Berakit-rakit ke Hulu, Menjadi Ulama Kemudian

911 kali dibaca

Ulama besar asal Sulawesi Selatan, KH Sanusi Baco, meninggal dunia karena sakit pada Sabtu, 15 Mei 2021, saat dalam perawatan di Rumah Sakit Primaya (RS Awal Bros Makassar). Sosok KH Sanusi Baco adalah potret perjuangan anak seorang petani menjadi ulama yang segani.

Kiai Sanusi, demikian sapaan akrabnya, lahir pada 3 April 1937 di Talawe. Desa yang lebih popular dengan nama Panjallingang ini terletak di Kecamatan Maros Baru, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Advertisements

Kiai Sanusi bukan terlahir dari keluarga ulama. Dari kakek hingga ayahnya adalah petani tulen. Namun, meskipun petani tulen, keluarga Kiai Sanusi tergolong orang-orang yang mencintai ilmu pengetahuan. Karena itu, orang tua Kiai Sanusi mendorong anaknya untuk tekun dan gigih belajar, terutama dalam belajar ilmu agama.

Pada usia lima tahun, Sanusi sudah mulai belajar mengaji pada guru ngaji di kampung bersama saudara-saudara dan teman-teman sebayanya. Sanusi juga belajar di Sekolah Rakyat (1945-1948) yang ada di desanya.

Setamat Sekolah Rakyat, Sanusi melanjutkan belajar ke Vervolk School (WS) di Kota Maros, lalu dikirim ke Makassar untuk belajar di Darud Dakwah Wal Irsyad di Galesong Baru. Sayangnya, baru setahun di Makassar, ia dipanggil pulang karena adik perempuannya sakit dan tak lama kemudian meninggal. Di tahun yang sama, ibunya juga meninggal.

Sanusi pun mulai memasuki babak baru yang penuh penderitaan. Saat itu usianya baru 13 tahun, dan ia harus berhenti sekolah karena membantuayahnya bertani. Tak tega melihat keponakan masih belia sudah harus bekerja, sang paman, Haji Ali, berinisiatif mengirimnya Sanusi ke Pesantren Mangkoso. Itu terjadi pada 1950.

Inisiatif sang paman ternyata memperoleh dukungan dari masyarakat sekitar. Sebab, di desanya, saat itu baru Sanusi seoranglah yang merintis jalan menuntut ilmu agama di daerah lain. Namun, meskipun memperoleh dukungan dari paman dan masyarakat sekitar, bukan berarti Sanusi cukup bekal di perantauan.

Untuk menutup kekurangan biaya hidup dan sekolah, Sanusi terpaksa harus belajar sambil bekerja. Ia, misalnya, memanfaatkan waktu senggang atau libur untuk berjualan mangga, berjalan keliling dari kampung ke kampung. Sanusi juga bekerja paro waktu memelihara kuda milik seorang Jepang yang kebetulan tinggal di rumah keluarganya di Panjallingan. Untuk itu ia memperoleh upah harian.

Kebiasaan belajar sambil bekerja itu ia teruskan ketika sudah pindah ke Makassar untuk belajar di Darud Dakwah Wal-Irsyad (DDI) Galesong Baru. Saat itu ia membantu neneknya menjualkan bambu yang dibawanya dengan gerobak untuk dijual di pasar. Saat itu, kondisi ekonomi memang sedang sulit. Dan, hidup Sanusi penuh dengan perjuangan dan penderitaan karena harus sambil bekerja kalau ingin terus sekolah.

Sanusi mondok di Pesantren Darud Dakwah Wal-Irsyad (DDI) Mangkoso, Kabupaten Barru, selama delapan tahun (1950-1958). Di pesantren ini ia menyelesaikan program pendidikan I’dadiyah 1 tahun, Tahdliriyah 3 tahun, dan Tsanawiyah 4 tahun.

Saat berada di Pesantren Darud Dakwah Wal-Irsyad inilah Sanusi mengagumi guru-gurunya, yaitu KH Syuaib Magga, KH Hamzah, dan KH Amberi Said. Dari para gurunya itu, Sanusi banyak belajar tentang ketekunan dan kedisiplinan dalam belajar yang kelak akan diterapkan dalam kehidupannya.

Selesai mondok, Sanusi melanjutkan kuliah di Universitas Muslim Indonesia (UMI). Tak lama, atas nama aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Sanusi mendapat beasiswa untuk belajar ke Al-Azhar Mesir. Setelah empat tahun kuliah di Al-Azhar, Sanusi kembali ke Tanah Air pada 1967 membawa gelar Lc. Saat kuliah di Al-Azhar itulah Sanusa berkawan akrab dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Sebelum tugas belajar ke Al-Azhar, Sanusi sudah menjadi pegawai negeri sipil.  Tugasnya sebagai guru agama di Madrasah Ibtidaiyah DDI Ranting Mariso, Makassar. Baru bertugas tiga tahun, ia harus berangkat ke Al-Azhar. Sepulang dari Al-Azhar dengan gelar Lc, Sanusi langsung beralih status menjadi dosen pada Fakultas Syari’ah Institus Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar sampai pensiun pada 2002. Selain di IAIN, Sanusi juga mengabdikan diri sebagai tenaga  pengajar  pada beberapa perguruan tinggi,  antara lain di UMI dan Perguruan Tinggi Al-Gazali.

Di Sulawesi Selatan, Kiai Sanusi Baco dikenal sebagai ulama yang gigih mendakwahkan Islam Ahlussunnah Waljamaah melalui Nahdlatul Ulama (NU). Bahkan, pada tingkat provinsi, Kiai Sanusi terpilih sebagai Rois Syuriah  Pengurus Wilayah NU Sulawesi Selatan hingga empat periode berturut-turut. Karena keulamaannya pula, Kiai Sanusi pernah terpilih  sebagai  Ketua  MUI selama tiga periode kepengurusan. Terakhir, Kiai Sanusi dipercaya sebagai Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Kini, ulama besar yang berpembawaan lembut dan murah senyum ini telah wafat. Umat Islam Indonesia kehilangan salah satu panutannya. Dari perjalanan hidupnya kita bisa belajar bahwa untuk menjadi ulama sejati tak harus terlahir dari keluarga ulama. Anak seorang petani pun, seperti yang dicontohkan Kiai Sanusi, juga bisa menjadi ulama besar. Lahul fatihah…

Multi-Page

Tinggalkan Balasan