Bidayatul Hidayah, Pemaduan Fikih dan Tasawuf

1,764 kali dibaca

Setiap hamba tentu selalu mendambakan hidayah dari Allah. Meski, sebenarnya hidayah itu sudah Allah tanamkan dalam diri setiap manusia. Hanya, ada beberapa manusia yang langsung dengan mudah menerima hidayah tersebut, dan tidak jarang pula harus menempuh perjalanan spiritual yang berliku dan penuh tanjakan.

Imam Al-Ghazali berbicara banyak tentang proses awal seorang hamba mendapatkan hidayah dari Allah SWT melalui salah kitabnya, Bidayatul Hidayah. Dalam kitab ini, Al-Ghazali memperinci mengenai etika atau akhlak seorang hamba di dalam taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya dengan memakai adab yang benar.

Advertisements

Hidayah, menurut Imam Al-Ghazali, merupakan buah dari ilmu. Karenanya, seorang hamba harus mempunyai ilmu untuk mengetahui proses awal sampai akhir, baik secara hissi (konkret) maupun hakiki (abstrak). Karena sorang hamba tidak akan sampai pada puncak hidayah kecuali ia telah melalui proses dari awal. Dan seorang hamba juga tidak akan mengetahui hidayah secara hakiki jika tidak meneliti terlebih dahulu akan yang hissi.

Adapun, proses awal seorang hamba dalam memperoleh hidayah adalah taat menjalankan semua perintah Allah SWT yang fardu dan yang sunah. Karena perkara yang fardu merupakan pokok dari segala perniagaan. Sedangkan, perkara sunah merupakah ruh dalam memperoleh surplus (kelebihan), yang akan mengantarkan seorang hamba pada suatu tingkatan ruhiyah.

Sehingga dengan menjadikan perkara sunah sebagai habit (kebiasaan), maka seorang hamba akan mendapatkan hidayah dalam bentuk love (cinta) dari Allah. Bagi seorang hamba, cinta dari Allah merupakah puncak kenikmatan ruhaniyah yang tiada tara, karena Allah menjadi telinganya saat mendengar, menjadi matanya saat melihat, menjadi mulutnya saat berbicara, menjadi tangannya saat menyentuh, dan menjadi kakinya saat berjalan.

Selanjutnya, Imam Al-Ghazali dalam kitab ini menjelaskan tentang apa saja yang menyangkut perkara sunah tersebut, mulai dari perkara yang ringan sampai yang berat. Karena sejatinya, tidak ada perkara yang berat jika memulai dari yang ringan.

Kurang lebih ada enam belas perkara sunah yang semestinya ditekuni oleh seorang hamba, di antaranya adalah adab bangun tidur, adab masuk toilet, adab berwudhu, adab mandi, adab bertayamum, adab masuk dan keluar masjid, adab ketika terbit fajar, adab bersiap untuk salat, adab tidur, adab salat, adab menjadi imam dan makmum, adab salat Jumat, adab puasa, menjaga diri dari maksiat hati dan adab connecting (tersambung) secara spiritual dengan Allah, dan juga menjaga hubungan baik dengan sesama makhluk.

Yang istimewa dari kitab ini, dalam bab maksiat hati, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa tiga perkara yang paling merusak batin seseorang, yaitu hasud (dengki), riya (ingin dipuji), dan ujub (berbangga diri). Tiga perkara ini dianggap sulit karena manusia paling sering dirasuki sifat-sifat tercela tersebut. Dan, meskipun manusia mengetahui bahwa perkara ini tidak terpuji, nyatanya masih banyak yang lalai karena kesibukannya mengurusi perkara yang bersifat material.

Mengapa Al-Ghazali hanya menyebutkan tiga sifat tercela ini, padahal masih banyak lagi sifat-sifat tercela lainnya? Di sini Imam Al-Ghazali mempunyai alasan kuat. Sebab, tiga sifat tersebut mempunyai korelasi kuat dengan sifat-sifat tercela lainnya. Misalnya, sifat hasud (dengki), ia mempunyai korelasi denga sifat kikir. Lalu Imam Al-Ghazali mengutip sebuah hadis yang artinya, “Sifat dengki memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.”

Mengenai sifat riya (ingin dipuji manusia), Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ia merupakan sifat yang menafikan keikhlasan. Sedangkan, amal yang tanpa keikhlasan tidak akan bernilai di sisi Allah SWT. Kemudian yang ketiga sifat ujub (pamer), ia mempunyai korelasi dengan sifat takabur (sombong) dan sifat-sifat tercela lainnya.

Kelebihan kitab ini, ia merupakan salah satu dari sekian banyak kitab yang sangat ringan dibaca namun juga menarik, karena adanya perpaduan konsep yang berorientasi kepada fikih (fiqh oriented) dengan tasawuf (spiritual oriented). Sehingga, pembaca tidak akan bosan, justru semakin dibuat penasaran untuk menyelesaikan bab demi bab dari kitab Hidayah Al-Bidayah ini.

Kekurangan dari kitab ini, dalam mengutip suatu ayat Al-Quran, tidak mencantumkan nama surat dan nomor ayat. Sedangkan, dalam penukilan Hadis, tidak disebutkan perawi dan kualitas hadisnya.

Data Kitab

Judul Kitab                 : Bidayatul Hidayah
Penulis                       : Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali
Penerbit                     : Dar Al-Kutub Al-Islamiyah
Tahun Terbit               :TT
Tebal Halaman           : 106

Multi-Page

One Reply to “Bidayatul Hidayah, Pemaduan Fikih dan Tasawuf”

Tinggalkan Balasan