Berilah Pelukan, Bukan Petuah

21 views

Di sudut warung kopi, seorang pemuda bercerita tentang betapa berat hidupnya. “Aku lelah,” bisiknya.

Dan inilah jawaban yang ia terima? “Makanya, salatnya dijaga, biar hidupmu lebih tenang”

Advertisements

Di ruang obrolan keluarga, seorang ibu mengaku sering menangis sendirian. “Galau melulu, ibadahnya kurang khusyuk kali ya?” ujar saudaranya sambil tersenyum simpul.

Di Indonesia, di mana agama menyatu dengan denyut nadi budaya, depresi dan kegalauan sering disempitkan jadi soal “iman kurang tebal”. Seolah sedih adalah aib yang harus disembunyikan, atau lebih parah: dosa yang pantas dihakimi.

Tapi tahukah kita, Nabi Muhammad ﷺ—manusia termulia yang dijamin surga—pernah duduk berselimut duka, menangis kehilangan Khadijah, istri yang setia menemani awal perjuangannya? Atau saat Abu Thalib, pamannya yang melindungi, meninggal hingga musuh-musuhnya semakin leluasa melemparinya batu?

Saat itu, Allah tidak mengirim teguran. Dia mengutus Jibril untuk membawa Nabi menyusuri langit, merasakan pelukan-Nya dalam Isra’ Mi’raj. Bukan tuntutan “perbaiki salatmu”, melainkan hadiah kedekatan yang hangat. Seperti Tuhan berbisik: “Aku tahu kau lelah. Mari, istirahatlah di sini.”

Sayangnya, di tanah air kita, pelukan sering diganti dengan petuah. “Kamu stres? Coba perbanyak baca Qur’an!” Mungkin itu nasihat tulus, tapi terasa seperti tamparan bagi yang tengah karam. Ibarat orang tenggelam yang diteriaki teori renang, sementara tangannya tak kunjung dijulurkan.

Padahal, Al-Qur’an sendiri mencontohkan Nabi Ayyub yang berani berkeluh: “Ya Tuhanku, sungguh aku telah ditimpa penyakit…” (QS. Al-Anbiya: 83). Allah tidak marah. Justru mengabulkan doanya. Lalu mengapa kita, manusia biasa, malu mengakui bahwa luka itu ada?

Dalam budaya kita yang gemar menyembunyikan “aib”, depresi sering dikubur dalam diam. Remaja yang curhat dianggap “cengeng”, karyawan yang burnout disuruh “lebih bersyukur”. Bahkan, solusi yang ditawarkan terdengar sederhana: “Coba rajin sedekah, insyaallah semua kesusahan hilang.”

Tapi benarkah sesederhana itu? Agama yang seharusnya jadi sumber kekuatan, dijadikan komoditi yang menambah beban jiwa-jiwa yang sudah rapuh. Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seorang muslim tertimpa kelelahan, penyakit, kekhawatiran, kesedihan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya.” (HR. Bukhari). Sedih itu suci. Letih itu manusiawi. Tapi mengapa kita mengubahnya jadi barang haram?

Mungkin kita lupa, bahwa sebelum salat mengajari kita bermunajat, Nabi Yusuf butuh waktu puluhan tahun untuk sembuh dari pengkhianatan saudaranya. Bahwa Nabi Ya’qub menangis hingga matanya buta, tapi Allah tetap memujinya sebagai hamba yang sabar. Bahwa air mata bukan bukti gagal iman, melainkan bukti kita masih hidup.

Di negeri ini, yang diperlukan bukan lagi ceramah tentang neraka, melainkan ruang aman untuk berkata: “Aku tidak baik-baik saja,” tanpa takut dianggap pendosa.

Kita perlu mengubah cara memandang. Bukan dengan menghapus ajaran salat atau zikir, tapi dengan menambahkan pelajaran tentang mendengar. Seperti sahabat yang duduk diam menemani Nabi saat sedih, atau seperti langit malam yang diam-diam menampung tangis.

Di Jepang, ada filosofi kintsugi—memperbaiki pecahan porselen dengan emas, hingga retakannya jadi lebih indah. Mungkin Indonesia perlu kintsugi jiwa: mengakui bahwa luka itu ada, lalu merajutnya dengan benang empati, bukan mencapnya dengan stigma.

Akhir kata, jika kau sedang galau, depresi, atau merasa hidupmu berantakan: jangan izinkan siapapun menyuruhmu “tobat” hanya karena kau manusia. Allah tidak membutuhkan kesempurnaanmu. Dia yang menciptakan senja, juga tahu cara menenangkan malammu. Dan untuk kita yang mendengar keluh kesah orang lain: cukuplah menjadi bulan, bukan hakim. Tak perlu memberi solusi, cukup bisikkan: “Aku di sini.” Sebab, kadang penyembuh terbaik bukanlah kata-kata, melainkan kehadiran yang tak menghakimi—seperti langit yang tetap membiarkan awan menangis, tanpa bertanya mengapa.

  • “Barangsiapa tidak menyayangi manusia, Allah tidak akan menyayanginya.” (HR. Muslim). Mari mulai dari hal kecil: mendengar, sebelum menyuruh orang lain berubah.
Multi-Page

Tinggalkan Balasan