Bila Santri Salah Baca Nama Kitab

220 views

Termasuk salah satu tugas berat bagi seorang penjual atau karyawan toko buku (kitab) adalah keharusan menghafal setiap judul beserta pengarang dari buku-buku yang ia jual. Jika tidak demikian, seorang penjual atau karyawan toko buku akan kesulitan dalam melayani pembeli ketika tidak hafal setiap judul buku (kitab) yang dijual. Begitu pun sebaliknya, si pembeli juga akan dibuat bingung untuk menjelaskan ciri-ciri dan tujuan buku yang ingin dibelinya.

Adalah Qayyim, seorang santri yang diamanahi untuk menjaga toko kitab milik pesantrennya. Dengan statusnya sebagai santri senior, juga dengan penguasaan kitabnya yang dirasa banyak, pengurus pondok memercayainya untuk menjaga toko kitab milik pesantren. Barangkali dari dua statusnya itu, Qayyim akan sangat gampang dalam melayani para pembeli beserta macam-macam kitab yang dikehendaki.

Advertisements

Eh tunggu dulu, sebanyak apapun pengalaman yang pernah digeluti Qayyim dalam sebuah bidang, akan tiba juga saatnya ia merasa bodoh ibarat seseorang yang tidak mempunyai pengalaman sama sekali. “Pengalaman banyak” ternyata tidak lantas selalu menjadi tolok ukur keberhasilan seseorang dalam menjalani lika-liku kehidupan. Itulah kenyataannya.

Adit namanya, seorang santri cilik luar biasa yang memilih mondok setelah tamat Sekolah Dasar (SD), semata untuk mematuhi perintah orang tuanya. Di usianya yang dini, kepatuhan Adit pada perintah orang tuanya tampak sekali. Ketika orang tuanya menyuruhnya untuk mondok di pondok pesantren, Adit yang kecil tanpa protes langsung mengikutinya.

Selain kepatuhannya kepada kedua orang tuanya, ternyata Adit juga mempunyai semangat tholabul ilmi yang begitu kuat. Alasan inilah yang membuat kedua orang tua yakin dan memutuskan untuk memasrahkan Adit di salah satu pondok pesantren.

Setelah selesai disowankan kepada pengasuh dan resmi berstatus santri, Adit yang dikenal sebagai orang dengan semangat belajar yang tinggi menghampiri papan informasi pondok seputar kitab-kitab yang akan dipelajari santri seusianya. Setelah melihat nama-nama kitabnya, dengan percaya diri Adit langsung menuju toko kitab di pondok untuk membelinya.

Sampai di sana, bertemulah dia dengan Qayyim (si penjaga toko kitab milik pesantren). Tanpa basa basi, Adit langsung mengungkapkan tujuannya.

“Kak, mau membeli ‘Umar Yoto,” ungkap Adit kecil kepada Qayyim. Mendengar apa yang diucapkan Adit, Qayyim dengan pengalaman dunia kitabnya yang mumpuni hanya bisa geleng-geleng kepala. “Loh, itu nama apa Dek?” sahut Qayyim sembari bertanya.

Mendengar jawaban Qayyim, Adit kecil diam seribu kata.

“Saya juga tidak tahu, Kak,” jawab Adit singkat.

“Lah piye toh, Lek,” lanjut Qayyim agak kesal.

“Di papan informasi tulisannya ‘Umar Yoto,” jawab Adit sekali lagi.

Setelah keduanya sama-sama berkecamuk dengan kebingungan, Akhirnya Qayyim mulai mengajaknya bicara dengan pelan-pelan.

“Adek ke sini mau beli kitab atau mau beli buku?” tanya Qayyim lembut.

“Mau beli kitab, Kak,” jawab Adit.

“Oh kitab, memang nama kitabnya apa?” lanjut Qayyim.

“Itu loh, Kak, kitab Nahu kelas 1 Ula,” jawab Adit meyakinkan.

“Oh kitab Nahu itu,” ungkap Qayyim sembari menunjuk pada sebuah rak kitab.

Setelah paham maksud tujuan kitab yang ingin dibeli si Adit kecil, Qayyim langsung mengambil kitabnya lalu memberinya sembari berucap: “Adek ganteng, ini kitab namanya ‘Imrithi (العمريطى) bukan ‘Umar Yoto,” tegas Qayyim sambil terbahak-bahak.

Adit pun hanya bisa tersipu malu.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan