Berpuasa, Berpuisi

891 kali dibaca

Upaya kita menahan berbagai macam keinginan agar supaya hati menjadi suci adalah dengan berpuasa. Atau dalam pemahaman tasawuf berpuasa menjadikan hati ini bersih selain dari hadirat-Nya, kalbu dihuni hanya oleh Allah semata. Di sisi yang lain dengan berpuasa kita juga belajar bagaimana bersyukur dan empati terhadap kehidupan orang yang kurang atau kesulitan penghidupan terutama sulit makan. Lantas apa hubungannya dengan puisi?

Puisi tak lain adalah endapan daripada citarasa kita yang banyak mengambang di permukaan, atau dalam pengertian yang lebih gamblang puisi itu saripati kehidupan yang perangkat katanya berasal dari bahasa yang telah kita peras dengan pengalaman kedalaman rasa.

Advertisements

Tentu untuk mendapatkan saripati atau untuk menemukan endapan kita harus bersabar, ber“puasa” (menahan diri) untuk bisa meraihnya. Seperti kata pepatah, ‘untuk mendapatkan mutiara kita harus menyelam ke dasar lautan’.

Dengan kata lain ada hubungan erat antara berpuasa dengan berpuisi, keduanya sama-sama menahan dan membutuhkan kesabaran yang ekstra, dua-duanya sama-sama membutuhkan empati untuk menangkap gejala kehidupan termasuk kondisi manusia yang tercerabut dari akar sosialnya atau yang terdiskreditkan karena mengalami pemiskinan terus menerus.

Jika puasa adalah menahan hawa nafsu dari mulai terbit fajar hingga terbenam matahari (harfiahnya), atau secara tasawuf berlatih menyucikan hati secara terus menerus tiap saat sehingga semata-mata hanya berakrab ria dengan hadirat-Nya (hakikatnya), puisi menahan kita dari terburu-buru mengekspresikan sesuatu pengalaman atau pemikiran, puisi membuat kita lama menghayati sesuatu dengan “rasa” sambil terus memikirkan kata sampai pada suatu titik waktu ia pantas untuk dilahirkan, dituliskan, “berbuka” istilahnya, menjadikan puisi.

Berpuasa tentu saja tidak boleh sembarangan, harus menjaga sikap bahkan hati harus terus diarahkan ke hadirat-Nya. Dalam puisi sama, kita harus menjaga sikap, bahkan bila perlu sering diam (merenung/melamun) dan terus mengarahkan hati kita kepada pengalaman “rasa yang dalam” itu sambil terus fokus memikirkan kata.

Pantang bagi penyair jika membuncahkan kata-kata begitu saja dalam benaknya tanpa selektif “memeras” dan “membuang” yang tidak pas, ia harus pelan-pelan memikirkan kata, frase-frase, sebelum akhirnya tersusun sebagai puisi yang berkemungkinan “utuh”.

Sebenarnya tak heran kalau kita pernah mendengar cerita-cerita para penyair dulu, yang bahkan mereka untuk menulis puisi harus prihatin dengan berpuasa. Sebutlah Umbu Landu Paranggi, yang rajin berpuasa. Dan penulis yakin banyak penyair sastrawan yang mengamalkan “laku prihatin” itu. Kita sering tidak tahu karena keterbatasan informasi tentang mereka, tapi sepengalaman penulis bertemu beberapa sastrawan lama terdapat kisah-kisah yang serupa.

Kembali lagi soal puasa dan puisi tadi, memang kita sering memisahkan hal-hal, membuat spesifikasi perbedaan, dan seterusnya. Padahal, dalam “rasa” kita seringkali ditemukan persamaan. Bukanlah kebetulan, tapi memang sejatinya segala hal terhubung kepada hati kita sehingga semua sama sekali tidak terpisah.

Itu semua adalah “laku” manusia yang berdimensi spiritual tunggal hakikatnya, atau dalam bahasa tasawufnya itu semua “perbuatan Allah” semata. Jadi sumbernya Allah, sehingga rasa kita tidak membedakannya. Tentu untuk bisa sampai memahami kepada pandangan semacam itu membutuhkan pengetahuan, pengertian, dan penghayatan yang saling berpadu.

Akhirnya dengan latihan “berpuasa” itu, dengan menahan segala keinginan itu, terdapat kejernihan batin yang dapat menangkap apa saja, termasuk bahasa yang bisa dipakai dalam menuliskan puisi yang bermakna. Bahkan saking jernihnya pandangan batin, puisi yang dihasilkannya benar-benar membekas kepada pembacanya, sebutlah penyair seperti Maulana Jalaluddin Rumi, Hafiz, Fariduddin Attar, Rabi’ah Al Adawiyah, dst. Atau di Indonesia kita bisa menyebutkan penyair seperti Abdul Hadi WM, Kuswaidi Syafii, Emha Ainun Nadjib, Zawawi Imron, Gus Mus, dan sebagainya.

Singkat kata, orang yang benar-benar ber“puasa” dan ber“puisi” itu pasti bisa mempengaruhi orang lain, sebab semua itu berasal dari batinnya, dari “rasa” di mana itu adalah tempat, sekaligus perangkat yang diberikan Allah untuk kita berakrab ria dengan hadirat-Nya, melalui kebesaran, keindahan, kasih sayang Allah. Wallahu a’lam.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan