Bila Santri Galau…

1,258 kali dibaca

Daun luntas yang menjadi tanaman pagar di Pondok “Shirathul Fuqaha” bergeser pelan, ke kanan-kiri. Mengikuti embusan angin malam nan dingin menusuk. Hawa adem di Malang bulan Agutus, mulai menyapa sejak Juli. Pancaroba, pergantian musim hujan ke kemarau, menyerahkan tongkat estafetnya. Sesekali gerimis yang dianggap tersesat di waktu yang menjadi singgasana bintang, tanda cerah dimulai. Namun, takdir Allah SWT siapa dapat menyangka dan menyangkal. Pasti bertujuan, berhikmah. Hanya, manusia dalam keterbatasannya, tidak bisa menerka tafsirannya. Atau, justru merasa pintar menerka tanda alam takambang, meski bukan dalam kapasitasnya.

Sohib merasa resah. Ia duduk termenung di serambi tangga menuju dapur santri. Hanya berdiam, iktikaf dalam hati, meski tidak dalam masjid. Ia merasa marah kepada dirinya sendiri. Sesekali menggaruk kepalanya yang tiada gatal. Sesekali memukul kepalanya, dengan desahan napas kesal. Sesak.

Advertisements

Kang Salim, ketika hendak menuju blumbang untuk berwudlu,sempat kaget melihat Sohib. Kang Salim menyangka jin pondok tengah menggodanya, bertujuan mengurungkan niat untuk tahajudnya.

“Hib, kenapa kamu di sini? Tak kira jin lo tadi. Kaget, aku!” sapa Kang Salim.

Sohib mendongak, “Sulit tidur, Kang! Cari ngantuk!”

Kang Salim merasa janggal. Sohib adalah juniornya, baru mondok tiga tahun. Sedangkan, Kang Salim sendiri masih setia bergumul dengan kitab-kitab kuning selama 12 tahun, sesambi ngabdi dalem pada Yai Mad, pengasuh pondok.

“Sohib, tidak biasanya kamu begini. Ada yang kamu pikirkan?” tanya Kang Salim, yang dijawab gelengen kepala oleh Sohib.

“Kangen orang tua? Kiriman uang telat? Atau mulai nggak kerasan di pondok?” cerca Kang Salim, yang semuanya dijawab gelengan kepala.

“Lalu, apa?” tanya lanjut Kang Salim.

Sohib diam, kepalanya menunduk memandang lantai pondok. Terasa udara jam 2 pagi bertambah dingin. “Kang, selama aku mondok tiga tahun, aku kok merasa belum dapat apa-apa ya? Nggak bisa apa-apa, tepatnya!”

Kang Salim membenahi duduknya untuk lebih mendekat. Sebagai santri senior ia merasa perlu memberikan sedikit ketenangan pada junior-juniornya, apalagi Sohib sekampung. “Maksudmu, Hib?”

Sohib tampak lebih murung dari sebelumnya. “Kang! Di pesantren ini, mungkin hanya aku saja yang bodoh ya Kang? Sulit lalaran, setoran hafalan kitab, setoran baca kitab kuning juga sering keliru nahwu-sharafnya, sulit menerima pelajaran di raudhah, tidak bisa ngesahi, memaknai kitab kuning. Keliruku di mana ya, Kang?”

Kang Salim tersenyum. Ia sedikit lega. Sohib mulai sedikit terbuka, membuka tabir galaunya. “Kamu masih ingat riwayat Ibnu Hajar?”

“Ingat, Kang! Beliau belajar dari tetesan air yang mampu melubangi batu. Bukannya aku tergesa atau kurang bersabar, Kang. Tapi, tengoklah, teman-teman santri seangkatanku, daya hafalan, kekuatan pikiran, kepintaran baca kitab kuning, jauh di atasku, Kang,” nada suara Sohib tampak parau.

“Baiklah, Musonif Kifayatul Atqiyah yang pernah aku baca, memberikan sebuah petuah bagi penuntut ilmu. Jika seorang sedang mencari ilmu, hendaknya jangan mengikuti nafsu syahwat.”

“Maksudnya, Kang Salim?”

“Bersihkan niatmu dulu, Hib! Setir hawa nafsumu. Mencari ilmu ikhlas karena Allah, bukan karena keinginan dunia. Ingin dipandang alim, ingin dihormati karena ilmu, atau apa pun yang bersifat keduniawian. Selanjutnya, jangan melupakan ilmu pokok.”

Sohib penasaran, “Ilmu pokok? Apa itu, Kang?”

“Rasul pernah merawikan, dengan bertanya kepada sahabat pencari ilmu, tentang pengetahuannya atas Allah, atas hak–hak Allah, atas kematian dan bekal untuk mempersiapkannya. Itulah ilmu pokok, ilmu yang bersifat fardlu áin.”

“Apakah yang dimaksud ilmu tauhid, Kang?”

“Benar, kamu telah mengetahuinya. Tauhid menjadi ilmu pokok, fardlu ‘ain untuk dikuasai. Sedangkan, ilmu-ilmu lain menjadi fardlu kifayah, seperti ilmu fikih, nahwu-sharaf, thabib, dan lainnya.”

Sohib mulai menemukan pencerahan, “Baiklah, ilmu tauhid akan aku utamakan. Lalu, mengapa aku sulit hafalan, sulit menerima pelajaran dari ustadz, dan sulit untuk ‘menancapkan’, sebentar saja lalu hilang.”

Kang Salim melihat wajah Sohib sebentar, ia menemukan guratan kekecewaan Sohib. Kecewa karena merasa tidak mampu mengimbangi teman-teman santri di raudhahnya.

“Imbangi dengan amalan ibadah, Hib. Selalu salat jamaah, jangan meninggalkan salat rawatib, kerjakan sunah-sunah lainnya. Dan, yang terpenting jauhi maksiat. Karena itu bisa jadi penghambat.”

Sohib terkejut, “Subhanallah, mungkin itu kekuranganku, Kang! Aku agungkan ilmu sendiri, aku agungkan, hormati, dan takdzim kepada guru-guruku. Namun, mungkin khilaf dan maksiatku membuatnya menjadi tidak barokah.”

Keduan santri senior dan junior pesantren Shirathul Fuqaha’ itu tampak termenung. Batsul masail, berdiskusi mencari nurul qalbi. Kang Salim melanjutkan, “Tinggalkan maksiat dan dosa, Hib. Aku juga masih belajar tentang itu. Ilmu itu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada pendosa. Ini menjadi hukum kausalitas, sunatullah…

“Insyaallah, Kang! Mungkin di pesantren ini aku bisa meminimalkan sedikit perbuatan maksiat dan dosa. Tapi, ketika kembali ngampung di rumah, di sekolah luar pondok, begitu banyak potensi kerawanan aku berbuat khilaf. Aku tak bisa membayangkan, bagaimana kehidupanku di luar pondok.”

“Maka dari itu, Hib. Selama kita masih bisa nyantri di sini kita harus sabar dan tekun untuk mencari ilmu sebagai bekal di kehidupan luar pondok nanti. Apalagi ketika terjun ke dunia kerja, dunia pekerjaan, dan berinteraksi dengan masyarakat banyak..”

Sohib terdiam sebentar. Mungkin mengingat bahwa telah banyak maksiat yang telah dilakukan. Sadar atau tidak sadar. Sengaja atau tidak. “Bagaimana cara kita menjaga dari maksiat, Kang?”

Bidayah al Hidayah menjelaskan tujuh titik rawan manusia. Mata, telinga, lisan, perut, farji, tangan, dan kaki. Jahanam memiliki tujuh pintu dan masing-masing akan dimasuki karena maksiat dan dosa dari tujuh titik tadi. Tentu kamu paham, sebab apa-apa yang bisa menjadi perbuatan dosa dari tujuh titik tadi?”

“Iya, Kang! Lalu, perbuatan apa yang harus kita ikuti di samping menjaga diri dari maksiat, bersikap tekun, dan sabar tadi Kang?”

“Muliakan gurumu. Di samping itu muliakan buku atau kitab-kitabmu. Belajarlah atau bacalah kitab-kitabmu dalam keadaan suci. Selalu menulis setiap ilmu yang dipelajari dengan tulisan bagus dan terbaca. Jangan memakai warna merah, begitu ulama salaf menasihati. Ilmu adalah buruan dan tulisan adalah ikatannya.”

Suara tarkhim dari masjid dalam pesantren menggema. Ufuk timur telah mulai menggeliat. Bersiap menyongsong fajar sebelum pagi tiba. Kang Salim menyudahi diskusinya dengan Sohib.

“Sampai di sini dulu, Hib. Semoga obrolan tadi bisa sedikit memberimu optimisme kembali. Jika masih ada ganjalan, baiknya tanyalah pada ustadz-ustadzmu nanti di raudhah.

Sohib tersenyum, “Terima kasih, Kang Salim. Sesak di dada mulai longgar. Pesimisku mulai terkikis. Aku akan lebih giat lagi, Kang. Terus belajar, mengaji, dan nyantri. Sebagai gantinya, pagi nanti Kang Salim akan kutraktir nasi pecel dan kopi di warung Mak Sum, ya…. ”

Keduanya tersenyum. Melangkah untuk bersujud menunaikan qiyamul lail dan salat fajar. Harmoni sepertiga malam dijemput.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan