Cara Santri Ber-NKRI

882 kali dibaca

Saat ini, ada dua kutub superkuat yang menarik masyarakat: ikatan global dan ikatan primordial. Komunitas global disebabkan kemajuan teknologi informasi berupa internet. Dalam kasus umat Islam Indonesia, ini tidak hanya berkaitan dengan agama, tapi juga- yang paling parah – adalah getolnya gerakan Neo Pan Islamisme berupa gerakan khilafah atau daulah islamiyah ala ISIS.

Harakah primordial atas kesamaan agama di Indonesia juga bergeliat sejak awal Kemerdekaan. Gebrakan kelompok yang hendak mendirikan Negara Islam seperti Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar, secara ideologis, terus berdengung di belantara negara ini dan bersatu padu dengan gerakan sejenis khilafah dan ISIS. Pertemuan dua kutub gerakan global dan primordial yang berasaskan kesamaan agama ini,  secara ideologis dan sosial, hingga sekarang masih mengancam NKRI.

Advertisements

Menguatnya ikatan global dan primordial tersebut, kata Cornelis Lay dalam makalahnya yang berjudul Nasionalisme dan Negara Bangsa (2006), tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga terjadi di banyak negara. Di Indonesia, sebagian masyarakat Indonesia tidak peduli dengan nasionalisme, bahkan ada yang ingin menjadi daerah merdeka berdasarkan primordialisme komunalnya, karena kecewa kepada negara

Santri atau katakanlah pesantren sebenarnya juga banyak dikecewakan oleh negara. Sekian lama negara tidak acuh terhadap keberadaan pesantren. Untungnya, dari awal pesantren mandiri dalam banyak hal. Pilar kehidupannya tidak bergantung pada negara. Namun, nampaknya, jika dibiarkan, negara akan lupa diri. Negara perlu diingatkan. Ini yang dilakukan Kiai Mahfudz Husaini, Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura.

Kiai Mahfoudh Husaini, salah satu pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep,menurut penuturan Kiai M. Faizi, membuat proposal dan menyerahkan proposal tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala berkunjung ke Annuqayah.

Dalam proposal tersebut, Kiai Mahfoudh mendesak agar negara memperhatikan pendidikan pesantren dengan mengucurkan bantuan yang kelak dikenal dengan BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Beliau mengingatkan, bahwa bantuan tersebut bukan kebaikan hati negara, melainkan sedikit utang yang harus ia bayar kepada lembaga yang mengorbankan darah demi kemerdekaan bangsa ini.

Tindakan Kiai Mahfoudh ini merupakan cara menumbuhkan nasionalisme buttom up. Artinya, jika negara lalai atas tanggung jawabnya, santri harus menagihnya, bukan malah menghancurkan negaranya. Sebab itu, politik harus dilalui santri sebab ia adalah corong yang bisa membuat tagihan mereka didengar negara. Dunia pemerintahan juga harus digeluti santri sebab di sana ia bisa menentukan kebijakan negara. Jalur bisnis juga penting ditekuni santri, sebab dengannya ia bisa memiliki kemandirian ekonomi.

Inilah cara santri ber-NKRI.  Ia akan senantiasa mengiatkan dan menagih tanggung jawab negara lewat jalan-jalan yang tidak merusak bangsa.

Orang yang membenturkan Islam dengan NKRI adalah mereka yang kecewa, tapi tidak menyampaikan kekecewaannya dengan benar, bahkan mereka buru-buru hendak mengubah negara ini menjadi negara yang menurut mereka baik, padahal belum tentu baik. Orang yang tertindas, termarginalkan, dan hak-haknya dirampas banyak yang keburu hendak melepaskan diri dari NKRI karena tidak sabar menagih atau cara menagihnya keliru. Pesantren dan santri pernah dimarginalkan, namun dengan cara menagih yang benar dan powerfull, negara bisa memberikan bantuan dana secara regular sekaligus menetapkan Hari Santri Nasional.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan