Cara Mengatasi Pandemi Menurut Hadits Nabawi

2,131 kali dibaca

Wabah Covid-19 atau Corona Virus telah menjangkit di Indonesia setidaknya sejak triwulan terakhir. Hingga saat ini (20/6), pandemi Covid-19 telah menginjak angka 45.029 kasus positif yang dikonfirmasi melalui laman covid19.go.id. Angka ini terus mengalami peningkatan sejak warta nasional mengenai wabah ini dari bulan Maret lalu.

Banyak langkah-langkah konkret yang telah dilakukan oleh pemerintah dan lembaga yang terkait dalam penanganan Covid-19. Di antaranya, pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat pada masa awal pemberitaan mengenai pandemi ini. Lalu penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di banyak tempat, hingga pemberlakuan “New Normal” bagi wilayah-wilayah tertentu yang memiliki risiko penularan rendah dan memiliki track record baik mengenai kasus negatif Covid-19.

Advertisements

Dalam hal ini, muncul berbagai macam polemik yang mewarnai kondisi pandemi di Indonesia, khususnya bila dirujuk dari sudut agama Islam. Pada awalnya, banyak orang yang menyampaikan bahwa Covid-19 tidak harus dilawan dengan pelarangan-pelarangan yang bersifat publik, seperti ibadah di masjid dan perkumpulan majlis tertentu.

Asumsi dari pernyataan di atas adalah wabah yang disikapi sebagai salah satu makhluk ciptaan Allah, yang mana Allah sendiri yang akan menghilangkannya, terkhusus bagi hamba-Nya yang beriman. Kiranya begitulah klaim yang disuarakan oleh beberapa orang di banyak kesempatan dan majlis-majlis pengajian.

Namun, apakah pernyataan tersebut berbanding lurus dengan perintah Nabi SAW lewat hadits? Dan, apakah benar Nabi SAW memerintahkan kita dengan hanya berdoa agar wabah ini hilang? Sekaligus bagaimana cara Nabi SAW dalam menghadapi situasi seperti ini?

Alat Identifikasi Wabah

Guru Besar Ilmu Hadis UIN Alaudin Makassar Dr Arifuddin Ahmad, pada sebuah kesempatan, beliau menyampaikan pandangannya mengenai pandemi ini. Kondisi wabah Covid-19 cenderung memberikan pengaruh bagi manusia untuk senantiasa menggunakan akal sehat serta akal budi dalam mengatasinya. Tindakan ini harus disertasi dengan cara berpikir yang tepat (to think logically) dan kebijaksanaan dalam bertindak (to act wisely).

Lebih lanjut, Dr Arifuddin menyayangkan apabila hadits sebagai pedoman kedua ajaran Islam dikesampingkan begitu saja oleh semua orang. Seharusnya, hadits menjadi salah satu alat dan pertimbangan yang ampuh dalam mengatasi pandemi ini. Bahkan, sebagai bangsa Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara, cenderung mengabaikan sila pertama untuk mengatasi problematika ini.

Apabila dirujuk secara menyeluruh, Rasulullah SAW telah memberikan indikasi awal terhadap kemunculan suatu wabah (tha’un) yang menjangkit saat itu. Menurut hadits riwayat Bukhari Nomor 3214 (dari Usamah bin Zaid) yang berbunyi,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الطَّاعُونُ رِجْسٌ أُرْسِلَ عَلَى طَائِفَةٍ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَوْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ

Artinya:

Rasulullah SAW bersabda, “Tha’un adalah sejenis kotoran (siksa) yang dikirim kepada satu golongan dari Bani Israil atau kepada umat sebelum kalian.

Ditemukan informasi bahwa wabah bisa berasal dari rijsun yang dapat bermakna sebuah kotoran, yang indikasinya mengarah pada hewan. Namun lain daripada itu, wabah juga bisa berasal dari suatu mutasi genetika yang terjadi akibat rekayasa yang dibuat manusia.

Metode Penanggulangan

Ada empat langkah metode yang dapat dilakukan untuk mengatasi wabah yang ada. Keempat cara tersebut meliputi promosi persuasif, pencegahan (preventif), pengobatan (represif), dan rehabilitasi.

Pertama, yang dimaksud dengan promosi persuasif adalah ajakan-ajakan yang masif kepada penduduk yang wilayahnya sedang terjangkit wabah. Ajakan tersebut dapat berupa peringatan dan bentuk kewaspadaan dini terhadap suatu musibah, sebagaimana yang tertuang dalam at Targhib wa at Tarhib (IV:125) karya al Mundziri (w. 656 H), yang berbunyi,

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  لرجل وهو يعظه اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ ، وَحَيَاتِكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

Artinya:

Rasulullah SAW memberikan pengajaran kepada seorang laki-laki, “Gunakan lima (hal) sebelum lima (hal): (masa) mudamu sebelum (masa) tuamu; (masa) sehatmu sebelum (masa) sakitmu; (masa) kayamu sebelum (masa) miskinmu; (masa) luangmu sebelum (masa) sempitmu; dan hidupmu sebelum matimu.

Selain itu, kita juga hendaknya mengajak untuk senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT sekaligus meminta perlindungan dari-Nya. Hal ini berdasar atas hadits riwayat Bukhari Nomor 6126 (dari Abu Hurairah) yang berbunyi,

…تَعَوَّذُوا بِاللَّهِ مِنْ جَهْدِ الْبَلَاءِ وَدَرَكِ الشَّقَاءِ وَسُوءِ الْقَضَاءِ وَشَمَاتَةِ الْأَعْدَاءِ

Artinya:

…Mintalah perlindungan kepada Allah dari cobaan yang menyulitkan, kesengsaraan yang menderitakan, takdir yang buruk dan cacian musuh.

Kedua, melakukan pencegahan (preventif) yang berdasar atas dua bentuk kategori besar, yaitu Malja’an sebagai bentuk pencegahan secara ilmiah dan Ma’adzan sebagai pencegahan batiniah. Ini berdasar pada hadis Nabi SAW dalam Shahih Bukhari Nomor 3334 yang berbunyi,

…وَمَنْ وَجَدَ مَلْجَأً أَوْ مَعَاذًا فَلْيَعُذْ به…

Artinya:

…Barangsiapa yang menemukan tempat pertahanan atau tempat perlindungan, hendaklah dia berlindung kepadanya (atas suatu musibah)….

Pencegahan terhadap persebaran Covid-19 harus dilakukan dengan cara yang ilmiah. Karena virus ini merupakan objek saintifik yang mana menuntut akal untuk mengatasinya secara lahiriyah. Dalam hal ini, Nabi SAW memberikan pernyataan agar menjaga diri dari wilayah yang terjangkit wabah, ini termaktub dalam Shahih Bukhari Nomor 5287 (dari Usamah bin Zaid), yang berbunyi,

…إِذَا سَمِعْتُمْ بِالطَّاعُونِ بِأَرْضٍ فَلَا تَدْخُلُوهَا وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا مِنْهَا…

Artinya:

…Apabila kalian (para sahabat) mendengar wabah (tha’un) di suatu negeri, maka janganlah kalian memasukinya, namun jika ia menjangkiti suatu negeri, sementara kalian di dalamnya, maka jangan keluar dari wilayah tersebut….

Dan pada hadits riwayat Bukhari Nomor 5330, Nabi SAW pun memerintahkan untuk memisahkan orang-orang yang sakit dan sehat, hadits itu berbunyi,

…لَا تُورِدُوا الْمُمْرِضَ عَلَى الْمُصِحِّ…

Artinya:

…Janganlah kalian mencampurkan antara yang sakit dengan yang sehat….

Selain itu, pentingnya menjaga imunitas tubuh untuk menangkal kemungkinan penyakit yang buruk. Seperti anjuran Rasulullah SAW untuk mengkonsumsi komoditi tertentu, sebagaimana dalam hadits riwayat Bukhari Nomor 5025 (dari Sa’ad) yang berbunyi,

…مَنْ تَصَبَّحَ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعَ تَمَرَاتٍ عَجْوَةً لَمْ يَضُرَّهُ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ سُمٌّ وَلَا سِحْرٌ

Artinya:

…Barangsiapa setiap pagi mengkonsumsi tujuh butir kurma ‘ajwah, maka pada hari itu ia akan terhindar dari racun dan sihir.

Kategori selanjutnya adalah bentuk pencegahan Mu’adzan yang bermakna pencegahan secara imaniah/batiniah. Tindakan preventif ini berdasar pada bentuk ketaatan kita kepada Allah SWT. Seperti berdzikir (QS al Ra’d:28), membaca al-Qur’an (QS al Muzzammil:4), memperbanyak doa (QS Al-Baqarah:186), dan menghidupkan shalat malam (QS al-Muzzammil:6).

Sementara itu, persepsi terhadap wabah Covid-19 hendaknya harus kita ubah secara fundamental. Musibah yang diberikan Allah adalah bentuk rahmat bahkan azab dari-Nya. Ini akan membawa konsepsi bahwa semua musibah tersebut juga akan diangkat oleh Allah,

…عَنْ الطَّاعُونِ فَأَخْبَرَهَا نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ كَانَ عَذَابًا يَبْعَثُهُ اللَّهُ عَلَى مَنْ يَشَاءُ فَجَعَلَهُ اللَّهُ رَحْمَةً لِلْمُؤْمِنِينَ فَلَيْسَ مِنْ عَبْدٍ يَقَعُ الطَّاعُونُ فَيَمْكُثُ فِي بَلَدِهِ صَابِرًا يَعْلَمُ أَنَّهُ لَنْ يُصِيبَهُ إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ إِلَّا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ الشَّهِيدِ

Artinya:

…Tentang tha’un, maka Nabi SAW. memberitahukan kepadanya (Aisyah), “Bahwa (penyakit tha’un) adalah sebuah azab yang Allah timpakan kepada yang dikehendaki-Nya. Dan Allah menjadikan rahmat bagi orang mu’min. Tidaklah seorang yang berada di wilayah (yang terjangkit) tha’un, kemudian ia tetap tinggal di negerinya dan selalu bersabar, ia mengetahui bahwa penyakit tersebut tidak akan mengjangkitinya kecuali apa yang telah Allah tetapkan padanya, maka baginya seperti pahala orang yang mati syahid.” (HR Bukhari no. 5293).

Ketiga, melakukan pengobatan secara represif terhadap suatu perkara. Karena sesungguhnya Allah menurunkan penyakit pasti disertai dengan obatnya. Sebagaimana termaktub dalam hadits riwayat Bukhari Nomor 5246 yang berbunyi,

…مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً

Artinya:

“…Allah tidak akan menurunkan penyakit melainkan menurunkan obatnya juga.

Selain itu, pengusahaan terhadap vaksinasi juga harus secara progresif dilakukan. Vaksin diklaim ampuh sebagai penawar dari suatu penyakit (virus). Sebagaimana Nabi SAW pernah menyuruh minum seni dan susu unta kepada kaum ‘Ukl saat mereka terjangkit penyakit yang mewabah saat itu,

…فَشَرِبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا حَتَّى صَحُّوا…

Artinya:

“…Kemudian mereka meminum air seni unta-unta itu dan susunya hingga (mereka menjadi) sehat….” (HR. Bukhari 2795).

Keempat, menuntaskan dengan proses rehabilitasi. Praktik ini sejatinya belum diselenggarakan oleh pihak pemerintah Indonesia mengingat kondisi Covid-19 yang kurang memunculkan tren positif. Tetapi setidaknya langkah ini menjadi persiapan menuju tahap selanjutnya.

Proses rehabilitasi harus meliputi praktik lahiriah dan batiniah. Misalnya, pengoptimalan sarana kesehatan dan teknologi yang menunjang keadaan wabah apabila akan datang kembali suatu saat.

Selanjutnya melakukan perbaikan secara bertahap dari beberapa aspek. Perbaikan ini bisa dilakukan dengan menolong sesama untuk pemulihan ekonomi secara merata, beramal saleh, menciptakan kemaslahatan yang lebih luas, dan menjaga keseimbangan alam dengan bijak. (QS. an Nahl:97).

Keempat metode yang dikemukakan tersebut perlu dijadikan pertimbangan mendasar. Mengingat kedudukan hadits menjadi sangat penting sebagai pedoman hidup (kedua), terkhusus bagi umat Islam. Selain itu, diperlukan sebuah panduan kontekstual secara antropologis, sosiologis, dan historis dalam memandang tiap permasalahan yang dihadapi guna penyelesaian masalah yang tepat dan akurat.

Wallahu A’lam bi as Showaab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan