Berteman dengan Kegelapan

5,848 kali dibaca

Siapa yang tak takut dengan gelap? Kegelapan membuat sang mata tak bisa berkutik. Membuat salah satu indra yang paling diandalkan manusia itu menjadi lumpuh seketika. Ada yang mengatakan, manusia tak pernah takut pada kegelapan. Namun mereka menakuti apa yang ada di balik kegelapan itu.

Jika boleh penulis bertanya, dari manakah kita mendefinisikan ketakutan kita (manusia) sendiri terhadap kegelapan? Apakah itu berasal dari keberadaannya sendiri? Atau berawal dari pikiran kita yang didukung oleh budaya dan lingkungan di sekitar kita? Bukankah kita sedari dulu sudah bergumul dengan kegelapan, entah itu saat di dalam kandungan ataupun saat sebelum bohlam lampu ditemukan? Rasa-rasanya aneh saja, bila hal yang sebegitu akrab dengan kita sejak dulu malah kita takuti lebih dari hal-hal yang baru. Sementara, hal-hal baru itu pun kadang masih belum banyak kita ketahui.

Advertisements

Melalui budaya, sedari dulu orang tua kita menanamkan mindset bahwa segala hal yang bersentuhan dengan gelap itu menyeramkan dan membahayakan. Menyeramkan karena ketidaktahuan kita; kita tak bisa melihat apa yang akan datang. Juga, membahayakan karena tidak tahu kapan hal tersebut akan datang.

Dalam budaya orang tua kita, ketakutan-ketakutan terhadap kegelapan itu dijadikan senjata yang paling ampuh agar kita menuruti kemauan mereka, sekaligus menjadi alat yang paling efektif untuk mengontrol gerak-gerik sang anak. Misalnya melalui cerita-cerita hantu dan berbagai kengerian yang ada di balik kegelapan itu. Terlebih, melalui kisah klenik yang begitu banyak di Indonesia.

Namun, kegelapan juga menyediakan ketenangan. Misalnya, bagi para sufi, kegelapan merupakan salah satu elemen penting. Kegelapan bisa membuat seorang manusia menelisik masuk dalam dirinya yang paling dalam. Dari sana ia bisa mencari arti sesungguhnya dari sebuah kehidupan. Bahkan, junjungan kita Rasulullah juga dengan sadar menyepi ke dalam gua. Berteman gelap dan sunyi selama empat puluh hari sebelum Jibril datang dengan wahyu dari Tuhan.

Para penerus kenabian, seperti para wali dan kiai, juga melakukan hal yang sama. Seperti, Syaikh Abdul Qodir Jailani yang lebih memilih hidup di hutan, menyepi (uzlah) dari keberadaan manusia selama berpuluh-puluh tahun, agar menemukan hakikat sebenarnya dalam kehidupan. Bagi mereka yang tak mengerti, kegelapan hanya sebuah tempat di mana mereka kehilangan pandangan, karena mereka terlalu bergantung dengan indra penglihatan.

Tapi, bagi mereka yang benar-benar mencari cahaya sejati, kegelapan bisa jadi sahabat yang paling mengerti di mana tempat cahaya itu. Kegelapan akan menjadi teman setia bagi mereka yang menujunya. Dalam kitab Maraqil Ubudiyah karangan Syaikh Muhammad An-Nawawi Al-Jawi, yang merupakan sarah dari Bidayatul Hidayah karya Imam al-Ghazali, disebutkan bahwa bahwa salah satu unsur jika kita ingin lebih dekat dengan Tuhan adalah dengan menyendiri di suatu tempat yang gelap, menutup mata, dan memusatkan segala pikiran hanya kepada-Nya.

Atas dasar hal itu, kegelapan bukanlah hal yang harus dihindari. Ia adalah penyeimbang dari cahaya. Sekaligus makhluk yang diciptakan Tuhan sebagai pengantar jalan menuju kesejatian. Tugas dari kegelapan lebih berat daripada cahaya. Kegelapan harus menjadi bahan olok-olok dan sebagai penerima cacian. Namun, tugas sebenarnya adalah mempertegas cahaya, agar dia lebih mudah dicari. Tak akan pernah ada manusia yang bertemu dengan kesejatian cahaya, tanpa mengarungi kegelapan diri mereka sendiri dan menjadikannya cermin agar menemukan yang sejati.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan