Pondok Pesantren Daar El-Hikam

Daar El-Hikam: Transformasi Pesantren Salaf di Tengah Metropolitan

2,715 kali dibaca

Bagi sebagian orang, Jakarta adalah tempat yang keras, bebas, megapolitan, modern, dan representatif kesuksesan. Dalam sudut pandang ini, Ibu Kota sering dilihat sebagai tempat yang jauh dari kultur-kultur keIslaman. Tak heran jika banyak orang tua di daerah, sedikit tidak ikhlas saat anaknya akan merantau ke Ibu Kota.

Bukan isapan jempol belaka, stigma buruk tentang Jakarta juga melekat pada orang-orang di kampung tempat saya tinggal, tidak terkecuali orang tua  saya sendiri. 

Advertisements

Alkisah, setelah lulus Aliyah saya putuskan untuk merantau ke Jakarta demi menempuh pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Banyak penolakan khususnya dari orang tua yang tidak setuju saya mengadu nasib di ibu kota dengan alasan klise dan paradigma kolot. Jakarta adalah tempat segala maksiat.

Namun, saya bisa membuktikan kepada orang tua di kampung bahwa tidak semua tempat di Jakarta jauh dari kultur-kultur Islam Nusantara. Yaitu dengan kembali mukim di Pondok Pesantren. 

Adalah Pondok Pesantren Daar El-Hikam di Pondok Ranji, Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Dari segi lokasi, pesantren ini sangat strategis dan dekat dengan semua roda transportasi umum seperti Busway, KRL, hingga bandara. Selain itu, Daar El-Hikam juga sangat dekat dengan Universitas di wilayah Tangerang Selatan seperti Universitas Pamulang, Universitas Muhammadiyah Jakarta, UIN Jakarta, Universitas Terbuka dan lain-lain. Tak heran jika semua santri yang ada disana menyandang status sebagai mahasiswa.

Pesantren ini sebenarnya terbilang baru. Pesantren ini didirikan oleh KH Bahrudin di bekas kontrakan yang berusia 30 tahun. Pada tahun 1970-an, bangunan ini mulai difungsikan sebagai pondok pesantren. Di awal berdirinya, cuma ada tiga orang santri yang nyantri di pesantren ini, yang merupakan mahasiswa IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Lambat laun, semakin banyak mahasiswa yang bermukim di pesantren ini yang jumlahnya sudah mencapai ratusan orang.

Seiring dengan makin banyaknya santri, baik putra maupun putri, Pesantren Dar el-Hikam juga banyak mengalami perkembangan signifikan, baik dari segi bangunan maupun sarana belajar di pondok. Misalnya, pada 2007, mulai dibangun gedung baru dua lokal sehingga tergolang layak sebagai tempat santri mukim.

Di samping itu pondok ini, juga memiliki sebuah musala yang digunakan selain sebagai tempat salat juga berfungsi sebagai tempat belajar santri dan kegiatan majelis taklim ibu-ibu. Di pesantren ini kini terdapat tiga buah gedung asrama santri putra, sebuah gedung asrama santri putri dua lantai, dua buah gedung sekretariat, satu buah gedung TPA, dan lahan pertanian sekitar 1000 meter persegi, dan sebuah empang peternakan ikan lele.

Yang tergolong khas dari Daar el-Hikam ini adalah tetap mempertahankan tradisi pesantren salaf, dengan pengajian kitab-kitab kuning. Dan itulah yang membuat saya tertarik untuk mondok di sana bukan hanya soal lokasi, tapi kultur pesantren yang begitu kental dengan keIslaman Nusantara. Di tengah modernitas kota Metropolitan, Daar El-Hikam berdiri teguh dengan sistem pendidikan salaf, melestarikan kitab kuning, belajar ilmu tasawuf, serta tradisi-tradisi pesantren kampung yang masih hidup.

Melestarikan Kitab Kuning

Pondok pesantren sering diidentikan dengan belajar kitab kuning. Sebuah rujukan keilmuan dengan bahasa arab, ditulis oleh ulama terdahulu, pembahasan yang berbeda, serta sanad keilmuan yang jelas menjadi ciri khas belajar di pondok pesantren. 

Meskipun pondok pesantren Daar El-Hikam berada ditengah-tengah kota modern, tapi secara sistem pembelajaran tidak pernah mengesampingkan rujukan dari kitab-kitab kuning. Bahkan tradisi atau sistem pembelajaran seperti bandungan dan sorogan masih bisa ditemukan di sini. 

Beberapa kitab yang dipelajari di pondok pesantren Daar El-Hikam seperti Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali, Tafsir Munir karya Syekh Nawawi, Alfiyah Ibnu Malik karya Syekh Ibnu Malik, dan masih banyak kitab-kitab lain yang dipelajari di pondok pesantren ini.

Selain kitab kuning, tradisi-tradisi seperti tahlilan, ratib al haddad, yasinan, ziarah kubur hingga pasaran masih kental dan terus dilaksanakan oleh santri di Pondok Pesantren Daar El-Hikam. Di tengah gempuran modernitas, Daar el-hikam berhasil menjaga dan melestarikan budaya dan tradisi pesantren salaf dengan kokoh dan menjadi pondasi awal untuk santri-santrinya dalam menghadapi perubahan zaman dari segi sosial dan teknologi.

Transformasi Salaf ke Modern

Untuk menjawab tantangan zaman, Pondok Pesantren Daar El-Hikam melakukan transformasi dengan menerapkan sistem pendidikan formal dalam bentuk sekolah menengah pertama dan menengah atas. Tepatnya pada tahun 2016, selain santri yang berstatus mahasiswa, Daar El-Hikam mulai menerima santri untuk kelas menengah pertama (SMP).

Hal ini bukan tanpa sebab, saat itu, saya dan beberapa santri senior lainnya, melakukan musyawarah dengan KH Bahrudin sebagai pimpinan pesantren mengenai situasi dan kondisi masyarakat khususnya anak-anak di sekitar pesantren Daar El-Hikam. Hingga kami mendapat satu kesimpulan bahwa pesantren harus bisa melebarkan sayap pendidikan pada jenjang yang berbeda demi menyelamatkan generasi-generasi muda, khususnya di sekitar pondok pesantren Daar El-Hikam.

Meskipun transformasi pendidikan pesantren berubah menjadi semi atau modern, tapi pembelajaran kitab-kitab kuning, kultur yang sudah ada sebelumnya, hingga budaya-budaya pesantren salaf tidak dihilangkan. Artinya, hanya ada penambahan secara sistem dan pendidikan pada tingkat menengah pertama dan menengah atas.

Setelah delapan tahun mukim di sana, mulai dari santri hingga menjadi ustad atau tenaga pengajar di pondok pesantren Daar El-Hikam, ada dua hal penting yang saya dapatkan. Pertama, pendidikan pesantren sering dipandang sebelah mata, kolot, dan tidak modern. Namun faktanya, sejarah membuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren adalah sistem tertua di Indonesia dan masih bertahan hingga saat ini, selalu berinovasi dan tidak lekang oleh zaman. Kedua, saya berhasil mematahkan stigma kolot orang-orang di kampung halaman tentang ibu kota. Lebih tepatnya, pesantren selalu ada dan dibutuhkan oleh semua orang dimanapun tempatnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan