana fiksi. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, yang di antaranya adalah arus informasi yang begitu deras.

Melansir pertanyaan Aristides Katoppo, dalam sebuah pelatihan yang diikuti oleh para jurnalis senior, yang menanyakan perbedaan antara fakta, kabar burung, dan desas desus. Mereka yang nota bene adalah wartawan senior tidak dapat menjelaskan perbedaan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa fakta dan fiksi bukan sebuah terma sederhana yang mudah dipahami.

Pembaca yang cerdas tidak akan percaya begitu saja terhadap sebuah berita. Lebih-lebih, jika hal itu hanya sebuah kabar burung, desas desus yang tidak memiliki pangkal kebenaran. Maka sudah seharusnya kita pandai-pandai memilah dan memilih berita dengan sumber terpercaya. Sebab dengan demikian, kita akan dibawa ke ranah kebenaran, dan diarahkan ke arah kebaikan.

Sementara itu, pembicara lainnya, Deasy Tirayoh, lebih dalam membahas tentang sastra. “Sastra membawa kita lebih bijak, karena dicipta dari perenungan atas fakta, sedang jurnalisme yang jujur menjadi dasarnya.”

Terma ini menjelaskan teori bahwa antara fiksi dan fakta terjalin perenungan untuk saling memberikan marwah dan kharisma sebuah karya. Perenungan yang lebih mendalam, serta nilai kejujuran sebuah fakta akan berdampak baik terhadap kehidupan. Maka sudah sangat wajar jika kemudian antara fakta dan fiksi dapat saling mendukung satu sama lain agar nilai karya (fiksi maupun ilmiah) sama-sama menerakan kejujuran dan keadilan.

Masih menurut Deasy, “Penulis tidak bertanggung jawab untuk memberikan penjelasan terang benderang tentang karyanya. Tidak harus menjawab pertanyaan pembaca. Jadikan sebagai alat tagih untuk menyelesaikan karyanya.”

Sekilas pernyataan ini benar, namun tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah karya diciptakan untuk menyesatkan orang lain. Jika ini yang terjadi, maka seorang penulis bertanggung jawab penuh atas stigma buruk tersebab oleh tulisan yang absurd. Intinya, kita membuat karya sebaik-baiknya, setelah itu berikan kesempatan seluas-luasnya kepada pembaca untuk merenungkan makna yang terkandung di dalamnya.

Di bagian selanjutnya dalam Sadaring ini, Salman Aristo menjelaskan masalah terkait dengan kemampuan pembaca dalam memahami fakta. Menurutnya, “Orang tidak mudah mempercayai fakta karena fakta tidak pernah bisa menyampaikan réalitas dengan utuh. Ketidakutuhan fakta disebabkan karena fakta disampaikan dengan ‘bahasa’ yang juga memiliki sifat anarkhis. Khususnya, jika diksi yang dipakai dalam menyampaikan fakta tidak bisa mencerminkan réalitas yang sebenarnya.”

Di sini jelas mengisyaratkan bahwa tidak sedikit pembaca yang kadang tidak mempercayai fakta. Hal ini disebabkan karena faktor kebahasaan yang disampaikan dengan cara tidak elegan (anarkhis, dalam bahasa Aristo). Oleh karena itu, penting dipahami bahwa bahasa memiliki peran penting dalam menyampaikan sebuah fakta (berita).

“Menurut Sidhunata, jurnalistik adalah kerja kaki sebelum menjadi kerja tangan. Merefleksikan perenungan terhadap apa yang terjadi di masyarakat. Ada tanggung jawab dan keahlian yang harus diasah di sana.”

Demikian Salman Aristo menjelaskan, bahwa hakikat jurnalistik adalah realitas kejadian yang harus dipertanggungjawabkan kebenarannya. Maka, kerja kaki artinya upaya maksimal untuk mendapatkan kenyataan faktual terkait dengan berita yang ingin disampaikan. Sementara, kerja tangan (menulis) adalah hal belakangan setelah dilakukan observasi dan penelitian yang akurat.

Era Post Truth

Tidak ada disiplin untuk memilah informasi di era post truth. Kenyataan adalah konstruksi sosial. Perlu memetakan pertanyaan mengenai kebenaran obyektif dan subyektif. Era post truth adalah masa di mana kebenaran merupakan sebuah relativitas. Era digital, meleinial, yaitu masa saat ini yang merupakan masa yang cukup besar kebenaran relatifnya.

Dengan berbagai asumsi dan alibi yang dibangun di atas kebenaran relatif akan melahirkan beragam interpretasi. Jika tidak dibangun di atas fondasi kebenaran dan kejujuran, bukan tidak mungkin kebenaran dianggap sebagai keburukan. Atau sebaliknya, keburukan dianggap sebagai kebenaran. Dalam pepatah Arab disebutkan, “Alhaqqu bila bila nidzamin yaghlibuhul bathil binidzamin, (kebenaran yang tidak terorganisasi akan dikalahkan oleh kebatilan yang diorganisasi).”

Perlu disiplin mengikuti konsensus bersama mengenai kebenaran faktual dan fiksi di zaman post truth (kondisi kebenaran relatif/cukup besar) ini. Maksud dari konsensus bersama adalah bagaimana kita menyatukan visi dan misi untuk membangun sebuah kebenaran fakta di atas kejujuran jurnalisme. Jangan menfaktakan fiktif, atau memfiktifkan fakta. Karena, hal ini akan menjerumuskan peradaban manusia ke tingkat yang paling rendah.

Memang terkesan sulit untuk direlitaskan konsensus kebersamaan. Akan tetapi, dengan ikhtiar maksimal, kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Yaitu, kebenaran faktual meskipun dibangun di atas narasi fiksi (bukan fiktif). Fiksi dimaksudkan sebagai bentuk sastra yang mengandung nilai kebenaran. Sedangkan, fiktif adalah bentuk narasi atau bahkan berita, lebih jauh lagi “ilmiah” yang dibangun di atas pondasi culas dan pecundang. Jadi fiksi bernilai positif, sedangkan fiktif bermakna negatif.

Fakta atau fiksi adalah dua aspek literasi yang memiliki nilai kebaikan tersendiri. Tergantung kepada penulis, bagaimana fakta dibangun atas ide fiksi, atau fiksi yang diasaskan pada sebuah realita. Keduanya memiliki peran masing-masing untuk membangkitkan nilai-nilai luhur dalam peradaban.

Jika seorang penulis jujur terhadap kehidupan, maka karya tulis yang dihasilkan akan memberikan pengaruh kebaikan. Sebaliknya, penulis yang sekaligus pecundang akan melahirkan karya yang akan menjerumuskan generasi bangsa ke jurang kesesatan. Wallahu A’lam!

Multi-Page

Tinggalkan Balasan