Dari Radikalisme ke Islamofobia

775 kali dibaca

Sebagai sebuah gerakan, radikalisme merupakan salah satu persoalan cukup akut di era mutakhir ini. Juga menjadi momok paling menakutkan. Bukan hanya bagi bangsa Indonesia, melainkan juga di belahan dunia lain. Pasalnya, selain berpotensi mengancam terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan bermaksud mengganti ideologi Pancasila dengan syariat Islam (khilafah Islamiyyah). Pun juga, dianggap meresahkan seluruh umat manusia melalui aksi-aksi heroiknya; menggunakan cara-cara kekerasan, memaksakan kehendak hingga aksi terorisme dalam mencapai tujuannya.

Dari perspektif sejarah, tumbuh dan berkembangnya gerakan-gerakan kelompok radikal adalah sebagai respons atas ketidakmampuan dalam mengelola diri terhadap pemahaman teks kitab suci (agama) serta realitas kehidupan (lingkungan) yang memaksa mereka seperti ini. Di tengah situasi dan kondisi inilah mereka berupaya mencari sebuah ‘tempat berteduh’ sebagai alternatif atas kekecewaannya.

Advertisements

Sementara itu, menurut Al-Qardhawi gerakan radikalisme tidak serta merta muncul dan terlahir dari ruang kosong, melainkan terdapat beberapa faktor yang mendorongnya. Di antaranya adalah: Pertama, minimnya pengetahuan mereka ihwal ilmu agama dikarenakan proses belajarnya secara instans dan doktriner. Ironinya, fenomena ini acap menimpa kalangan pelajar yang berlatarbelakang pendidikan umum.

Kedua, terlalu berlebihan dalam mengharamkan banyak hal yang justru memberatkan umat.

Ketiga, kemunculannya sebagai reaksi terhadap paham radikalisme lain; seperti sikap radikal kaum sekuler yang kerap menolak agama. Keempat, sebagai respons atas ketidakasilan sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Juga kegagalan pemerintah dalam menegakkan keadilan akhirnya direspons oleh mereka dengan menuntut penerapan syariat Islam (sistem khilafah). Yang menurutnya, dengan menerapkan syariat Islam mereka telah mematuhi perintah dan ajaran agama dalam rangka menegakkan keadilan.

Euben juga menyatakan bahwa munculnya gerakan radikalisme tidak bisa dipisahkan dengan modernisasi. Di mana secara tidak langsung umat Islam diposisikan sebagai kelas pekerja rendahan. Juga akibat dari ketertinggalan umat Islam dari Barat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, yang oleh mereka dinilai memiliki dampak cukup signifikan bagi kehidupan kaum Muslim. Karenanya, bagi kelompok radikal salah satu cara merespons kondisi ini adalah dengan berjihad walaupun bertentangan dengan kehidupan masyarakat luas dan pemerintah.

Dari sini, kita bisa melihat ciri utama dari paham kelompok radikalisme ini sekurang-kurangnya meliputi beberapa hal: Pertama, kelompok radikal acap mengklaim bahwa kelompoknya paling benar sembari menganggap kelompok lain (di luar paham mereka yang tidak sesuai) adalah salah bahkan menyesatkannya.

Kedua, memiliki sikap buruk sangka pada orang lain di luar kelompoknya, dengan mendeklarasikan diri sebagai paling suci; dan memandang kelompok lain ahli bidah; juga memandang yang lain secara negatif tampa melihat aspek positifnya.

Ketiga, tatkala berdakwah, mereka kerap menggunakan cara-cara yang kasar, keras, memaksakan kehendak, dan mudah mengklaim orang lain kafir.

Lahirnya Islamofobia

Fenomena tersebut bisa berimplikasi terhadap banyak hal. Salah satunya adalah lahir dan munculnya Islamofobia di pelbagai negara, terutama di Barat (Amerika dan Eropa) yang sampai saat ini masih eksis dan bahkan menghiasi percaturan kehidupan mereka hampir saban waktu. Tak ayal, wajah Islam tercoreng di mata dunia dengan melahirkan stigma negatif pada Islam; bahwa Islam adalah agama kekerasan, teror, suka berperang, dan lain sebagainya.

Islamofobia merupakan suatu perasaan ketakutan terhadap Islam sebagai agama doktrin dan peradaban. Namun pada hakikatnya, Islamofobia bukanlah terminologi terbilang baru. Pada masa Nabi Muhammad, gejala ini sudah terjadi ketika Nabi mendakwahkan ajaran agama Islam. Banyak penolakan dari orang-orang kafir Quraisy dan bahkan mereka menentang ajaran Islam yang dibawa Nabi; dengan menyatakan bahwa Islam adalah agama sihir, buatan Muhammad, dan lain sebagainya.

Walau begitu, istilah Islamofobia menjadi populer kembali pasca pasca tragedi runtuhnya dua menara kembar World Trade Center (WTC) di New York dan Pentagon di Washington, Amerika Serikat pada 11 September 2001 tahun silam. Di Indonesia sendiri misalnya, salah satu tragedi yang menyisakan luka mendalam bagi masyarakat Indonesia secara khusus dan dunia pada umumnya, selain juga menguatkan Islamofobia di Barat adalah peristiwa pemboman terhadap tiga gereja, tepatnya di Surabaya pada tahun 2018 lalu. Walaupun, sebelumnya pernah terjadi kasus yang sama di Indonesia.

Sementara itu, kasus teranyar ihwal marak dan masifnya gerakan Islamofobia adalah yang terjadi di di kota Chemnitz, wilayah Saxony, Jerman, sebuah masjid komunitas Turki dibakar oleh orang tak dikenal. Peristiwa ini terjadi sejak Sabtu malam. Dan, masih banyak lagi kasus Islamofobia lain yang terjadi.

Menurut Karen Armstrong, salah satu penyebab lahirnya Islamofobia di pelbagai belahan dunia, terutama di Barat adalah kemunculannya representasi Islam yang keras melalui fenomena terorisme, ISIS, dan paham Wahabisme yang oleh sebagian orang dianggap sebagai sebuah gerakan radikalisme yang mengatasnamakan Islam.

Padahal jika ditelisik lebih dalam lagi, Islam tidak pernah mengajarkan apalagi membolehkan melakukan tindak kekerasan. Seperti diketahui bersama bahwa Islam, merupakan agama wahyu terakhir yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad melalui perantaraan Malaikat Jibril, dengan membawa misi utama perdamaian dan rahmatan lil ‘alamin.

Artinya, secara konseptual, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan secara universal, ramah, toleran, serta menjadi jalan keselamatan dan rahmat bagi setiap pemeluknya, dimanapun dan kapanpun. Tidak mengherankan, apabila Islam mengajarkan serta menekankan arti penting hidup rukun dan harmonis. Bukan sekadar terhadap umat muslim, melainkan juga antarpemeluk agama lain.

Dengan demikian, salah satu upaya melawan Islamofobia adalah dengan mencerminkan nilai-nilai islami dalam laku hidup sehari-hari. Sebab, umat muslim merupakan cermin (representasi) dari Islam itu sendiri. Artinya, bagaimana sikap dan perilaku kita, begitulah mereka (non-muslim) akan menilai Islam.

Maka dari itu, perang melawan radikalisme yang berimplikasi pada lahirnya Islamofobia dalam bentuk dan kemasan apapun merupakan suatu kewajiban bagi kita semua. Karena, tidak sekadar bertentangan dengan ajaran agama, melainkan juga berseberangan dengan segala aspek kehidupan umat manusia. Artinya, kita jangan pernah memberi ruang sedikit-pun akan tumbuh-kembangnya paham dan gerakan radikalisme, mengingat dampak yang ditimbulkan begitu besar. Wallahu A’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan