Di sudut warung kopi, seorang pemuda bercerita tentang betapa berat hidupnya. “Aku lelah,” bisiknya.
Dan inilah jawaban yang ia terima? “Makanya, salatnya dijaga, biar hidupmu lebih tenang”

Di ruang obrolan keluarga, seorang ibu mengaku sering menangis sendirian. “Galau melulu, ibadahnya kurang khusyuk kali ya?” ujar saudaranya sambil tersenyum simpul.
Di Indonesia, di mana agama menyatu dengan denyut nadi budaya, depresi dan kegalauan sering disempitkan jadi soal “iman kurang tebal”. Seolah sedih adalah aib yang harus disembunyikan, atau lebih parah: dosa yang pantas dihakimi.
Tapi tahukah kita, Nabi Muhammad ﷺ—manusia termulia yang dijamin surga—pernah duduk berselimut duka, menangis kehilangan Khadijah, istri yang setia menemani awal perjuangannya? Atau saat Abu Thalib, pamannya yang melindungi, meninggal hingga musuh-musuhnya semakin leluasa melemparinya batu?
Saat itu, Allah tidak mengirim teguran. Dia mengutus Jibril untuk membawa Nabi menyusuri langit, merasakan pelukan-Nya dalam Isra’ Mi’raj. Bukan tuntutan “perbaiki salatmu”, melainkan hadiah kedekatan yang hangat. Seperti Tuhan berbisik: “Aku tahu kau lelah. Mari, istirahatlah di sini.”
Sayangnya, di tanah air kita, pelukan sering diganti dengan petuah. “Kamu stres? Coba perbanyak baca Qur’an!” Mungkin itu nasihat tulus, tapi terasa seperti tamparan bagi yang tengah karam. Ibarat orang tenggelam yang diteriaki teori renang, sementara tangannya tak kunjung dijulurkan.
Padahal, Al-Qur’an sendiri mencontohkan Nabi Ayyub yang berani berkeluh: “Ya Tuhanku, sungguh aku telah ditimpa penyakit…” (QS. Al-Anbiya: 83). Allah tidak marah. Justru mengabulkan doanya. Lalu mengapa kita, manusia biasa, malu mengakui bahwa luka itu ada?
Dalam budaya kita yang gemar menyembunyikan “aib”, depresi sering dikubur dalam diam. Remaja yang curhat dianggap “cengeng”, karyawan yang burnout disuruh “lebih bersyukur”. Bahkan, solusi yang ditawarkan terdengar sederhana: “Coba rajin sedekah, insyaallah semua kesusahan hilang.”
Tapi benarkah sesederhana itu? Agama yang seharusnya jadi sumber kekuatan, dijadikan komoditi yang menambah beban jiwa-jiwa yang sudah rapuh. Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidaklah seorang muslim tertimpa kelelahan, penyakit, kekhawatiran, kesedihan, hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya.” (HR. Bukhari). Sedih itu suci. Letih itu manusiawi. Tapi mengapa kita mengubahnya jadi barang haram?