Beragama dengan Akal atau Doktrin

1,830 kali dibaca

Dogma rupanya sudah menjadi masalah tersendiri dalam beragama. Entah sejak kapan Islam dibelenggu oleh dogmatisme semacam ini. Padahal, Allah dan rasul-rasul tidak pernah mengajarkan dogmatisme itu. Beragama dengan dogma berarti beragama dengan “memaksakan” kehendak. Orang yang dianggap pintar akan menanamkan ajarannya kepada murid-muridnya secara kaku , persis, dan seutuhnya. Hal ini seakan membuktikan bahwa substansi agama selalu bersifat statis.

Tidak boleh ada perbedaan dalam beragama. Para “pemuka-pemuka” agama seakan menanamkan doktrin bahwa dalam beragama harus tegas namun tanpa didasari oleh dinamika berpikir. Doktrin-doktrin sering digelontorkan untuk menanamkan dogma kepada para murid atau yang menuntut ilmu.

Advertisements

Hasil dari sistem dakwah yang dogmatis ini akhirnya menunbuhkan primordialisme yang tinggi. Menganggap bahwa golongannya adalah yang paling benar, merasa bahwa ustadznya adalah yang paling benar, bahkan hal yang lebih ekstrem lagi adalah bukan hanya merasa paling benar, namun menganggap kafir saudara-saudara muslim yang di luar dari halaqohnya.

Padahal, secara gamblang Allah sudah beberapa kali berfirman dalam al-Quran agar beragama tanpa paksaan karena agama merupakan sebuah fitrah, dan fitrah sudah pasti tidak terikat oleh doktrin. Dalam surah ar-Rum ayat 30, Allah menjelaskan bahwa agama adalah fitrah, kemudian dalam surah al-Baqarah ayat 256, Allah menjelaskan bahwasa tidak ada paksaan dalam beragama. Dan, surah Yunus ayat 99 pun menjelaskan tentang kesia-siaan memaksa orang lain dalam beragama.

Dari sinilah kita seharusnya mulai membuka pikiran mengenai beragama dengan akal sehat, dan bahwa agama bukanlah mengenai doktrin yang kaku yang membenarkan jalan yang lurus hanya bisa dilalui dengan satu cara saja. Hal ini tentu saja selaras dengan peran Nabi Muhammad sebagai rahmatan lil ‘alamin. Selain itu, alangkah lebih baiknya kita juga mengetahui apakah indoktrinisasi juga hidup saat para utusan Allah menjalankan peran beragama.

Jika bercermin kepada kehidupan Rasulullah, beliau bahkan tidak pernah memaksakan dalam beragama, atau beliau bahkan tidak pernah meneladankan untuk menjadi sama persis seperti beliau. Karena, sebenarnya beliau paham setiap manusia memiliki pembawaan dan kemampuan yang berbeda-beda.

Hal yang terpenting adalah substansinya dan bukan ritualnya. Maka sejak beliau hidup, beliau tidak pernah memaksa para sahabatnya untuk bersikap seragam. Bahkan, sampai cara salat pun Rasulullah hanya mengatakan “Salatlah kalian sebagaimana melihat aku sholat.” Tentu saja perkataan itu multitafsir dan tidak ada kebenaran tunggal. Dari situlah keberagaman keluar. Ulama memiliki keberagaman pandangan dan penafsiran. Semua itu terjadi karena fitrah kebenaran bukan hanya dari satu pintu.

Beragama dengan Akal

Allah berkali-kali mengingatkan bahwa akal dan pikiran adalah hal yang penting dalam beragama. Akal dan pikiran juga merupakan aset yang penting untuk manusia. Lalu mengapa kita masih sering salah kaprah dalam beragama? Memang ada konteks yang tidak cukup menggunakan akal, perlu adanya iman. Hal-hal muamalah seharusnya masih dapat ditampung dengan akal pikiran. Sedangkan hal-hal yang manusia masih belum mampu menemukan jawaban, tentu perlu kita Imani. Jadi dalam konteks ini, akal sehat digunakan untuk membuat peran agama bukan hanya perkara iman, melainkan juga cakrawala berpikir untuk mempertajam kecerdasan.

Oleh karena itu, Allah selalu menggambarkan para utusan-Nya, yaitu para Rasul dan Malaikat sebagai makhluk yang berakal dan cerdas. Hal ini juga digambarkan dalam surah An-Najm ayat 1-6 yang menjelaskan bahwa Nabi Muhammad mendapatkan wahyu bukan karena hawa nafsunya, melainkan wahyu tersebut turun dari Jibril yang mempunyai akal yang cerdas dan diajarkan kepada Nabi Muhammad. Dalam konteks ini, kita dapat menggarisbawahi bahwa Allah menggambarkan Jibril sebagai utusan yang mempunyai akal yang cerdas. Lalu mengapa masih banyak di antara kita yang masuk dalam lingkaran dogma?

Akal merupakan modal penting dalam beragama, bahkan al-Quran diturunkan untuk orang-orang yang berakal agar dapat mengambil pelajaran, sesuai dengan surah Ibrahim ayat 52. Jika jalan menuju pembelajaran saja sudah dimonopoli oleh “pemuka agama”, lalu kebenaran yang mana yang akan kita cari dan dapatkan? Agama tidak lagi menjadi pusat pembelajaran, melainkan menjadi sarana penanaman doktrin yang menyeramkan dan kaku.

Afala ta’qilun, apakah kamu tidak menggunakn akalmu? Afala tatafakkarun, apakah kamu tidak berpikir?

Dua pertanyaan dari Allah itu seakan menampar kita sebagai manusia untuk mengoptimalkan kerja akal dan pikiran kita dalam beragama. Karena, tanpa akal dan pikiran, agama hanya akan menjadi candu yang memabukkan dan dogmatis. Kontrol dari itu semua hanya ada pada akal dan pikiran.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan