Dakwah Santri di Era Media Sosial

1,549 kali dibaca

Perkembangan teknologi dewasa ini membawa dampak sangat besar pada kehidupan masyarakat. Mulai dari kemudahan mengakses informasi, berbisnis, hingga berdakwah. Banyaknya pengguna media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok, dan yang lainnya memberi peluang besar bagi santri dan pesantren untuk menyebarkan dakwah-dakwah Islam yang moderat serta relevan dengan zaman.

Pertanyaannya, sudah sejauh mana para santri dan pesantren ikut andil dalam berdakwah di media sosial? 

Advertisements

Sebagaimana kita ketahui bahwa pesantren dan santri ataupun alumninya merupakan kekuatan Islam moderat yang berlandaskan ahlussunnah wal jamaah di negara ini. Bisa dikatakan, santri adalah generasi Islam yang santun dan khas ala Indonesia. Mereka mampu membaur dengan masyarakat dan kebudayaan yang sudah hidup ratusan tahun di tengah masyarakat.

Selain itu, santri dan pesantren memiliki peran penting dalam sejarah perkembangan Indonesia mulai dari perjuangan kemerdekaan hingga era reformasi. Banyak kontribusi dari para alumni pondok pesantren untuk negara mulai dari bidang agama hingga ketatanegaraan.

Saya cukup sering mendengar betapa hebatnya pesantren dan para santri di masa lalu dalam memperjuangkan Islam dan menerapkan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat. Hal itu pula yang membuat saya tertarik untuk mendalami dunia pesantren. 

Namun, zaman sudah berubah. Kita tidak boleh terus terjebak dalam romansa di masa lalu. Kita harus bisa mengamalkan ajaran dan semangat para ulama terdahulu untuk kemaslahatan di tengah zaman yang semakin carut marut. 

Bagaimana caranya?

Salah satu yang cukup penting untuk dilakukan saat ini adalah turut berperan di dunia digital. Sebagai orang yang tidak bisa lepas dari media sosial, saya cukup sering menemukan akun-akun dakwah keIslaman yang tampaknya kurang relevan di tengah masyarakat Indonesia yang plural.

Misalnya akun-akun dakwah Islam konservatif dan ekstrem. Saya menebak, ada puluhan bahkan ratusan akun di berbagai macam platform media sosial dengan pola konten yang cukup menarik. 

Sesekali saya iseng melihat beberapa akun dakwah Islam ekstrem yang sangat gampang mengharamkan sesuatu. Tidak hanya mengunjungi profil, saya mencari tahu lebih dalam dengan melihat konten konten akun tersebut hingga akhir atau konten pertama yang mereka unggah.

Keisengan saya tak sampai di situ. Saya mencoba mencari konten yang awareness dan engagement-nya cukup tinggi, lalu saya baca komentar-komentar di dalamnya. Cukup mengejutkan, banyak komentar yang mendukung dan merasa bahwa konten yang diunggah adalah sebuah kebenaran mutlak dalam agama.

Hal itu tidak saya lakukan sekali, tapi beberapa kali untuk melihat bagaimana cara akun-akun keislaman yang kurang relevan di Indonesia menyebarkan pemahaman dan dakwah mereka via media sosial.

Alhasil, saya memiliki hipotesis bahwa mereka menerapkan content strategy dengan pola soft selling, hard selling, storytelling, informatics, hingga quotes. Sebagai seorang content planner media sosial, jelas strategi ini sering saya temukan di banyak akun khususnya akun bisnis.

Mulai dari konten informatif, motivasi berbentuk potongan ceramah, ajakan untuk ikut kajian mereka dengan cara menyentuh sisi emosional audiens, hingga ajakan yang benar-benar hard selling atau secara gamblang.

Biasanya mereka akan mulai dengan konten-konten pengingat kesalahan, seperti mengingatkan salat, jangan mengulur waktu salat dan konten lain yang bertujuan ‘menyentuh’ sisi emosional audiens.

Setelah campaign itu berhasil, maka konten ajakan dengan cara soft mulai di-publish. Misalnya cerita tentang Nabi Muhammad SAW, para Sahabat, hingga kisah-kisah kejayaan Islam di masa lalu. 

Baru tahap terakhir, konten-konten ajakan untuk mengikuti pengajian atau pemahaman mereka dilancarkan. Akan tetapi, tanpa melakukan ajakan terang-terangan pun audiens di media sosial yang sudah tersentuh hatinya akan bersimpati dan tertarik pada mereka, kecuali mereka yang pernah mondok di pesantren. 

Menarik, bukan?

Karena itu, era media sosial ini harus dimanfaatkan oleh para santri untuk terjun langsung. Bukan sekadar mengunggah konten, tapi harus tahu strategi apa yang cocok dan menarik perhatian audiens. Artinya, campaign soal Islam moderat ala Indonesia di media sosial harus dikonsepkan dengan matang serta mengetahui konten apa yang laku di pasaran.

Jadi, sudah saatnya kita sebagai santri dan alumni pondok pesantren harus mau berdakwah di media sosial. Dengan konsep dan strategi yang matang, tidak menutup kemungkinan pesantren bisa memiliki daya tarik besar di dunia maya setelah sebelumnya banyak pemberitaan atau kasus-kasus yang banyak menyeret nama pesantren. Padahal, tahu apa audiens media sosial tentang pesantren?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan