Bila Ulama Haus Ilmu Lupa Nikah

2,248 kali dibaca

Menuntut ilmu memanglah suatu kewajiban bagi seorang Muslim baik laki-laki maupun perempuan. Perbedaan gender bukan menjadi penyekat hak orang lain untuk menuntut ilmu. Islam pun mewajibkan kita menuntut ilmu. Ada banyak sekali dalil yang berbicara tentang wajibnya menuntut ilmu. Salah satunya adalah sebuah hadis Nabi yang cukup popular di kalangan santri, yaitu:
طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة
Artinya kurang lebih menuntut ilmu wajib hukumnya bagi seorang Muslim baik laki-laki atau perempuan.

Semangat menuntut ilmu sudah dicontohkan oleh para ulama Muslim abad ke-7-10, seperti Al-Kindi, Al Farabi, Ibnu Sina, Jabir Ibn Hayyan, Al Khawarizmi, Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam Syafi’i, Imam Maliki, dan masih banyak lagi.

Advertisements

Apabila kita mau membaca sejarah perjalanan intlektual mereka, maka kita akan mendapati kisah mereka dalam mengembara mencari ilmu dari dari kota ke kota, dari satu majlis ke majlis lainya, dan dari guru ke guru lainya. Jarak yang jauh pun bukan menjadi penghalang bagi mereka untuk menuntut ilmu.

Semangatnya menuntut ilmu itu tak hanya mengalahkan jarak tempuh. Mereka sudah mengabdikan seluruh hidupnya untuk mencari ilmu. Dan lahirnya ulama-ulama hebat pencinta ilmu tersebut telah membawa Islam mencapai puncak kejayaannya, apalagi di masa Khalifah Al-Makmun dan Harun Ar-Rasyid. Pada masa itu, para ulama banyak menghasilkan karya tulis yang diabadikan di perpustakaan Baghdad.

Saking semangatnya dalam menuntut ilmu, sebagaian ulama ada yang sampai lupa untuk menikah. Bahkan ada yang lebih ekstrem lagi, yaitu enggan menikah meskipun sudah banyak orang yang mencoba meminangnya.

Karena itu, di dunia Islam kadang kita jumpai ulama-ulama yang tidak menikah dengan alasan yanng macam-macam. Bahkan, ada kitab yang secara khusus membicarakan ulama yang tidak menikah atau memilih menjomblo. Kitab itu berjudul Ulama Al Uzzab Alladhina A’tsarul Ilma A’la Zawaj (ulama tidak menikah, memilih mendedikasikan hidupnya demi ilmu dari pada menikah) yang dikarang oleh Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah.

Di dalam kitab ini memuat sekitar 20 tokoh ulama yang tidak menikah. Sebetulnya masih banyak lagi ulama yang tidak menikah bila kita telusuri lebih jauh. Namun, dalam kitab ini hanya mengisahkan 20 ulama saja.

Sepanjang pembacaan saya terhadap kitab-kitab klasik dan buku-buku terjemahan, mayoritas ulama mengatakan bahwa hukum menikah tidak selamanya sunah. Artinya, perbuatan yang dianjurkan.

Namun, umumnya para ulama tidak menyebut kata “sunah”, akan tetapi mereka menggunakan kata mustahab atau disukai dan nadb yang artinya dianjurkan. Akan tetapi, sebagian ulama yang lainnya memberikan hukum yang beranekaragam. Ada yang menghukumi wajib, sunah, haram, mubah, dan makruh.

Hukum yang beranekaragam tersebut itu saya kira lebih terkait pada psikologis orang yang membuat hukum itu. Pada umumnya menikah dihukumi sunah dan ada sebuah hadis Nabi yang artinya kurang lebih: “Menikah adalah sunnahku, maka barangsiapa yang tidak suka dengan sunahku ini sungguh dia bukan umatku.”

Yang dimaksud sunah dalam hadis tersebut oleh sebagian ulama, yaitu sesuatu yang disukai atau dianjurkan. Jadi para ulama yang tidak menikah itu bukan berarti mereka membenci sunah nabi dan bukan bagian dari umat nabi, akan tetapi mereka lebih memilih mendedikasikan hidupnya untuk ilmu dari pada menikah.

Kisah Syekh Yasin

Kisah para ulama yang tidak menikah itu juga hampir menimpa Syekh Yasin bin Muhammad Isa al Fadani, seorang ulama asal Padang, Sumatra Barat yang menetap di Makkah. Syekh Yasin dilahirkan di kalangan ulama dan ahli ilmu pada 17 Juni 1915 dan meninggal di Makkah pada 20 Juli 1990 pada usia 75 tahun.

Syekh Yasin merupakan seorang ulama ahli hadis, bahkan beliau dijuluki sebagai “Musnid Ad Dunya”, yaitu pemegang sanad hadis terbanyak di dunia. Beliau sangat disegani dan dihormati baik di Makkah maupun di Indonesia.

Kehidpanya di Makkah cukup sederhana. Beliau tidak hidup mewah dengan gelimang kekayaan, Bahkan baju yang sering dikenakannya cukup sederhana, tidak memperlihatkan bahwa beliau seorang ulama besar. Namun, berkat kealiman dan kezuhudan Syekh Yasin, tidak ada seorang pun yang berani mencela penampilannya. Banyak murid-murid dari Indonesia belajar dengan Syekh Yasin di Makkah, salah satunya adalah Al-Magfurllah KH.Muhammad Ahmad Sahal Mahfud atau yang dikenal dengan nama Mbah Sahal.
Selain mendalami ilmu hadis, Syekh Yasin juga mendalami imu tasawuf, falak, fikih, dan ushul fikih. Semangatnya dalam menuntut ilmu membawanya berguru pada ulama-ulama besar Timur Tengah, setelah sebelunya belajar ilmu dasar-dasar agama kepada ayahnya sendiri, Syekh Isa dan menghafal al-Quran dengan ibunya. Beliau mampu menghafalnya pada saat usia 8 tahun. Setiap bulan Ramadan tiba, Syekh Yasin selalu mengkhatamkan kitab Kutub al-Sittah, yaitu 6 kitab induk hadis. Di samping itu, beliau juga mengajar di Masjidil Haram. Beliau memiliki majlis yang cukup digemari oleh penduduk Makkah.
Syekh Yasin tak pernah malu menuntut ilmu meskipun beliau sudah menjadi ulama besar dan memangku majlis di Masjidil Haram. Semangat dan kehausannya akan ilmu ini tak pernah padam dari dirinya. Bahkan sampai mampu mengalahkan egonya. Syekh Yasin juga tidak anti terhadap kritik.

Pernah suatu ketika kitab karangan Syekh Yasin mendapatkan kritikan pedas dari seorang santri asal Indonesia, yaitu KH.Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh. Mengetahui kritikan tersebut, Syekh Yasin tidak marah, justru merasa senang dan akhirnya mengirim surat ke Indonesia yang ditunjukan untuk Mbah Sahal. Dalam suratnya, Syekh Yasin mengundang Mbah Sahal untuk datang ke Makkah dan diminta tinggal di rumahnya. Pada musim haji tahun berikutnya, Mbah Sahalpun berangakat haji dan berencana menetap di rumah Syekh Yasin. Saat sampai di Pelabuhan Makkah, Mbah Sahal disambut oleh seorang leleki paro baya yang tidak lain adalah Syekh Yasin sendiri.
Syekh Yasin merupakan ulama yang gemar menuntut ilmu dan tak mengenal usia. Bahkan Syekh Yasin menulis banyak karya baik dalam bidang ilmu fikih, ushul fikih, hadis, falak, dan lain sebagainya. Jika dilihat dari karya-karyanya, rupanya beliau lebih banyak menulis kitab-kita yang berkaitan dengan ilmu hadis.

Beliau berkelana menuntut ilmu dari guru ke guru atau dari majlis ke majlis. Saking sibuknya menuntut ilmu hampir melupakan soal nikah. Padahal, usia beliau sudah tak muda lagi. Lalu hal ini membuat orang tua Syekh Yasin dan juga teman-temanya merasa khawatir dan menjadi beban pikiran bagi mereka. Sebetulnya sudah banyak orang Makkah yang ingin meminangnya sebagai menantu. Namun Syekh Yasin selalu menolak dengan alasan masih ingin belajar.

Karena tak kunjung mendapatkan ketegasan jawaban dari Syekh Yasin, maka orang tuanya mendesak Syekh Yasin agar segera menikah. Dan, pada akhirnya Syekh Yasin pun menuruti perintah ayahnya tersebut. Beliau menikah pada saat mencapai usia 40 tahun, dan dari pernikahannya itu beliau dikaruniahi empat orang putra, yaitu Muhammad Nur ‘Arafah, Ridha, Fahad, dan Nizar.

Dari kisah tersebut kita sebagai seorang santri atau pelajar bisa mengambil pelajaran, betapa pun kita cinta terhadap ilmu, bukan berarti kita mengesampingkan untuk bekerja, menikah, dan bersosialisai. Semuanya harus seimbang. Memang menikah itu adalah suatu pilihan, namun bagi yang masih berada di maqom awam atau maqom tajrid, tentu saja tidak akan mampu jika harus menjomblo, bisa-bisa malah terjerumus ke lubang perzinaan. Kita sering menyaksikan sendiri ada santri yang sudah berpuluh-puluh tahun menimba ilmu di pesantren dan tidak segera menikah karena lebih asik dengan ilmu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan