Berkat Menulis

1,760 kali dibaca

Menulis adalah cara kita menjadi abadi dan menemukan keabadian. Hal itu juga pernah disampaikan Pramoedya Ananta Toer dengan kalimat yang sedikit berbeda. Namun, terlepas dari itu, menulis memang memberikan kepuasan dan kebahagiaan tersendiri bagi beberapa orang.

Banyak sebenarnya alasan kenapa orang menulis, bisa karena hobi, pekerjaan, atau hanya sekadar iseng. Hal itu bersifat nisbi (relatif), tergantung tujuan mereka untuk apa. Menulis juga memberikan kita ruang untuk menuangkan segala gagasan dengan tulisan. Gagasan yang mungkin tidak bisa dimunculkan langsung secara lisan.

Advertisements

Selain itu, menulis juga membuat otak kita mengalami repair (perbaikan). Sebab, ketika menulis, secara sadar atau tidak, otak kita juga aktif terangsang. Otak akan memilah dan memilih mana bahasa yang sesuai untuk ditulis dan disampaikan ke pembaca, di samping, juga mengasah ketajaman argumentasi atau gagasan yang akan dituangkan dalam tulisan.

Namun, lebih dari itu, rupanya dengan menulis kita juga bisa mendapatkan barokah, baik dari ketulusan usaha menulisnya dan dari tulisan itu sendiri. Ada banyak ganjaran—selain yang disebutkan di atas—yang bisa dirasakan. Seperti yang pernah saya alami di pesantren.

Sedikit saya bercerita sepenggal pengalaman saya pribadi di pesantren. Awal Desember 2021 kemarin, di Pondok Pesantren Salafiyah Ismailiyah Pamekasan, sore menjelang maghrib tampak seperti biasanya. Para santri bersiap-siap untuk shalat berjamaah. Ada yang ngantre di kamar mandi, ada juga yang masih santai dengan dunianya.

Azan Maghrib lalu berkumandang, lepas dari itu zikir-zikir dilantunkan santri yang sedang bertugas sesuai jadwal. Tak lama kemudian, Kiai Nur Huda (pengasuh Pesantren Salafiyah Ismailiyah) memasuki musala pesantren. Memang sengaja pengasuh ketiga Pesantren Ismailiyah itu tidak mengambil posisi imam. Sebab di pesantren kami, selain salat shubuh, yang bertugas menjadi imam adalah beberapa santri yang memang dipilih oleh kiai sebelumnya.

Sehabis berjemaah dan melakukan dikir bakda salat, biasanya kami melakukan rutinitas harian, yakni mengaji kitab bersama secara melingkar. Ada beberapa kitab yang kami kaji di pesantren, mulai dari Aqidatul Awam sampai Fathul Qarib. Materi-materi dalam kitab itu disampaikan oleh kiai lalu diperhatikan para santri

Namun, malam itu tampak berbeda, kiai tidak membuka kitab sebagaimana mestinya. Setelah beberapa santri menyiapkan formasi melingkar, kiai justru makon (memerintahkan) saya untuk ceramah di depan para santri. Jelas, semua tampak bingung, apalagi saya.

Awalnya saya terkejut, takut, namun pasrah. Yang namanya perintah guru, mau tidak mau harus dilakukan, selama itu dalam kebaikan. Saya tidak tahu betul kenapa kiyai memerintahkan saya untuk ceramah. Bisa dua kemungkinan; pertama, hal itu memang dipilih secara random (acak), dan kebetulan saya yang terpilih; atau, kedua, karena saya adalah ketua pengurus pondok, sehingga tanpa pikir panjang, kiai memerintahkan saya sebagai perwakilan.

Bagai berjalan dalam gelap, langkah kaki saya menuju tempat imam seolah terasa berat. Saya tidak tahu apa yang harus disampaikan nanti. Saya juga tidak menyiapkan materi. Meskipun saya pernah—bahkan sering—mengikuti kompetisi public speaking (seperti debat dan lainnya), atau biasa presentasi di depan kelas, namun ini tampak sangat berbeda.

Saya harus menyiapkannya dengan spontan. Lantas saya dilanda rasa pesimis, di samping juga berusaha agar tidak terlihat konyol di depan para santri. Dengan pikiran yang tenang, saya memikirkan cara agar bisa memberikan penyampaian yang logis, tertata, sekaligus terkonsep dengan rapi. Meskipun, kembali lagi, itu dilakukan secara spontan.

Bagai menemukan lentera di tengah gelap, saya punya ide untuk keluar dari kegusaran itu. Secara tiba-tiba, saya teringat dengan tulisan pertama saya ketika masih duduk di kelas Madrasah Tsanawiyah Nasy’atul Mutaallimin Gapura, beberapa waktu silam. Tulisan teks pidato yang saya buat untuk tugas semester, yang kemudian dibaca ketika puncak haflah saat itu.

Memang benar, saya tidak mungkin bisa mengingat tulisan itu secara utuh. Namun, konsep penyajiannya dan argumentasi yang disampaikan di dalamnya masih saya ingat betul. Maka kemudian saya bermaksud untuk menyampaikan hal sebagaimana yang ada dalam tulisan tersebut. Tentunya, dengan melakukan improvisasi dan menyesuaikan dengan kondisi serta permasalahan yang terjadi saat ini.

Suasana saat itu tampak tidak biasa. Biasanya saya merasa enjoy berbicara dan presentasi di depan teman-teman dan audiens. Namun, karena ini langsung di depan kiai, saya merasa sungkan dan takut salah.

Tapi Alhamdulillah, kurang lebih 10 menit, jiwa saya secara berangsur merasa tenang. Semua kata-kata yang keluar dari mulut saya seolah mengalir begitu saja. Saya merasa tulisan saya beberapa waktu silam yang membahas tema ‘pemuda’ itu telah menyelamatkan saya dari keadaan darurat tersebut. Setelah semua selesai, saya merasa puas dengan apa yang telah disampaikan, sekaligus diselimuti rasa lega yang amat dahsyat.

Dari kejadian itu, saya merasa lebih yakin, bahwa selain sebagai cara menjadi abadi, tulisan juga memberi ganjaran lebih bagi penulisnya. Tidak hanya berupa materi (uang), namun ganjaran yang diberikan juga bisa berbentuk apa saja, sebagaimana yang saya alami dalam kisah tersebut. Wassalam…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan