Berislam yang Mencintai Nilai-Nilai Lokal

880 kali dibaca

Sebagai agama, acapkali Islam selalu dianggap bertentangan dengan agama dan budaya di berbagai negara. Beragam informasi tersiar dari umat beragama lain yang merasa resah terhadap umat Islam yang karena ajarannya sulit untuk hidup rukun dengan mereka. Tidak bisa dimungkiri bahwa berdasarkan pemahaman tekstual-rigid sebagian umat Islam, Islam nampak memang mengajarkan sikap menjaga jarak dengan non-Muslim. Mereka dianggap yang lain, atau kafir, yang secara konsekuensi teologis divonis celaka.

Pemahaman tekstual tersebut berakar pada pola pandang ke-Araban-klasik yang sangat berbeda dengan keadaan sekarang. Di era klasik, dikotomi kafir-muslim didedahkan demi kepentingan geopolitik yang berpijak pada identitas agama. Saat sekarang, batasan geopolitik didasarkan pada konsep negara bangsa yang jelas batas teritorial dan dasar aturan undang-undangnya.
Indonesia sebagai produk nation-state yang memiliki dasar kenegaraan, yang mayoritas warganya adalah muslim, dituntut mengambil pemahaman keislaman yang lebih substantif, melampaui zaman klasik, dan Arab itu sendiri.

Advertisements

Ach Dhofir Zuhri menegaskan dalam bukunya Nabi Muhammad Orang Arab? (2020) bahwa cinta kepada Indonesia selaras dengan substansi sabda Nabi Muhammad. “Aku mencintai Arab karena aku adalah orang Arab.” Sama dengan kita orang Indonesia mencintai karena alasan serupa: sebab kita orang Indonesia. Kecintaan ini berimplikasi pada cara pandang, perilaku, dan juga penampilan.

Jika Nabi mencintai Arab lalu dia berpakaian Arab, maka sebagai orang Indonesia, kita juga berpakaian khas Indonesia sebagai menifestasi kecintaan kita. Jika Nabi berusaha menyatukan Arab dari perpecahan suku dengan semangat keislaman, begitu pula negeri khatulistiwa yang pluralistik ini juga dijaga persatuannya atas semangat keislaman pula.

Umat Islam di negeri ini perlu membedakan keislaman dan kearaban. Nilai-nilai keislaman mengacu pada nilai luhur yang diajarkan Nabi Muhammad sebagai pribadi pembawa kebenaran universal atau rahmatan lil-‘alamin. Yang dicontoh dari Nabi adalah cara berpikir, bukan simbol relatif nan tentatif yang ditampilkan Nabi yang bernuansa lokalistik Arab. Sebab, sebagai pembawa kebaikan untuk semesta, cara berpikir Nabi harus melampaui tempat dan waktu, tidak hanya cocok untuk Arab, tapi juga cocok di bagian bumi mana saja.

Secara lahir, Nabi memang orang Arab. Namun, ajaran beliau bukan Arab karena ia milik semesta. Simbol Arab kadang mengiringi ajaran Islam untuk membumikan nilai universalitas Islam. Semua atribut Arab yang disangka adalah bagian dari Islam oleh sebagian umat Islam hanya adaptasi Nabi sebagai orang Arab. Sebab, kata Gus Mus dalam buku Cinta Negeri ala Gus Mus (2019), andaikata Nabi Muhammad hidup di Texas, mungkin beliau akan mengenakan celana jeans.

Sebab itu, tak heran jika Al-Quran banyak yang menggambarkan surga sebagai kebun yang rindang dialiri sungai yang menyediakan khamar. Penggambaran demikian khas Arab sebab komunikan dari ayat tersebut adalah orang Arab – yang karena hidup di padang pasir – senang melihat kebun rindang dan sungai. Mereka juga terbiasa mabuk-mabukan. Gambaran surga seperti itu tentu yang bagi orang Indonesia kurang pas. Banyak umat Islam yang gagal melihat universalitas ajaran Islam sebab terpaku pada lokalitas Arabnya.

Idealnya, mengulang kesuksesan Nabi mempersatukan perpecahan beragam suku Arab karena turbulensi fanatisme dengan meyingkronkan nilai-nilai Islam dengan lokalitas Arab, maka umat Islam di negeri ini juga harus meniru cara berpikir Nabi agar bisa menyinkronkan ajaran Islam yang universal dengan lokalitas Indonesia.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan