Dari Bedah Buku Negara Rasional

1,098 kali dibaca

Pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun ibarat mutiara yang selama berabad-abad terkubur dalam-dalam di dunia Islam. Baru belakangan, pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun yang melampaui zaman tersebut digali dan ditemukan kembali sebagai salah satu pijakan untuk membangun kembali dunia intelektual di dunia Islam.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi dan buku Negara Rasional: Warisan Pemikiran Ibnu Khaldun yang diselenggarakan jejaring duniasantri bekerja sama dengan Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI), Sabtu, 20 November 2021. Bedah buku dilaksanakan secara hybrid, di auditorium MAC UI Depok, Jawa Barat dan disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube.

Advertisements

Pembicara utama adalah Dr Abdul Aziz MA yang juga Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Saudi Arabia yang akan mulai bertugas pada 1 Desember 2021. Adapun, pembahas dalam bedah buku ini adalah peneliti dan cendekiawan muslim Fachry Ali MA, dosen program pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Dr Siti Musdah Mulia, dan intelektual muda dan ahli sastra Arab Dr.phil Zacky Khairul Umam MA.

Bedah buku yang dimoderatori Dr Taufik Asmiyanto ini dibuka oleh Wakil Rektor UI Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Prof Dr rer. nat. Abdul Haris, M.Sc. Sebelum bedah buku dimulai, Ketua Dewan Pembina jejaring duniasantri Ngatawi Al-Zastrouw memberikan sambutan.

Abdul Aziz mengaku tergolong “terlambat” mengenal dan tertarik mendalami pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun. Karena itu, buku Negara Rasional: Warisan Pemikiran Ibnu Khaldun ini disebutnya sebagai langkah awal untuk menggali kembali khazanah-khazanah pemikiran Ibnu Khaldun yang perlu terus dilanjutkan dengan tema-tema yang lebih beragam.

Pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun yang mencakup berbagai bidang keilmuan, menurutnya, perlu dikaji kembali untuk menumbuhkan kembali semangat intelektual dunia Islam dalam rangka mencari jawaban terhadap berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam kekinian, termasuk di Indonesia. Termasuk dalam kontruksi bentuk negara, misalnya, Ibnu Khaldun menawarkan gagasan rasional dengan pendekatan keilmuan, bukan pendekatan teologis.

“Dari pemikiran-pemikiran Ibnu Khaldun kita tahu bentuk dan sistem kenegaraan yang ideal itu seperti apa,” katanya.

Sementara itu, Zacky Khairul Umam memaklumi jika sepeninggal Ibnu Khaldun pada abad ke-14, hingga selama berabad-abad kemudian pemikiran Ibnu Khaldun tak banyak dikenal, terutama di Indonesia. Sebab, yang berkembang di dunia Islam ketika itu, termasuk yang ke Indonesia, adalah gagasan-gagasan sufisme. “Sehingga Islam yang berkembang dan sampai ke Indonesia adalah gagasan-gagasan sufisme. Tidak dari segi intelektual atau keilmuan,” katanya.

Pernyataan itu dikuatkan oleh Fachry Ali. Gagasan Islam sufisme itu, menurut Fachry Ali, yang kemudian dianut oleh masyarakat Nusantara yang masih agraris. Karena itu, menurutnya, wajar jika Islam yang berkembang di Indonesia, termasuk di berbagai belahan dunia lain, jauh dari semangat intelektual atau kebebasan berpikir. “Itulah kenapa tokoh-tokoh dengan pemikiran yang rasional-progresif seperti Ibnu Khaldun tak banyak dikenal selama berabad-abad,” kata Fachry Ali.

Karena itu, Fachry Ali menyebut kehadiran buku karya Abdul Aziz sebagai the discovering Ibnu Khaldun, menemukan kembali Ibnu Khaldun. Saat ini, bagi Fachry Ali, bisa menjadi momentum bagi generasi baru muslim untuk lebih memberi perhatian pada dinamika intelektual, salah satunya dengan cara menggali kembali pemikiran-pemikiran ilmuan muslim terdahulu yang secara intelektual sudah sangat maju.

Fachry Ali kemudian menyebut contoh, konsep ekonomi yang ditulis empu ekonomi modern Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations pada abad ke-18, sesungguhnya nyaris sama dengan yang telah ditulis  Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah atau al-Ibar wa Diwan al-Mobtadae wa al-Khabar pada abad ke-14.

“Bisa jadi Adam Smith pernah membaca karya Ibnu Khaldun. Atau, karena keduanya melihat hal-hal empirik yang sama, kemudian keduanya juga melahirkan konsep-kopsep pemikiran yang sama,” katanya.

Hal ini bagi Fachry Ali menunjukkan pentingnya mewarisi dan menemukan kembali semangat berpikir ulama-ulama terdahulu, seperti yang dilakukan Abdul Aziz dalam mengaji kembali karya-karya Ibnu Khaldun. Sebab, semangat intelektual seperti ini yang akan menjadi kunci kemajuan di masa depan.

Fachry Ali juga yakin, dalam empat tahun ke depan, selama menjalankan tugasnya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi, Abdul Aziz akan menemukan banyak hal baru untuk dikaji dan diuji karena memiliki perbandingan yang makin beragam setelah bermukim di negara yang tradisi intelektualnya berbeda. “Kita tunggu karya-karya berikutnya,” katanya.

Rupanya, untuk itu Abdul Aziz sendiri sudah punya gagasan. Salah satunya akan membuka program Pusat Studi Kebudayaan Arab yang akan ditempatkan di UIN Sultan Maulana Hasanuddin SMH Banten. Dengan adanya Pusat Studi Kebudayaan Arab di Indonesia, diharapkan akan ada mahasiswa-mahasiswa dari Saudi Arabia yang belajar keislaman di Indonesia.

“Sudah bukan zamannya belajar keislaman ke Arab atau Timur Tengah. Justru, akan lebih baik kalau mereka yang belajar ke sini, menjadi santri di Indonesia. Sebab, Islam di Indonesia sekarang justru lebih maju,” katanya.

Acara bedah buku diakhiri dengan penyerahan dua buku karya para santri yang diterbitkan jejaring duniasantri kepada para nara sumber. Masing-masing buku yang berjudul Tuhan Maha Rasis? dan Dan Sepatupun Menertawakanku itu diserahkan oleh Anggota Dewan Pembina jejaring duniasantri, Halim Pohan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan