Dari Bedah Antologi Puisi MA Annuqayah

2,304 kali dibaca

Ada yang tak biasa di Madrasah Aliyah (MA) 1 Annuqayah Putri. Dalam rangka merayakan Hari Puisi Sedunia, Minggu 21 Maret 2021, para siswi MA 1 Annuqayah Putri yang di bawah naungan Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa, Guluk-guluk, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, ini menggelar acara bedah buku antologi puisi. dengan berpuisi, para santri bisa memperindah jiwa.

Bertempat di Aula MA 1 Annuqayah Putri, bedah buku berjudul Antologi Puisi: 1887 Antologi Puisi Isyarat Gelombang III diikuti sekitar 450 siswi MA 1 Annuqayah Putri, Pengurus OSIS, dan alumni MA 1 Annuqayah. Kegiatan ini merupakan kerja sama antara Jala (Jaring Literasi Alumni Annuqayah) dengan OSIS MA 1 Annuqayah Putri. Bedah buku ini juga dihadiri Kepala Sekolah MA 1 Annuqayah Putri KH Muhsin Amir.

Advertisements

Selama bedah buku berlangsung, tampak para santri dan siswi ini antusias dan penuh semangat. Selain diskusi dan bedah buku, kegiatan juga diisi dengan deklamasi puisi. Acara dimulai pukul 13.00 WIB,diawali dengan pembacaan ayat-ayat auci Al-Quran. Selanjutnya diisi dengan sambutan dari KH Muhsin Amir selaku Kepala Sekolah MA 1 Annuqayah Putri.

Kiai Muhsin menyambut positif kegiatan bedah buku ini. “Bahwa melalui puisi kita dibawa kepada keindahan jiwa,” katanya. Di akhir sambutan, Kiai Muhsin juga membacakan puisinya sendiri yang diakhiri dengan tepuk tangan meriah dari seluruh peserta. Setelah itu, sambutan dari ketua panitia, Kiai Ali Faruq, menyampaikan ungkapan terima kasih kepada semua yang terlibat dan menyukseskan acara bedah buku kali ini.

Sekitar jam 14.00 adalah acara inti, bedah buku dengan teknis penyampaian materi dari dua nara sumber dan satu pembanding. Sebelum masuk pada acara penyampaian materi, moderator, Rusdi El Umar, membacakan CV dari seluruh nara sumber. Selanjutnya, masuk kepada penyampaian materi yang pertama dari Nyai Fadhilah Mukhtar. Nyai Fadhilah yang merupakan dosen INSTIKA Annuqayah menjelaskan bahwa manusia dari sejak lahir sudah disambut dengan ragam acara sastra, khususnya puisi.

“Sejak dilahirkan hingga ajal menjemput, kita dipenuhi dengan nilai-nilai sastra, khusunya puisi.” Lebih jauh Beliau menyampaikan bahwa Islam lahir di tengah-tengah kemajuan kesusastraan. Maka tidak dapat dimungkiri bahwa kehidupan Islam berkelindan dalam perpuisian.

Masih menurut Nyai Fadhilah Mukhtar, sebenarnya setiap manusia memiliki bakat sastra dan akan semakin nampak terlihat ketika jatuh cinta. “Pada saat jatuh cinta, biasanya nilai-nilai puitika seseorang akan terlahir dengan sendirinya.”

Nyai Fadhilah Mukhtar yang lahir di Jember ini mengaku sudah berkenalan dengan puisi sejak kelas 3 SD. Mengutip pendapat Ibnu Khaldun, ia menjelaskan bahwa fungsi sastra adalah sebagai dokumentasi historis, referensi pengetahuan, dan indikasi intelektual yang tinggi.

Nara sumber berikutnya adalah Raedu Basha, sastrawan dan penulis yang kerap kali mendapatkan penghargaan dari berbagai lembaga. Ia menyampaikan bahwa Annuqayah merupakan basis dari lahirnya sastrawan. Buku Etnografi Sastra Pesantren karyanya merupakan sebuah kajian ilmiah yang penelitiannya dilakukan di PP Annuqayah.

Raedu yang merupakan pimpinan Pondok Darussalam Billapora, Ganding Sumenep, ini memaparkan bahwa nilai-nilai literasi, khususnya sastra, merupakan bagian yang tak terpisahkan bersama kehidupan itu sendiri. Maka sangat layak dan pantas jika kemudian kita berupaya membangun sastra (keindahan) baik secara lahiriyah maupun batiniyah.

Raedu yang merupakan sastrawan asal Sumenep, Madura, ini kemudian menyoroti buku yang sedang dibedah. Menurutnya, Annuqayah merupakan basis lahirnya para sastrawan. Buku yang ditulis oleh para masyaikh Annuqayah, alumni, dan santri aktif ini merupakan sebuah buku dokumenter, filologi kesusastraan, yang mengisyaratkan bahwa di sudut-sudut pondok Annuqayah terlahir sebuah karya sastra yang fenomenal. Masih menurut Raedu Basha, “Seorang ulama terindikasi dengan karya tulisnya.” Artinya, para ulama terkenal dapat dipastikan mempunyai sebuah buku atau sebuah karya tulis (baca: sastra).

Sementara itu, menurut pembanding bedah buku ini, KM Faizi, judul “1887 ” merupakan angka keramat. “Jika 86 saja (terkait dengan acara 86 di sebuah stasiun TV swasta) merupakan suatu kesiapan, maka 87 adalah puncak kesiapan itu sendiri,” katanya.

Menurut sastrawan yang sekaligus pengasuh di PP Annuqayah ini, antologi yang sebenarnya adalah buku yang sedang kita bedah kali ini. Penulisnya dari berbagai kalangan dan tema yang diusung juga beragam. “Sebuah antologi yang benar-benar heterogen,” katanya yang mengawali pembahasan dengan membaca puisi yang berjudul “Permintaanku Lebih Banyak yang Aku Ucapkan,” sebuah puisi dengan tema kekinian.

Bedah buku masih diteruskan dengan diskusi dan tanya jawab. Berikut juga diselingi dengan pembacaan puisi dari para peserta. Dari Sanggar Sareang Putri menampilkan pementasan puisi beruntun dari buku yang sedang dibedah.

Begitulah jalannya bedah buku yang diikuti dengan antusiasme yang luar biasa dari seluruh peserta. Karena waktu yang menjelang malam, akhirnya bedah buku pun ditutup dengan rasa kebanggaan yang memuncak. Alhamdulillah, bedah buku 1887 Antologi Puisi Isyarat Gelombang III benar-benar sukses dan menyisakan banyak kenangan yang tidak mungkin terlupakan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan