Beragama Tanpa Etika Bisa Jadi Pengacau dan Perusuh

2,818 kali dibaca

Berkali kali-kali gerombolan pembawa bendera HTI bikin kacau dan merusak acara Hari Santri Nasional (HSN). Masih segar dalam ingatan, setahun lalu mereka mengacaukan peringatan HSN di Garut dengan membuat provokasi mengibarkan bendera HTI saat upacara peringatan HSN berlangsung, hingga salah satu anggota Banser terpancing. Kemudian, mereka menjadikan kasus tersebut sebagai bahan fitnah dan caci maki.

Kali ini peristiwa yang sama terulang. Dalam acara peringatan HSN di Cianjur, Jawa Barat, mereka kembali datang mengacau dan merusak acara yang sudah disiapkan panitia. Sikap anarkhi, biadab, dan barbar seperti preman mereka tunjukkan dengan mengibarkan bendera HTI yang mereka klaim sebagai bendera tauhid. Dan, kembali kita melihat kalimat Allah yang mulia dijadikan tameng dan topeng atas tindakan biadab yang mengabaikan etika dan akhlak dengan merusak acara orang lain

Advertisements

Sebagaimana kita ketahui, acara HSN di Cianjur adalah acaranya NU. Sebagai penyelenggara, NU dan panitia bebas menentukan aturan main untuk mensukseskan acara agar sesuai dengan visi, missi, dan spirit organisasi, termasuk menentukan atribut yang perlu dibawa di acara tersebut. Orang yang beradab dan tahu etika akan menghormati dan menjaga aturan yang dibuat oleh penyelenggara acara. Jangankan sampai mengacau dan merusak acara, datang dengan membawa atribut yg dilarang oleh panitia saja sudah tidak etis. Apalagi sampai berteriak-teriak di panggung utama tanpa persetujuan tuan rumah.

Melihat kelakuan mereka yang tanpa adab dan akhlak, timbul berbagai pertanyaan, sebenarnya mereka ini sungguh-sungguh ingin memperjuangkan Islam atau cuma ingin mengacau dan bikin kisruh? Kalau mereka memang ingin serius memperjuangkan Islam, mestinya dilakukan dengan cara-carayang baik, yang sesuai dengan etika dan akhlak Islam. Misalnya, mereka bikin acara sendiri dengan cara dan aturan yang mereka tentukan sendiri, dihadiri oleh kelompok sendiri yang sepaham. Dengan cara ini, mereka bebas mengibarkan bendera apa saja yang mereka mau. Dengan demikian umat bisa memilih untuk hadir di event yang sesuai dengan selera dan pemahaman masing-masing. Cara-cara seperti ini akan lebih elegan dan beradab. Bukan dengan cara merusak acara orang lain.

Kedua, kalau memang mereka ingin mensyiarkan tauhid melalui bendera, mengapa hanya acara HSN yang mereka geruduk. Bukankah acara konser, pertandingan sepak bola, upacara dan event-event lain juga banyak yang bikin aturan tidak boleh bawa bendera dan atribut lain selain bendera merah putih dan atribut organisasi penyelenggara, termasuk bendera HTI yang bertuliskan kalimat tauhid itu? Lalu mengapa panitia yang bikin aturan tersebut tidak dituduh melarang bendera tauhid? Mengapa mereka tidak ngotot datang ke event-event tersebut dengan membawa bendera HTI, kemudian memaksa panitia memasangnya atas nama bendera tauhid?

Dari cara-cara mereka yang tak berakhlak itu saya meyakini bahwa gerombolan itu bukanlah orang yang memperjuangkan Islam dan kalimat tauhid. Mereka adalah para pengacau dan perusuh yang mencoba mengadu domba umat dan merusak keutuhan bangsa, khususnya warga NU. Kelakuan mereka sama sekali tidak mencerminkan akhlak Islam. Para penonton konser dan suporter sepak bola jauh lebih beradab dan berakhlak dari para gerombolan tersebut. Suporter sepak bola, peserta upacara, dan penonton konser lebih mengerti, menghornati, dan mantaati aturan yang dibuat panitia. Tidak memaksakan kehendak dengan membawa atribut yang dilarang, apalagi sampai mengambil alih panggung dan menyingkirkan tuan rumah dan panitia.

Tiga pelajaran penting yang bisa dicatat dari kasus tersebut: pertama, beragama tanpa akhlak dan kearifan (wisdom) akan menjadi biang kerusakan dan sumber perpecahan. Inilah sebabnya Islam sangat menekankan akhlak dan hikmah. Karena kèbenaran tak bisa ditegakkan dengan cara-cara biadab seperti yang dilakukan gerombolan pengibar bendera HTI tersebut. Cara-cara seperti itu justru merusak dan menista Islam karena memperkuat stigma Islam sebagai agama kekerasan yang tak beradab.

Kedua, masih perlu perjuangan serius untuk mengintegrasikan ajaran Islam dan paham kebangsaan. Masih banyak kelompok salah paham yang tidak segan menggunakan segala cara bahkan cara biadab yang mengabaikan etika untuk memperjuangkan pemahaman mereka. Itulah sebabnya mereka berupaya mengacau setiap pelaksanaan HSN yang merupakan momentum penting dan memiliki makna strategis dalam wacana Islam dan kebangsaan.

Ketiga, masih ada sebagian orang yang belum ikhlas menerima keberadaan hari santri. Mereka akan selalu berusaha membikin huru-hara dan keributan saat pelaksanaan peringatan HSN dengan segala dalih dan cara. Dengan cara ini akan timbul asumsi bahwa hari santri menjadi sumber kericuhan dan perpecahan antar umat. Makna kedua ini perlu menjadi bahan muhasabah bagi para pegiat dan pendukung HSN. Harus ada sosialisasi yang bisa meyakinkan semua pihak tentang pentingnya hari santri bagi kehidupan bangsa. Selain itu, perlu ada kegiagatan HSN yang bermanfaat secara langsung dengan melibatkan berbagai kelompok sehingga hari santri benar-benar menjadi milik semua warga bangsa dan membawa manfaat nyata bagi sesama.

Yang lebih penting dari semua itu, berbagai kericuhan yang terjadi di HSN mencerminkan adanya kelompok yang beragama tanpa akhlak, menggunakan simbol agama untuk berbuat tindakan biadab. Ini sangat berbahaya karena tidak saja merendahkan nilai agama dan melecehkan Islam, tetapi juga mengancan tatanan sosial dan keutuhan bangsa.*

Multi-Page

Tinggalkan Balasan