Dari Diskusi Penulisan Cerpen Dunia Santri

688 kali dibaca

Jejaring duniasantri dan duniasantri.co menyelenggarakan Diskusi Penulisan Cerpen dan Novel secara virtual, Minggu (6/12/2020). Novelis dan cerpenis peraih penghargaan “Kusala Sastra Khatulistiwa 2020” Niduparas Erlang menjadi nara sumber dalam diskusi tersebut. Diskusi ini diikuti sekitar 30-an santri, mahasiswa, bahkan ibu rumah tangga dari berbagai daerah.

Dipandu dosen Vokasi UI Alfian S Siagian, Niduparas Erlang mengawali diskusi dengan mengisahkan perjalanan dan pengalamannya sebagai penulis. Nidu yang lahir di Serang, Banten, pada 11 Oktober 1986 ini mengenal dunia sastra justru saat bekerja sebagai buruh di pabrik. Setamat Sekolah Menengah Kejuruan, Nidu bekerja di sebuah pabrik di Tangerang. Saat itulah, bersama kawan-kawannya sesama pekerja pabrik, ia aktif di komunitas sastra dengan belajar menulis sastra.

Advertisements

“Mengenal dunia sastra telah mengubah sudut pandang saya terhadap dunia, mengubah cara pikir saya terhadap dunia. Dunia tak lagi sesempit urusan pabrik,” katanya. Sejak itu, Nidu mulai tekun belajar menulis dan bertekad bisa meneruskan kuliah.

Sambil terus belajar menulis, Nidu akhirnya kuliah di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. “Saya kuliah hanya untuk mendukung cita-cita saya menjadi penulis. Karena menjadi penulis adalah pilihan hidup saya,” katanya.

Namun, menurutnya, memang tidak gampang untuk menjadi penulis sastra, apakah itu cerpen atau novel. Berkali-kali mencoba, hasil karyanya selalu ditolak oleh media atau penerbit. Menurut penulis Novel Burung Kayu ini, setelah sekitar tiga tahun mencoba, barulah ada satu cerpennya yang dimuat di media cetak. “Jadi memang perlu proses yang panjang dan terus belajar,” katanya.

Kini, Niduparas telah menjadi penulis muda Indonesia yang memperoleh pengakuan publik. Karya-karyanya telah banyak yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan memperoleh penghargaan. La Rangku, misalnya, dinobatkan sebagai pemenang sayembara manuskrip cerpen Festival Seni Surabaya 2011. Novel Burung Kayu memperoleh “Kusala Sastra Khatulistiwa 2020”.

Nidu yang pernah menjadi santri ini kemudian secara khusus mengisahkan proses kreatif lahirnya Novel Burung Kayu. Semula, ia melakukan riset tentang masyarakat Mentawai untuk kepentingan penulisan tesisnya di Program Studi Tradisi Lisan (S2) di Fakultas Ilmu dan Budaya Universitas Indonesia. Namun, jalannya berliku, hingga akhirnya melahirkan novel, Burung Kayu. Dan inilah karya terbaru Nidu.

Salah satu poin penting dari novel ini, menurut Nidu, menjadikan novel sebagai karya sastra untuk mengangkat dan menghidupkan bahasa daerah (lokal) seperti apa adanya. Memang, novel ini unik lantaran istilah-istilah lokal atau bahasa daerah Mentawai dituliskan apa adanya, tanpa adanya penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia meskipun novelnya ditulis dalam Bahasa Indonesia.

Maka, untuk menyiasati agar pembaca bisa memahi arti dari bahasa atau istilah lokal Mentawai, pemaknaannya disampaikan melalui tuturan cerita atau peristiwa dalam narasi novel. Sebab, menurutnya, memang ada kata-kata dalam bahasa daerah yang belum diwakili Bahasa Indonesia. Namun yang menjadi catatan, masih menurut penulis yang tampil gondrong ini, tidak perlu memaksakan sebuah bahasa lokal, jika bahasa tersebut masih bisa diwakili oleh Bahasa Indonesia.

Sekitar kurang lebih 3 jama lamanya, peserta diskusi antusia mengikuti presentasi Nidu. Dalam sesi tanya jawab, banyak peserta yang mengajukan beragam pertanyaan, mulai dari cara menggali ide cerita, bentuk dan teknis penulisan cerpen dan novel, hingga apa rahasia seorang sehingga memiliki stamina yang kuat untuk menyelesaikan karyanya.

Bahkan, seorang ibu rumah tangga, Andi Maryam, menanyakan apakah cerita yang ditulis berdasarkan kisah nyata sehari-hari bisa dikategorikan sebagai karya. Sebab, si penanya saat ini tengah menulis cerita yang didasarkan pada kejadian sehari-hari dari salah satu anaknya yang kebetulan memiliki kebutuhan khusus.

Ternyata, menurut penulis cerpen “Penanggung Tiga Lada Hitam di dalam Pusar” ini, unsur teknis penulisan semacam plot, alur, setting, konfliks, dan unsur intrinsik lainnya tidak terlalu penting. Menurutnya, dalam pengalamannya sebagai penulis, tidak pernah memikirkan unsur-unsur teknis. Tetapi, yang terpenting adalah bagaimana cara mengeksekusi ide cerita menjadi kisahan dengan kekuatan nalar dan logika kisah.

Nidu juga tidak pernah membuat kerangka karangan (point out) terlebih dulu dalam setiap karyanya. Menurutnya, kerangka karangan diperlukan hanya untuk mengikat ide cerita. Jika hal itu dapat dilakukan dengan cara lain, tanpa harus ditulis, maka kerangka naskah tersebut tidak perlu dituliskan. “Tetapi, bagi mereka yang nyaman dengan menulis kerangka karangan, ya silakan saja, karena itu akan membantu penulis untuk menghasilkan sebuah karya,” katanya.

Terkait dengan referensi dalam menulis sebuah karya (novel atau cerpen), Nidu mengatakan bahwa hal itu tergantung kebutuhan. Bisa sangat niscaya, sebuah buku dapat dijadikan referensi untuk sebuah karya sastra. Tetapi, bisa sangat mungkin juga, banyak referenai dapat menjadi latar proses kreatif sebuah karya sastra. “Referensi disesuaikan dengan kebutuhan, dan referensi menjadi penting untuk sebuah nilai karya sastra untuk sebuah kulitas yang lebih baik.”

Di akhir sesi Nidu menegaskan, jika menjadi penulis merupakan pilihan, maka proses yang panjang harus dilalui dengan ketekunan belajar dan terus mencoba. “Jangan pernah berhenti mencoba menulis jika karya kita belum ada yang mau menerbitkan,” tandasnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan