Bendera Seorang Pelaut

1,544 kali dibaca

Angin Agustus menyapu rambut Nisa, hingga terburai ke belakang, menjuntai-juntai, bertabur guguran cemara kering, dicucup suhu bergaram. Sejak seminggu lalu ia hanya bisa duduk bersimpuh di pantai itu, menangis di bawah pangkal cemara, sesekali memukul-mukul pasir, kadang melempar ranting dan kerap memanggil nama suaminya dengan suara nyaring  memecah deru ombak. Sudah seminggu suaminya tak menepikan perahu, membuat hati Nisa miris dan selalu dihantui pikiran menentu.

Sudah berkali-kali keluarganya membujuk Nisa untuk pulang, tapi ia tidak mau. Dan berjanji tidak akan pulang, sebelum terlihat kibar bendera merah putih di tiang perahu suaminya menjarum langit di kejauhan, sebelum perahunya menepi, lalu ia bakal memeluknya, hidup atau mati. Tak ada cara lain yang bisa ditempuh keluarganya, kecuali hanya mengirimkan nasi setiap pagi, sore, dan malam, walau nasi-nasi itu jarang dimakan, hanya ditabur begitu saja di atas pasir.

Advertisements

“Kembalilah, Kak Suto!. Aku menunggumu di sini. Ini bulan Agustus. Bukankah setiap 17 Agustus kita merayakan upacara di pantai ini?. Aku tak sabar untuk menaikkan bendera di tiang perahumu itu ke tiang lain yang terbuat dari pohon cemara. Ayo pulang, Kak!” teriak Nisa sambil menuding ke arah laut. Air matanya leleh, melabuhi pipinya yang kusam. Teriakannya hilang didesau angin. Nisa mengulanginya lagi. Beberapa kali lagi. Namun Suto dan perahunya tak juga muncul. Timsar dan warga yang mencarinya, setiap kali menepi selalu dengan wajah masam dan nyaris tak bicara sepatah kata pun. Pertanda belum berhasil.

Takdir memang tidak bisa ditawar, apalagi dicegah. Malam hari, sebelum Suto berangkat melaut, Nisa sudah melarangnya dengan alasan angin Agustus sedang kencang, khawatir ombak akan menerjang. Tapi Suto tidak mau. Ia berdalih ingin jadi pemberani, berjuang tanpa rasa takut seperti kakeknya. Kebetulan kala itu, ia sedang membawa pulang selembar bendera pemberian kakeknya—yang biasa dipancang di ujung tiang perahunya—untuk diasapi dengan dupa dan disiram air kembang karena malam itu malam Jumat Legi. Bendera itulah yang selalu menyemangati Suto untuk terus berani menantang laut dan menaklukkan gelombang besar.

“Dulu kakek tidak gentar menghadapi penjajah begitu bendera ini ia ikat di pinggangnya. Sudah puluhan kali bendera ini ikut serta berjuang menerabas segala tantangan. Harapan kakek, aku juga bisa berjuang seperti kakek tanpa gentar. Oleh sebab itulah kakek memberikan bendera ini kepadaku, agar darah juangku terpompa. Angin kencang tak ada apa-apanya ketimbang senapan penjajah. Aku harus melawannya,” ucap Suto saat itu sambil mengalungkan selembar bendera ke leher Nisa. Senyumnya ruah melebihi kuah, membuat Nisa terketuk hingga menggangguk. Angin dingin menyelinap dari ventilasi, mereka berpelukan. Bulan bias serupa benang emas memburai dari celah jendela.

“Sekarang bulan Agustus, Sayang. Aku akan tetap melaut meski angin kencang. Aku ingin jadi pejuang yang berani seperti kakek.”

“Iya, Kak. Tapi aku berharap kakak tetap hati-hati, karena keberanian itu tetap dengan perhitungan,” pesan Nisa lirih.

“Jangan khawatir, Sayang. Aku akan tetap pulang untukmu,” balas Suto seraya mencium rambut Nisa, melepas pelukan, mengecup kening Nisa, lalu pamit sambil membawa bendera itu, persis di saat dentang jam berbunyi dua belas kali. Ketika itu bulan menelusup ke rimbun siwalan.

***

Nisa tak pernah membayangkan, dirinya akan bersimpuh di samping pusara suaminya ketika di seluruh penjuru tanah air, lagu kemerdekaan tengah dinyanyikan dan bendera merah putih dinaikkan ke pucuk tiang.

Angin kencang 17 Agustus tiada mampu mengeringkan rintik air mata yang terus menetes dari sudut mata Nisa. Ia masih terisak sembari menabur bunga ke gundukan tanah yang masih wangi itu. Selembar bendera yang mulai lusuh, terkalung di lehernya.

Masih segar dalam ingatan Nisa, puncak pahit yang ia rasa; dua hari lalu suaminya ditemukan tewas di sebuah pantai pulau seberang. Mulanya nelayan tidak tahu jika bendera merah putih yang tampak di permukaan air adalah ujung perahu yang ditumpangi suaminya. Setelah diangkat, barulah nelayan itu tahu jika ada perahu yang tenggelam terseret arus, dan suami Nisa ditemukan terjepit di dalam perahu itu dalam keadaan tak bernyawa. Nelayan memperkirakan perahu itu karam di tengah laut dan diseret arus ke bibir pantai setelah tenggang waktu sepuluh hari.

“Selamat jalan pahlawanku! Kau memang mewarisi semangat juang kakekmu. Bendera ini telah mengantarkanmu menjadi pejuang sejati, yang tak takut memilih, antara merdeka atau mati,” ucap Nisa dengan bibir gemetar. Air matanya merintik ke lembar bendera yang terkalung di lehernya. Angin menyelinap. Suasana mendadak senyap.

ilustrasi: kibrispdr.org.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan