Malam itu, langit tak hanya kelam. Ia seakan mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menolak bicara. Tak ada bintang, tak ada angin, hanya satu bulatan pucat yang tergantung pasrah—bulan yang merah seperti luka yang belum kering.
Laras menatapnya dari jendela kamarnya yang menghadap utara. Rumah panggung tua itu sudah berderit minta ampun, tapi hanya dari situlah ia bisa melihat bulan tanpa penghalang. Ia tidak tahu sejak kapan bulan bisa berwarna seperti itu. Merah, seperti tertusuk sedih yang terlalu dalam. Merah, seperti air mata yang keluar bukan dari mata, tapi dari luka yang disimpan terlalu lama.

“Ibu, lihat. Bulannya berdarah,” katanya lirih.
Ibunya hanya menoleh sekilas, lalu kembali menggulung selendang di bahunya. “Itu bukan darah, Laras. Itu cermin.”
“Cermin?”
“Iya. Kadang, langit cuma memantulkan isi bumi.”
Laras diam. Tapi pikirannya tidak. Ia merasa ada sesuatu yang tidak biasa malam itu. Bukan hanya karena warna bulan, tapi karena desahan tanah yang seperti merintih di balik akar-akar pohon. Karena cicit tikus di loteng terdengar seperti bisikan. Karena embun tak lagi bening, tapi keruh.
***
Pukul dua dini hari, Laras terbangun. Dadanya sesak. Ada suara mengetuk-ngetuk lantai kayu, pelan tapi teratur. Seperti tetes air yang jatuh dari langit yang tak tampak. Tapi ini bukan air. Ini berat. Ini seperti sisa langkah seseorang yang pernah pergi dan lupa jalan pulang.
Ia turun dari tempat tidur, berjalan mengikuti suara itu, menuruni tangga tanpa menyalakan lampu. Rumah itu sepi, tapi keheningannya seperti menyimpan napas. Dan di beranda, ia melihatnya: seorang perempuan berdiri di bawah sinar bulan merah. Gaunnya putih, tapi lusuh seperti telah dihujani tanah dan waktu.
“Siapa kamu?” tanya Laras. Suaranya tak bergetar, tapi jiwanya melakukannya.
Perempuan itu menoleh perlahan, dan matanya—oh, matanya—seperti mengandung langit yang patah. Di pipinya, bukan air mata yang mengalir, tapi darah tipis yang jatuh seperti anak sungai.
“Aku dulu pernah jadi kamu,” katanya. “Tapi kamu tak pernah jadi aku.”
Laras mundur selangkah, tetapi perempuan itu mengangkat tangannya. Bukan untuk mengancam. Hanya menunjuk ke dada Laras.
“Kau menyimpan terlalu banyak luka. Mereka bukan hanya milikmu.”
Laras tiba-tiba tersadar. Ia tahu perempuan itu. Bukan dari foto, bukan dari kenangan, tapi dari rasa yang selama ini ia tekan: kehilangan ayah yang tak pernah pulang, ibu yang diam-diam menangis di dapur, dan malam-malam penuh doa yang tidak pernah dijawab.
“Bulan menangis darah karena bumi sudah terlalu banyak menyembunyikan kesakitan,” kata perempuan itu. “Kita mengira tangisan hanya milik manusia. Tapi langit juga bisa terluka.”
Perempuan itu berjalan mundur, menghilang di balik cahaya bulan yang kian temaram. Dan ketika Laras membuka mata keesokan paginya, ia masih berdiri di beranda, sendirian. Hanya bulan yang tersisa, kini sudah kembali pucat, seperti tak pernah berdarah semalam.
Tapi Laras tahu, malam itu nyata. Luka-luka itu nyata. Dan mungkin, itulah malam di mana langit dan bumi bertukar rahasia.