Cerita dari Pesantren (1): Susahnya Mengusir Jin

3,118 kali dibaca

Ini bukan tentang cerita siapa-siapa, tetapi tentang pesantren dan saya. Ya, kami berdua. Singkat cerita, saat itu usia saya menginjak delapan tahun, dan harus diboyong-paksa dari rumah untuk dipindahkan ke pesantren yang waktu itu (saya kira) jaraknya jauh dari rumah.

Saya ingat betul bagaimana wajah cengeng bocah masih ingusan meronta-ronta, menolak untuk dipondokkan. Menangis sesenggukan, bahkan berteriak keras di atas gendongan, berharap agar hari itu bapak membatalkan niatnya yang sudah dipendam selama setahun lamanya.

Advertisements

Setahun sebelumnya, tetangga nenek saya yang mempunyai anak laki-laki yang mondok di Pesantren Langitan Tuban, sejak kecil mengompori agar berangkat mondok seperti dirinya. Di usia yang masih tujuh tahun kala itu, saya penasaran betul dan bertanya tanya, seperti apa pondok itu? Bagaimana tidurnya? Apakah di sana bisa bermain dan banyak teman? Bagaimana pula mandinya? Dan segudang pertanyaan anak kecil yang berharap menemukan banyak jawaban menyenangkan. Ajaib, jawabannya sungguh tak terduga.

“Enak loh nek pondok iku, ono kolam renange, turune kasure empuk, akeh konco e dolan, mangane iwak e enak, wes ta mondok o.”

Mata saya berbinar-binar mendengarnya sambil membayangkan betapa nyaman dan asyiknya hidup di pesantren.

Sebenarnya bukan tanpa alasan kenapa pertanyaan itu muncul. Sebab, sejak lulus dari TK, orang tua sudah membujuk saya untuk segera berangkat ke pesantren, tapi nyali saya masih ciut. Menunda sampai tahun depan adalah jawaban paling aman yang akhirnya disepakati bersama. Tahun berikutnya, ternyata bapak belum lupa dengan niatnya. Saya terus mencari alasan agar ditunda tahun depan lagi. Tapi kali ini bujukan dan rayuan saya tidak mempan sama sekali. Bapak bilang, “Ditunda terus nggarai gak berangkat-berangkat!

Berangkatlah saya ke pesantren di usia yang masih ingusan. Dengan berat hati dan penuh derai tangis, saya terpaksa harus menerima seluruh keadaan. Hari pertama sampai di Pesantren Suci, usai mengangkat barang-barang bawaan, bapak mendaftarkan dan mengantar hingga kamar (khusus anak-anak Madrasah Ibtidaiyah).

Melihat bapak menaiki sepeda motor yang semakin menjauh meninggalkan saya, suara tangis terdengar semakin kencang saja. Beberapa mbak santri dan ustadzah memegangi dan menenangkan saya agar tidak kabur berlari mengikuti sepeda motor bapak yang sudah tidak terlihat lagi.

Di hari pertama usai bapak pamit pulang, saya langsung antre di wartel pondok untuk menelepon ke rumah. Ibu yang langsung mengangkat kala itu terdengar bingung. Sebab, bapak belum sampai rumah, masih di perjalanan. Bagaimana bisa diminta kembali untuk menjemput? Entahlah, yang saya pikirkan kala itu cuma satu: jawaban anak laki-laki tetangga nenek. Ternyata, semua yang dikatakannya sama sekali berbeda dengan kondisi di sini. Saya membayangkan wajahnya menahan tawa ketika menjawab pertanyaan waktu itu.

Usai salat maghrib berjamaah, saya terus menangis meminta pulang agar bisa bertemu ibu, tapi jarak pesantren dan rumah begitu jauh hingga rasanya tak mungkin permintaan itu terkabul begitu saja. Keesokan harinya, ketika teman sekamar disambangi ibunya, saya hanya bisa melihat sambil menangis sesenggukan menyebut ibu berulang kali atau bahkan berdoa meminta agar ibu rindu dan segera nyambangi. Ini terjadi hampir dua hingga tiga tahun pertama. Terluka? jelas.

Tiga tahun pertama di pesantren adalah kenangan yang sulit untuk dihapuskan dari ingatan bagi anak seusia itu. Apalagi, sedikit banyak diisi kenangan menyedihakan versi anak anak, mulai tidak kerasan karena berbagai alasan, mandi dan buang air besar dengan antrean panjang, tidur tanpa didampingi ibu, kesulitan mencuci baju, hingga teman yang tidak semuanya menyenangkan. Tetapi, tentu saja pengalaman seperti ini tidak bisa dipukul rata. Ada juga yang langsung kerasan dan menikmati hidup berjauhan dari orang tua. Sayangnya, saya termasuk anak yang sulit berjauhan dari orang tua.

Tapi kesedihan tak selamanya tinggal. Terkadang hal di sekeliling saya yang membuat takjub, sebab belum pernah saya temui sebelumnya. Hal ini bisa mengalihkan luka dengan cepat. Satu per satu akan saya ceritakan. Salah satunya adalah cerita lucu tentang kesurupan alias kerasukan setan. Sejak di pesantren, saya jadi memiliki banyak koleksi cerita cerita horor meskipun tidak mengalaminya langsung.

Saat itu hari Kamis atau malam Jumat. Santri Madrasah Ibtidaiyah membaca Maulid Diba bersama di kamar. Tidak seperti mbak santri yang sudah besar, mereka seluruhnya membaca di musala lantai dasar. Kamar kami ada di lantai atas dengan pemandangan pohon di depan tiang musala pondok yang menjulang hingga ke atas. Pondok masih dalam masa pembangunan, sehingga pohon-pohon masih dibiarkan tumbuh di tengah bangunan pondok putri yang berbentuk persegi panjang dan belum benar-benar ditebang.

Menurut cerita, Pak Kiai harus mencarikan tempat baru yang pas untuk penghuninya. Posisi kami waktu itu melingkar memenuhi dinding kamar berbentuk persegi empat. Saya yang duduk bersebelahan dengan seorang kakak kelas yang sangat pendiam, tiba-tiba ketakutan bukan main. Pasalnya, dia tiba-tiba ambruk di samping saya setelah melamun memandang ke arah pohon beberapa lama dan tak mengikuti pembacaan Diba. Semua penghuni kamar refleks mengerumuninya. Saya yang baru pertama kali menyaksikan kejadian seperti ini langsung menjauh karena ketakutan. Jamiyah Maulid Diba kami malam itu bubar seketika.

Biasa, Nurul iki, dikandani bolak-balik gak ole ngelamun tetep ae! Semaput, kan!” salah satu suara ustadzah membelah kerumunan kami. Beliau meletakkan jari telunjuknya di depan hidung Mbak Nurul yang sedang pingsan. Salah satu teman yang posisinya berada di sekitar kakinya diminta untuk menekan jempol kaki, katanya agar setannya keluar.

Saya takjub. Menekan jempol agar setannya keluar? Saya baru pertama kali mendengarnya. Usaha sudah dilakukan, tetapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya, kami diminta untuk bersama sama membopongnya ke UKP (Unit Kesehatan Pondok) yang ada di lantai dasar. Mbak-mbak santri di musala terlihat penasaran, menoleh pada kami yang ribut menuruni anak tangga.

Eh, Nurul iki kuru loh! Kok abot seru ya?” salah satu teman yang membopong bagian badan terdengar mengeluh karena beban berat. Usai berhasil menuruni setengah tangga, ternyata teman yang lainnya mengeluhkan hal yang sama. Saya hanya bertanya-tanya di belakang mengikuti mereka, seberat itukah? Bukankah yang dibopong lumayan kurus?

Sesampai di UKP, kami terus mengerumuni Mbak Nurul yang masih belum sadarkan diri. Petugas penjaga UKP menyarankan beberapa di antara kami untuk berbagi tugas, ada yang membacakan ayat kursi, menekan jempol kaki dan jari-jari tangannya, juga mengipasi wajahnya yang terlihat berkeringat. Saya hanya menjadi penonton seperti teman-teman kebanyakan. Salah satu ustadzah kami yang baru datang tergopoh-gopoh sambil membenarkan mukenanya bertanya dengan nada panik, “Sudah dipanggilkan KIai Arifin?”

“Sudah, tadi Mbak Hanum sama Hilda yang sowan,” jawab ketua kamar kami.

“Mbak, Mbak Nurul sadar!” teriak salah satu anak yang berada paling dekat dengannya. Saya yang ketakutan melihatnya seketika mundur bersembunyi di balik punggung teman-teman. Mata Mbak Nurul terlihat membesar dan melirik ke kanan-kiri.
“Rul, sadar. Kenal iki gak?” ustadzah kami mencoba menepuk-nepuk pipinya sambil bertanya. Tapi Mbak Nurul menggeleng dan pandangannya kosong sama sekali.

“Kalo ini? Ini? Ini?” ustadzah terus menunjuk kami satu per satu. Tetapi jawabannya nihil. Kami yang melihatnya menjadi tegang, karena ketakutan kalau saja dia mengenal salah satu di antara kami semua. Benar saja, tetiba ustadzah menunjuk salah satu kakak kelas kami yang berperawakan gendut dan cubby. Mbak Nurul tersenyum aneh sambil mengangkat tangannya menunjuk ke atas kemudian terbahak, “Ha-ha-ha… Rosita gendut!”

“Huaaaaa….!” kami yang mengelilinginya saling pandang satu sama lain dan serempak berteriak kencang sambil berlari terbirit-birit berdesakan keluar UKP. Mbak Rosita yang ditunjuk berteriak paling kencang di antara kami.

Beberapa menit kemudian Kiai Arifin terlihat muncul dari arah tangga depan musala dan berjalan menghampiri UKP. Beliau mengenakan kopyah dan juba putih dengan sorban hijau yang diselempangkan ke kedua pundaknya. Di tangannya terdapat tasbih yang terus diputar dengan bibir yang tak henti bergerak membaca wirid.

Seketika kami semua berdiri menunduk saat beliau berjalan di depan kami. Kiai Arifin adalah adik dari Pak Kiai kami yang memang sering dipanggil ketika ada santri putri yang kerasukan seperti sekarang. Beliau ibarat pawang di pesantren kami.

Rasa penasaran kami memang belum selesai usai kabur tadi. Kami terus penasaran dan mengintip dari jendela ingin melihat apa yang kemudian dilakukan Kiai Arifin. Beliau terlihat membacakan doa-doa dan mengusapkan tangannya ke wajah Mbak Nurul, lalu menyuruh pergi jin yang merasuki.

Ternyata, mengusir jin tak semudah yang dibayangkan. Buktinya, meskipun berkali-kali Kiai Arifin menyuruh jin pergi, tapi Mbak Nurul tetap terbahak-bahak tidak jelas. Bahkan, suara yang keluar tidak terdengar seperti suara aslinya, melainkan suara anak kecil. Kata Kiai Arifin, yang merasuki hanya satu, tapi yang nggandoli banyak sekali. Itulah kenapa ketika dibopong menuruni tangga, bobotnya terasa lebih berat dari ukuran tubuhnya. Kami di luar hanya bisa saling berpandangan setelah mendengarnya dan mengusap bulu-bulu di tangan yang mulai berdiri satu per satu. Seram.

Sejak kejadian itu, ustadzah kami sangat sering mengingatkan dan sedikit marah kalau ada di antara kami yang sembarangan bermain, maklum kami masih bocah jadi sedikit sulit dikendalikan. Saya pun mulai mewanti-wanti diri sendiri agar tidak sering melamun meskipun sedang sedih teringat bapak dan ibu yang tidak kunjung nyambangi ke pondok. Hal yang lebih banyak saya lakukan kemudian adalah mengamati hal-hal di sekeliling saya. Kemudian menuliskannya di buku, atau kalau tidak, saya juga mencoret buku-buku untuk menggambar apa yang saya lihat di sekitar saya, tentu saja dengan bentuk gambar yang masih ceker remes.

Percaya atau tidak, gambaran pesantren yang masih dalam masa pembangunana dua puluh dua tahun lalu itu memorinya masih tersimpan dalam benak saya hingga hari ini. Entah karena alarm gak ole ngelamun (tak boleh melamun) yang saya pasang kuat di pikiran saya, atau hal lainnya. Yang jelas, sepanjang perjalanan menimbah ilmu di pesantren selama belasan tahun kemudian, saya bersyukur tidak pernah diketoki (melihat penampakan) sama sekali, meskipun saya juga sering mendengar pengalaman teman-teman. Pengalaman mereka saya rekam dan saya jadikan selingan cerita di tengah jam mengajar sekarang, ketika murid-murid saya bosan dengan pelajaran. Rasa dirasa, saya sangat suka cerita horor ala pesantren dan semua hal di dalamnya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan