Dari Bedah Cerpen duniasantri

1,183 kali dibaca

Minggu, 12 September 2021, jejaring duniasantri kembali menyelenggarakan workshop penulisan sekaligus bedah cerpen bagi santri untuk kedua kalinya. Berbeda dengan workshop penulisan cerpen sebelumnya, 18 Juli 2021,kali ini dilakukan pembedahan atau kurasi terhadap empat cerpen yang ditulis oleh para penulis duniasantri.co.

Seperti sebelumnya, workshop kali ini juga menghadirkan dua nara sumber, Putu Fajar Arcana dan Mohammad Hilmi Faiq. Keduanya adalah sastrawan, cerpenis, dan redaktur Harian Kompas. Workshop yang dilaksanakan secara virtual mulai pukul 10.00 sampai 13.00 WIB ini diikuti sekitar 25 kontributor atau penulis situs web duniasantri.co.

Advertisements

Keempat cerpen yang dibedah oleh kedua nara sumber ini masing-masing adalah Mimpi Si Juha dan Tafsirannya karya Hamdi, Di Sebuah Negeri yang Hampir Mati karya Akhmad Idris, Lelaki dan Sekuntum Edelweis karya Rusdi El Umar, dan Mata Istri karya Fathorrozi.

Para nara sumber membedah atau mengkurasi keempat cerpen tersebut kemudian memberikan sejumlah catatannya. Pembedahan atau kurasi diperlukan agar cerpen-cerpen karya santri lebih “menggigit” dan layak dikonsumsi publik.

Dalam workshop ini, secara bergantian kedua nara sumber menguraikan hasil telahaan terhadap  empat cerpen tersebut, termasuk kekurangan dan kelebihannya. Mas Faiq, demikian Hilmi Faiq biasa disapa, mengulas cerpen pertama yang berjudul Mimpi Si Juha dan Tafsirannya.

“Penggarapan deskripsi cerpen ini butuh dikelola secara lebih baik,” ungkap Mas Faiq.

Sementara, Putu Fajar Arcana menilai penulis cerpen pertama ini masih perlu menentukan gagasan dengan matang.

“Plot harus riil dan logis. Gagasan harus ditentukan dan ditata oleh penulis sebelum menulis, biar apa yang diinginkan penulis tersampaikan dengan baik. Menulis gagasan lebih baik menggunakan bahasa yang sederhana, tidak perlu berbuih-buih,” tuturnya.

Ia juga menambahkan agar dalam bercerita, penulis tidak memasukkan kata (ilmiah) populer, sebab karya cerita tidak sama dengan karya ilmiah.

Seterusnya, naskah cerpen kedua, Di Sebuah Negeri yang Hampir Mati. Mas Faiq, selaku pembicara pertama memberi komentar, “Orkestrasi gagasan dan tokoh pembentuk konflik dalam cerpen ini perlu dimunculkan. Jangan berhenti pada pencitraan visual. Juga perlu memasukkan unsur emosi dalam cerita. Metafor atau takwil dalam cerpen ini sudah bagus.”

Putu Fajar Arcana, biasa dipanggil Bli Can, mengimbuhkan mengenai ulasan naskah cerpen kedua. Bahwa, cerpen ini jelas sekali ingin menggarap wilayah surealistis dari kehidupan manusia. Meskipun demikian, kejadian satu dengan lainnya harus selalu terdapat benang merah. Dalam kisah-kisah surealistis, logika tidak boleh diabaikan. Setidaknya, peristiwa satu menjadi alasan munculnya peristiwa yang lainnya.

“Cerpen ini baru sebatas ide atau gagasan yang belum digarap secara lebih matang, sehingga jangkauannya masih terlalu luas. Sebuah cerpen harus fokus menggarap satu persoalan dengan cara bertutur,” jelas Bli Can.

Dalam menguliti cerpen ketiga, Lelaki dan Sekuntum Edelweis, Mas Faiq menegaskan agar penulis tidak sekali-kali memberi penuturan dengan metode khutbah. “Sebab cerita dengan berkhutbah akan membosankan,” lanjutnya.

Sedangkan, Bli Can memberi tanggapan cerpen ketiga ini agak bertolak belakang dengan ketidaktahuan tokoh tentang bunga edelweis. Sebagai pendaki, mustahil ia tidak tahu tentang vegetasi di sebuah gunung.

“Bagaimana mungkin ia tahu sifat bunga yang melambangkan cinta abadi itu?” tanyanya. Bli Can juga mengaku terheran dengan kemunculan tokoh “kami” yang tiba-tiba. Kata “kami” menjadi kehilangan konteks.

“Apakah pencerita juga ikut dalam pendakian itu atau hanya menjadi penyampai cerita yang serba tahu?” tanyanya lagi.

Cerpen kontributor yang terakhir dibedah oleh dua pembicara berjudul Mata Istri. Mas Faiq menilai cerpen karya Fathorrozi ini sudah jadi. Hanya ada dua kata tidak baku yang perlu dibenahi. “Seandainya keempat naskah cerpen dilombakan, maka inilah juaranya,” katanya.

Bli Can pun menyetujui pernyataan Mas Faiq. Ia tak banyak mengomentari naskah cerpen yang terakhir ini. “Koreksi dari saya di paragraf terakhir. Seandainya pun paragraf terakhir tidak ditulis, ending cerpen ini sudah bagus,” tandasnya.

Di  samping membedah empat cerpen itu, di sela-sela diskusi kedua nara sumber juga mengulas jurus jitu dalam mengolah kalimat hingga menjadi paragraf yang baik dan disukai sidang pembaca.

Bedah cerpen yang dimoderatori oleh Alfian Siagian ini diharapkan terus berkelanjutan pada kesempatan berikutnya dan berharap agar para kontributor yang telah dikoreksi naskah cerpennya tidak putus asa dalam menulis.

Multi-Page

5 Replies to “Dari Bedah Cerpen duniasantri”

Tinggalkan Balasan