Bila Santri Mencuri Kelapa

1,090 kali dibaca

Sewaktu saya mondok dulu, di Pesantren Annuqayah Sumenep, Madura, saya punya sahabat karib, sebut saja namanya Syafi’i dan Halim. Kami akrab karena punya kesamaan. Sama-sama mondok di wilayah yang sama (daerah Lubangsa Raya), sama dalam satu kelas, dan seringkali diskusi pelajaran bersama. Karena keseringan dalam muthalaah bersama, kami seringkali bersama-sama, hingga makan pun tidak jarang kami berbarengan.

Suatu ketika, saya, Syafi’i, dan Halim merasakan lapar setelah jam belajar. Di pondok kami jam belajar dimulai sejak selesai salat isya hingga jam sembilan malam. Setelah itu, para santri bebas beraktivitas, seperti memasak (kami dulu memasak sendiri), mengerjakan tugas sekolah, atau kalau ingin melanjutkan muthalaah juga tidak apa-apa. Kami bertiga hanya duduk-duduk di teras pondok, setelah sebelumnya lelah berdiskusi tentang pelajaran besok di sekolah.

Advertisements

“Kok perut terasa lapar ya?” Halim berbicara entah kepada siapa.

“Mau masak tah?” Aku menimpali tak acuh.

“Masak nasi uduk yuk,” Syafi’i usul. Saya sendiri tidak paham apa nasi uduk itu. Tetapi saya pastikan bahwa itu makanan yang tidak berbahaya. Masakan yang pastinya mengenyangkan. Di pondok dulu, makan itu tidak harus bergizi. Dengan kata lain, tidak pernah terpikirkan gizi dari menu masakan yang kami makan. Yang penting kenyang dan tidak kelaparan. Itu saja.

Singkat cerita, kami pun setuju. Syafi’i mengajak saya ke entah. “Ikut aku saja,” katanya pada saat itu. Saya pun turut bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Sampailah di halaman madrasah, MTs I Annuqayah. Kemudian, Syafi’i mengambil sebuah kelapa yang ada di sana. Beberapa butir kelapa berserakan seakan tidak ada yang punya. Di halaman madrasah ada pohon kelapa dan buahnya seringkali ditinggal di bawahnya. Maka, tidak heran jika oleh santri yang sedang menuju kelas, kelapa itu ditendang ke sana ke mari. Jadi, kelihatannya buah kelapa itu tidak ada pemiliknya. Padahal sebenarnya ada, hanya kami tidak tahu siapa pemilik pohon kelapa tersebut.

Biasanya, mengupas kelapa itu menggunakan alat (arek yang cukup besar, orang Madura bilang sadhe’ raja: arek besar), tetapi oleh Syafi’i kelapa itu hanya dibanting-banting ke tanah hingga pada akhirnya buah kelapa itu hancur berkeping-keling. Kepingan buah kelapa itu kemudian dikumpulkan dan dibawa ke rumah tetangga untuk diparut.

Pada saat mengupas kelapa itu hati saya berdegup kencang. Gugup dan takut. Bukannya kelapa itu punya orang? Bagaimana kalau nanti ketahuan. Bukankah ini termasuk pencurian? Begitu terus hati saya berbisik. Namun perbuatan itu terus berlanjut. Lapar telah menguasai perut dan pikiran kami.

Sementara, yang punya akses ke rumah tetangga adalah Halim. Maka ia bertugas untuk memarut kelapa dengan alat parutan pinjaman. Tentu saja di pondok tidak ada alat parutan. Sebab alat tersebut tidak biasa digunakan. Memang, ada saya lihat alat parutan itu punya teman saya yang lain. Tetapi terbuat dari kaleng besar yang dibolongi pakai paku. Ya, jadilah parutaan yang sederhana dan dalam kondisi darurat.

Tidak berapa lama Halim sudah selesai dengan hasil parutan kelapa. Lagi-lagi Syafi’i yang punya ide, memeras kelapa itu menjadi santan. Beras pun dijerang untuk dimasak. Entah bagimana proses yang benar, yang pasti nasi dengan air santan kelapa akhirnya sudah matang. Kami bertiga bersiap makan. Ketika tiba-tiba seorang teman dari daerah lain (derah Latee) datang dan nimbrung. Sebut saja namanya Zainal. Dalam hati saya bergumam, “Enak saja langsung makan, gak perlu susah-susah membuat dari sejak awal.”

Akhirnya kami pun kenyang dengan makanan ghasop alias subhat. Kelapa yang kami gunakan belum jelas. Apakah direlakan oleh pemiliknya atau tidak. Melihat kondisinya, kelapa itu seakan dibiarkan begitu saja. Pemilik seakan tidak peduli dengan buah kelapa yang berserak. Meski demikian, sampai detik ini saya masih berusaha untuk berjumpa dengan si pemilik. Atau bahkan, jika pemilik buah kelapa itu tidak ada, bisa berjumpa dengan ahli warisnya. Ya, untuk meminta maaf atas sebuah kelapa yang “terpaksa” digasak.

Sekarang, teman saya yang bernama Syafi’i menjadi pimpinan lembaga pesantren di Jember. Semantara, Halim menjadi dosen di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya sendiri membantu mengajar di SMPN 1 Batang-Batang dan MTs Darul Ulum Batuputih. Komunikasi kami bertiga hingga sekarang masih lancar dan seringkali chating hal-hal kenangan selama kami mondok.

“Masih ingat kisah buah kelapa itu, Sahabat?”

Kami bertiga seringkali tertawa berderai jika saya ingatkan kisah itu.

Multi-Page

2 Replies to “Bila Santri Mencuri Kelapa”

Tinggalkan Balasan