Bila Para Kiai Terlibat Diskusi Online…

2,821 kali dibaca

Terhitung sudah dua bulan lebih pondok pesantren di Indonesia vakum dari kegiatan belajar mengajar. Dimulai saat virus Corona mewabah di berbagai daerah di Indonesia, disusul kemudian pemerintah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pondok-pondok pesantren diliburkan lebih awal. Sebelum Ramadhan 23 April 2020, jutaan santri sudah dipulangkan ke rumah masih-masing. Salah satu tujuannya untuk memutus penyebaran Covid-19.

Kini, sudah dua bulan pondok-pondok pesantren masih kosong, bertepatan dengan rencana pemerintah memberlakukan kebijakan baru yang disebut “New Normal”. Semestinya, bakda Lebaran seperti ini, memang musimnya santri kembali ke pondok. Namun, kapan masa libur santri berakhir masih belum pasti.

Advertisements

Nah, sembari menunggu rencana penerapan kebijakan pemerintah yang baru, para kiai di Jawa Timur melakukan diskusi untuk mengantisipasi pemberlakuan “New Normal”. Tentu saja, dalam kondisi pandemi yang mengharuskan kita menjaga jarak (physical distancing), diskusi yang melibatkan para kiai dan ulama pengasuh pondok pesantren ini dilakukan secara online atau daring.

Inisiator diskusi online para kiai adalah Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) Jawa Timur. Dipandu ketuanya, Prof Dr Mas’ud Said, diskusi online para kiai ini bertajuk Silaturahim dan Persiapan Pesantren dalam Menghadapi Era New Normal. Diskusi berlangsung pada Sabtu (30/5/2020).

Tercatat, para kiai yang terlibat dalam diskusi online antara lain KH Afifuddin Muhajir dan  KHR A Azaim Ibrahimy dari Pondok Pesantren (PP) Salafiyah Syafiiyah Situbondo; KH M Nafi (PP Al Hikam Malang); Dr Maftuchin (Rektor IAIN Tulungagung); Dr KH A Fachrur Rozy (PP An Nur 1 Bululawang Malang); KH Abdul Hakim atau Gus Kikin (PP Tebuireng Jombang); KH A Hisyam Syafaat (PP Darussalam Blok Agung Banyuwangi); dan Prof Dr KH A Halim Soebahar (Ketua MUI Jatim, Cendikiawan Muslim Jember).

Selain itu, ikut pula KH Muchlish Muchsin (PP Al Anwar Bangkalan); Nyai Hj Mahfudhoh Ali Ubaid (PP Tambak Beras Jombang); KH Mutham Muchtar (PP An Nuqaiyyah Sumenep); KH Yazid Karimullah (PP Nurul Qarnain, Jember); Prof Dr M Mas’ud Said (Direktur Pascasarjana Unisma Malang); Prof Dr Fathoni (IAIN Tulungagung); M Mas’ud Adnan (Komisaris Utama Harian Bangsa dan bangsaonline.com); KH A Wahid Badrus (Pengurus NU Nganjuk); KH Husnul Chuluq (mantan Ketua PCNU Gresik); KH Ramadhon Sukardi (PP dan Yayasan Sosial Al Huda Kediri); H A Rifai (ISNU/ Rumah Sakit Tulungagung); KH Muflich Rifai (PP Ar Rifai 2); dan Gus H Achmad Barra (PP Amanatul Ummah Surabaya dan Pacet Mojokerto).

Tak beda jauh ketika berkumpul secara fisik, diskusi para kiai yang dipisahkan jarak relatif jauh ini tetap berlangsung gayeng, cair, penuh candaan. Tapi, tetap banyak ide segar dan kreatif yang muncul menyikapi rencana pemerintah memberlakukan “New Normal”.

Masyaallah. Di forum itu rasanya hati merasa sangat bahagia karena juga pembahasannya sangat detail, mantab, dan produktif,” demikian kesan Prof Mas’ud Said yang memandu jalannya diskusi online.

Dalam diskusi tersebut, misalnya, Prof Halim Soebahar yang juga Direktur Program Pascasarjana IAIN Jember, menegaskan, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan yang memiliki tipikal khusus, terutama dalam membentuk karakter para santri. Bahkan pesantren, katanya, adalah lembaga pendidikan yang mampu memadukan otak dan watak. Karena itu, ia merekomendasikan agar dicari cara agar pesantren segera aktif kembali.

Gus Kikin, yang belum lama dipercaya menjadi Pengasuh Pondok Tebuireng, juga menilai bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan akhlak. Gus Kikin menilai, kevakuman pesantren hingga dua bulan akan merugikan secara moral. Karena itu, ia juga berharap proses ajar mengajar do pesantren harus segera aktif kembali.

Di saat yang sama, KH Fahrur Rozy memberi penegasan lebih. Menurutnya, belajar secara online yang juga diberlakukan di lingkungan pesantren selama ini sangat tidak efektif. Ia mencontohkan tentang dirinya yang menggelar pengajian secara virtual. “Awalnya yang ikut 700 orang, tapi sekarang tinggal 100 orang,” kata Gus Fachrur – panggilan akrabnya. Karena itu ia sepakat bahwa para santri harus belajar di pondok pesantren kembali.

Pendeknya, semua kiai yang terlibat diskusi online tersebut sepakat bahwa kegiatan di lingkungan pondok pesantren harus dinormalkan kembali. Namun, para kiai juga menyadari akan banyaknya kendala. Nyai Hj Mahfudzoh Ali Ubaid, misalnya, memberi contoh soal lazimnya satu kamar di pondok yang dihuni 10-30 santri. “Dengan kondisi ini, problemnya, bagaimana menjaga para santri, ustadz, dan kiai agar terjaga dan tidak terpapar covid-19,” ujarnya.

Dalam pada itu, H Ahmad Rifai yang bertugas Rumah Sakit Tulungagung menyarankan agar rapid test terhadap santri diperketat. Memang, ia mengakui bahwa validitas rapid test hanya 60 sampai 70 persen. Tapi, kata dia, yang paling penting orang yang rentan terpapar dan punya penyakit bawaan harus benar-benar diperhatikan dan langsung diisolasi.

Untuk itu, menurut dia, tiap santri yang tiba di pesantren harus di-rapid test, bukan membawa surat tes kesehatan dari rumah. “Karena di perjalanan juga rawan tertular,” katanya. Ia juga mengingatkan bahwa kini banyak pasien OTG (orang tanpa gejala). Karena itu, ia minta para kiai memperhatikan kesehatan dan kebersihan para santri. “Yang paling penting menghindari kontak langsung,” kata pengurus ISNU itu.

Tapi, uniknya, seperti terungkap dalama diskusi online ini, problem di pesantren menghadapi “New Normal” ternyata tak hanya minimnya sarana kesehatan dan kedisiplinan protokol kesehatan. Tapi juga adanya persepsi para pengasuh pesantren yang masih berbeda satu sama lain. “Saya banyak melakukan silaturahim ke kiai-kiai di Mojokerto. Ternyata, ada beberapa kiai yang tak percaya ada Covid-19,” kata Gus H Achmad Barra. Karena itu, ia berharap para kiai bisa menyamakan persepsi dalam menghadapi Covid-19 dan “New Normal” ini.

Namun begitu, meskipun menginginkan pondok pesantren segera diaktifkan kembali, para kiai yang terlibat diskusi online ini masih menunggu kepastian kebijakan dari pemerintah. Jika nantinya “New Normal” juga diberlakukan di lingkungan pesantren, mereka juga juga berharap para santri bisa kembali ke pondok secara bertahap dan diatur sedemikian agar mematuhi protokol kesehatan. Karena itu, para kiai dari berbagai pesantren di Jawa Timur ini berharap pemerintah segera mengambil kebijakan, terutama merespons kebutuhan-kebutuhan konkret tentang sarana kesehatan di lingkungan pondok.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan